KB, INSEMINASI BUATAN, DAN ALAT KONTRASEPSI DALAM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Keluarga merupakan unit atau persekutuan terkecil dari masyarakat, dari unit ini kemudian berkembang menjadi unit lebih besar yang disebut suku, kabilah, marga, dan komunitas masyarakat yang lain, selanjutnya kesatuan suku-suku tersebut akan membentuk suatu persekutuan besar menjadi sebuah bangsa. Jadi keluarga merupakan unsur dasar dari terbentuk nya suatu bangsa atau kesatuan sosial yang besar itu sendiri.
Dalam agama Islam, membentuk suatu keluarga didahului dengan prosesi nikah, yaitu penyatuan hubungan suami istri dengan jalan yang halal. Menikah sangat dianjurkan oleh rasulullah SAW kepada ummatnya, dalam sebuah hadist dikatakan “nikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak menyukai sunnahku (menikah) maka ia bukan termasuk ummat dan golonganku.” (HR. Ibn Majjah)
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan globalisasi, upaya untuk mewujudkan suatu keluarga yang bahagia menemuai banyak kendala. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tidak seimbang dengan penghasilan yang yang semakin menurun sehingga menciptakan problem kemiskinan dimana-mana. Salah satu faktor penyebab masalah tersebut adalah semakin padatnya jumlah penduduk, sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak yang menggunakan teknologi mesin.
Masalah kemiskinan tersebut kemudian memproduksi sumber daya masyarakat yang kurang berkualitas berupa gelandangan, pengemis, gembel dan lain sebagainya yang semakin mempersulit tujuan negara untuk membentuk suatu bangsa yang maju, sejahtera dan makmur.
Dalam mengupayakan kesejahteraan bangsa, upaya negara untuk membangun ke arah itu tentunya akan membutuhkan modal, sarana, dan tenaga yang terampil dan berkualitas. Salah satu cara untuk menekan kepadatan jumlah penduduk adalah dengan program keluarga berencana atau KB. Namun dalam pelaksanaanya, KB tidak jarang menggunakan metode-metode yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi di negara Barat.
Di sisi lain, impian semua keluarga adalah mempunyai anak keturunan yang nantinya dapat menjadi pewaris bagi orang tuanya, sebuah keluarga akan terasa lengkap manakala mereka telah dikaruniai seorang anak. Namun impian untuk mendapatkan keturunan kadang tidak tecapai lantaran salah satu pasangan mandul atau masalah-masalah lain. Motif itulah yang kemudian mendorong untuk dikembangkannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung.
Masalah-masalah tersebut tentunya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Kerena itu dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan hukum permasalahan yang terjadi pada masa kontemporer ini.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pandangan Islam mengenai KB?
2.      Bagaimana pandangan Islam mengenai inseminasi buatan?
3.      Bagaimana pendangan agama Islam mengenai penggunaan alat kontrasepsi?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PELAKSANAAN KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM ISLAM
1.      Pengertian KB
Keluarga berencana (KB) merupakan usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya, ayah dan keluarganya, atau masyarakat yang bersangkutan, sehingga tidak akan timbul kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Secara khusus KB berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan sekitar persetubuhan.[1]
Di negara-negara Barat KB diterjemakan dalam Family Planning yang dalam pelaksanaanya mencakup dua metode:
a.      Planning parenthood
Pelakasanaan metode ini menitik beratkan kepada tanggung jawab orang tua untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman, dan tenteram meskipun tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga. Dalam bahasa arab metode ini diterjemahkan sebagai تَنْظِيْمُ النَّسْلِ (mengatur keturunan).
b.      Birth control
Metode ini dilaksanakan dengan penekanan jumlah anak atau menjarangkan kelahiran sesuai dengan situasi dan kondisi suami istri. Dalam bahasa arab metode ini identik dengan تَحْدِيْدُالنَّسْلِ (membatasi keturunan). Dalam prakteknya, di negara Barat dibolehkan dengan cara pengguguran kandungan (abortus dan menstrual regulation), pemandulan (infertilitas) dan pembujangan.[2]
 Di Indonesia, program KB telah dilaksanakan sejak tahun 1968 melalui SK presiden No. 26 Tahun 1968 yang bertujuan untuk membentuk suatu lembaga resmi pemerintah yang bernama “Lembaga Keluarga berencana Nasional (LKBN)”, kemudian pada tahun 1969 program tersebut dimasukkan dalam program pembangunan Nasional pada Pelita I.
2.      Hukum KB
Di dalam al-Qur’an disebutkan:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٩)
Artinya:
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” [3]
            Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak akibat kekurangan gizi merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Maka disinilah peranan KB sangat diperlukan untuk membantu mereka keluar dari masalah tersebut.
Setiap orang tentu mendambakan keseimbangan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk meraih keseimbangan tersebut tentunya membutuhkan banyak syarat baik syarat materil maupun spritual. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut dalam al-Qur’an juga dijelaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (٧٧)
Artinya:
 dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [4]
Berdasarkan ayat-ayat tersebut dan dengan pertimbangan ekonomi, kesehatan dan pendidikan, maka pelaksanaan KB diperdebatkan oleh kalangan ulama’, diantaranya ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam Ghazali, Syekh al-Hariri (mufti besar Mesir), syekh Mahmud Syaltut,[5] dan Sayyid Sabiq.   Imam Ghazali tidak melarang dengan pertimbangan kesukaran yang dialami seorang ibu disebabkan sering melahirkan dengan motif menjaga kesehatan, menghindari kesulitan hidup, dan menjaga kecantikan si ibu.[6]
Syekh al-Hariri memberikan memberikan ketentuan bagi individu dalam pelaksanaan KB, diantaranya:
1.      Untuk menjarangkan anak.
2.      Untuk menghindari penyakit, bila ia mengandung.
3.      Untuk menghindari kemudharatan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis).
4.      Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan).
5.      Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap penyakit kotor.[7]
Sekh Mahmud Syaltut berpendapat bahwa pembatasan keluarga تَحْدِيْدُالنَّسْل bertentangan dengan syari’at Islam, sedangkan تَنْظِيْمُ النَّسْل tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tandzim an-Nasl diumpamakan dengan menjarangkan kelahiran karena situasi dan kondisi khusus, baik yang ada hubungannya dengan keluarga yang bersangkutan maupun dengan masyarakat dan negara. Alasan lainnya adalah karena jika suami istri menderita suatu penyakit yang dikhawatirkan akan menular pada anaknya. [8]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh As-Sunnah juga membolehkan seseorang untuk melakasanakan KB dengan alasan sang ayah adalah seorang faqir, tidak mampu memberikan pendidikan pada anak-anaknya, dan sang ibu adalah orang yang dho’if (lemah) jika terus menerus melahirkan. Sebagaimana yang tertulasi dalam kitan Fiqh Sunnah:[9]
فَيُبَاحُ التَّحْدِيْدُ فِي حَالَةِ مَا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ مُعِيلاً (1) لَايَسْتَطِيْعُ الْقِيَامُ عَلَى تَرْبِيَّةِ أَبْنَائِهِ التَّرْبِيَّةَ الصَّحِيْحَةَ.
وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ ضَعِيْفَةً، أَوْ كَانَتْ مَوْصُوْلَةَ الْحَمْلِ، أَوْ كَانَ الرَّجُلُ فَقِيْرًا.
فَفِيْ مِثَلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ يُبَاحُ تَحْدِيْدُ النَّسْلِ بَلْ إِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاء رَأَى أَنَّ التَّحْدِيْدَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ لَا يَكُونُ مُبَاحًا فَقَطْ، بَلْ يَكُوْنُ مَنْدُوْباً إِلَيْهِ.
Artinya:
Pembatasan (keluarga) diperbolehkan dalam kasus apabila seorang laki-laki (ayah) adalah seorang pencari nafkah (1) dia tidak dapat melakukan pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya. Demikian pula jika sang ibu adalah wanita yang lemah, dan seorang yang sering hamil, atau seorang yang fakir.
Maka dalam kasus tersebut, pembatasan atau kontrol kelahiran diperbolehkan, namun beberapa ulama’ berpendapat bahwa pembatasan keluarga dalam kasus seperti itu tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan.
 Sementara itu, salah satu ulama’ yang melarang pelaksanaan KB adalah Abu ‘Ala al-Madudi (Pakistan), menurutnya pembatasan kelahiran adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Islam adalah suatu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia, dan barangsiapa yang merubah atau menyalahi fitrah maka ia telah menuruti perintah setan.[10]
Disamping pendapat tersebut, para ulama yang menolak KB menggunakan dalil:
 ...وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ...
Artinya:
“... dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,..[11]
Pendapat tersebut menyatakan bahwa program KB melalui pembatasan kelahiran merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam agama Islam. Karena hal tersebut telah menyalahi fitrah manusia apalagi hanya kerena takut akan kemiskinan dan melupakan bahwa Allah Yang Maha Memberi Rezki.
B.     INSEMINASI BUATAN DALAM ISLAM
Menurut Ali Hasan, Inseminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laik-laki ke dalam rahim wanita tersebut, dalam bahasa arab disebut dengan تَلْقِيْحُ الصِّنَاعِي  Talqihushshina’i.[12]
Sedangkan menurut Mahyuddin, inseminasi buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum wanita, untuk maksud pembuahan atau penghamilan.[13]
Inseminasi buatan juga dapat dikatakan suatu penghamilan melalui proses memperpadukan sperma dengan ovum telur tanpa melalui senggama, baik sperma tersebut dimasukkan langsung ke dalam rahim wanita, maupun dengan cara mempertemukan keduanya di dalam tabung, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita. Yang kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita yang kemudian dikenal dengan istilah bayi tabung.[14]
Inseminasi menurut dari asal sperma yang digunakan dibagi dua yaitu:
1.      Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband)
2.      Inseminasi buatan dengan sperma donor atau bukan dari suami atau AID (Artificial Insemination Donor)
Para ulama’ membolehkan inseminasi dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara disuntikkan ke dalam rahim ibu maupun dengan cara pembuahan di luar rahim yang lazim disebut bayi tabung. Di antara ulama tersebut adalah Mahmud Syaltut, beliau menyatakan bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum dan syari’at yang diikuti oleh masyarakat beradab. Lebih lanjut beliau katakan ...”dan tidak menimbulkan dosa dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dapat dijadikan suatu cara untuk memperoleh anak yang sah menurut syaria’at.[15]
Prinsip kebolehan tersebut juga didasarkan pada kaidah ushul fiqh: الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ bahwa hajat atau keperluan yang sangat penting diberlakukan seperti keadaan dharurat.
Menurut Saifuddin Mujtaba, pertimbangan yang dapat dijadikan landasan dibolehkannya insiminasi buatan dengan sperma suami adalah:
1.      Tidak ada larangan dari al-Qur’an maupun al-Hadist mengenai hal tersebut.
2.      Insiminsi buatan dengan sperma suami sendiri dapat dipandang sebagai semacam perawatan medis dan ikhtiar dari suami-istri yang sulit mendapatkan keturunan dengan cara normal.
3.      Dilakukan karena adanya unsur hajat pada anak atau keturunan yang lazim didambakan oleh suami-istri lainnya.
4.      Sebagai upaya rasional sebagai jalan keluar dari permasalahan keluaga tersebut.[16] Hal tersebut juga sesuai dengan firman Allah:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan”[17]
Adapun inseminasi buatan dengan sperma donor menurut yusuf al-Qardhawi adalah Haram. Inseminasi dengan donor akan menimbulkan banyak masalah seperti halnya masalah pada anak hasil perzinahan. Disamping itu inseminasi dengan cara tersebut juga tidak sesuai dengan moral etis dan kesusilaan.[18]
Dalam hadist yang diriwayatkan Ibn Abi Dunya disebutkan:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِيمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Artinya: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi allah daripada setetes sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal baginya”[19]
Jadi dapat disimpulkan bahwa upaya inseminasi buatan dan bayi tabung dibolehkan dalam ajaran Islam manakala perpaduan sperma dengan ovum itu bersumber dari suami istri yang sah. Karena upaya tersebut merupakan jalan keluar bagi pasangan yang menginginkan keturunan dan sifatnya hanyalah menghilangkan kesukaran sebagaimna kaidah fiqhiyah:
 الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya:
“Madharat (kesulitan) itu dapat dihindarkan (dalam agama)”[20]

C.    PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM ISLAM
Istilah kontrasepsi berasal dari dua suku kata, yaitu kontra yang berarti mencegah atau melawan, dan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi yang dimakasud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat dari pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.[21]
Prisip dari alat kontrasepsi ini adalah mengusahakan agar tidak terjadi evolusi, melumpuhkan sperma, dan menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma. Dari prinsip-prinsip tersebut kemudian pelaksanaanya dapat dilakukan dengan berbagai metode dan cara, diantaranya adalah: AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim), susuk KB, pil KB, suntikan KB, kondom, dan lain sebagainya.
Meskipun program KB telah diperbolehkan dalam Islam, namun tidak berarti dalam pelaksanaannya diperbolehkan mengggunakan sembarang alat kontrasepsi. Dalam Islam alat kontrasepsi atau  وَسَائِلُ مَنْعِ الْحَمْلِ sebagaimana yang sering digunakan dalam program KB, ada yang diperbolehkan dan dilarang.
Alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh negara selama ini sangat terbatas, hal tersebut atas pertimbangan etis, moral dan hukum agama yang tidak menghendaki pelaksanaannya.[22]
Diantara alat kontrasepsi yang diperbolehkan adalah:
a.       Untuk wanita
1.      IUD (ADR)
2.      Pil
3.      Obat suntik
4.      Susuk, dan
5.      Cara-cara tradisional dan metode yang sederhana, misalnya: minum jamu.
b.      Untuk pria
1.      Kondom
2.        Coitus interruptus (‘azl menurut Islam) [23]
Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa coitus interruptus diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يُنْزِلُ
Artinya:
“kami melakukan azl pada masa rasulullah Saw, sedangkan al-Qur’an masih tetap diturunkan”. (HR. Bukhari)
Azl menurut hadits tersebut diperbolehkan karena pada waktu sahabat melakukannya tidak ada ayat yang melarangnya, padahal al-Qur’an masih selalu turun. Jadi seandainya perbuatan tersebut dilarang maka pasti akan ada ayat al-qur’an yang turun untuk mencegahnya, begitu pula sikap Nabi yang tidak melarangnya. Hal tersebut menunjukkan dibolehkanya cara Coitus Interruptus dalam Islam.
Sedangkan alat kontrasepsi yang dilarang dalam Islam diantarnya adalah:
a.       Untuk wanita
1.      Menstrual Regulation (MR) atau pengguguran kandungan yang masih muda
2.      Abortus atau pengguguran kandungan yang sudah bernyawa
3.      Ligasi tuba (mengikat saluran kantong ovum) dan tubektomi (mengikat tempat ovum). Kedua istilah ini disebut dengan sterilisasi
b.      Untuk pria: seperti vasektomi (mengikat atau memutuskan saluran sperma dari buah zakar). Cara ini juga disebut dengan sterilisasi.[24]
Cara-cara tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam karena memandang aspek moral dan penuh resiko. MR dan aborsi dianggap sebagai tindakan kriminal karena melenyapkan janin, sedangkan sterilisasi dilarang karena sifatnya adalah permanen. Pemandulan dalam Islam yang diperbolehkan adalah yang berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer), jadi jika suatu saat sang suami-istri menginginkan seorang  anak, maka alat kontrasepsi dapat ditinggalkan. Namun pada sterilisasi bersifat pemandulan selama-lamanya, hal tersebutlah menjadikanya haram.
 

BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan pada bab sebulumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      KB adalah usaha untuk mengatur banyak jumlah kelahiran. Pelakasanaan program Keluarga Berencana (KB) diperbolehkan dalam Islam dengan pertimbangan kesejahteraan penduduk. Kalau seandainya pemerintah tidak melaksanakannya maka keadaan rakyat akan menderita. KB dilakukan dengan dua metode yaitu: Planning Parenthood (mengatur keturunan) dan Birth Control (pembatasan keturunan). Motif dari KB diantanranya: menjaga kesehatan seorang ibu, menjaga keturunan dari penyakit yang diidap orang tua, dan masalah ekonomi.
2.      Inseminasi buatan merupakan suatu penghamilan melalu proses yang tidak alami, baik melalui cara suntik atau bayi tabung. Inseminasi dapat dibedakan menurut asal spermanya, yaitu inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (Artificial Insemination Husband) dan inseminasi buatan dengan sperma donor atau AID (Artificial Insemination Donor). Dalam pandangan Islam, inseminasi buatan dengan sperma sendiri diperbolehkan karena terkandung maslahah di dalamnya, sedangkan inseminasi buatan dengan sperma donor diharamkan karena anak yang dihasilkan tidak jelas asal keturunannya sebagaimana anak hasil zina.
3.      Yang dimakasud dengan alat kontrasepsi adalah sesuatu yang digunakan untuk menghindari atau mencegah bertemunya sel telur dan sperma yang kemudian dapat menyebabkan tidak terjadinya kehamilan. Diantara bentuk kontrasepsi yang dibolehkan dalam Islam adalah:
a.       Untuk wanita
1.      IUD (ADR)
2.      Pil
3.      Obat suntik
4.      Susuk, dan
5.      Cara-cara tradisional dan metode yang sederhana, misalnya: minum jamu.
b.      Untuk pria
1.      Kondom, dan
2.      Coitus interruptus (‘azl menurut Islam)
Sedangkan cara yang tidak diperbolehkan diantaranya adalah:
1.      MR atau pengguguran kandungan yang masih muda
2.      Aborsi, dan
3.      Sterilisasi baik pada pria maupun wanita



DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Hasan, M. Ali, 1998, Masail Fiqhiyah Al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mahyuddin, 1998, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia
Mujtaba, Saifuddin, 2008, Al-Masailul Fiqhiyah; Jawaban Hukum Islam Terhadap Masalah-Masalah Kontemporer, Surabaya: Omega Offset
Sayyid Sabiq, t.t., Fiqh As-Sunnah, Juz 2, Beirut: Dâr al-Kitab Al ‘Ârabi dalam Maktabah As-Syamilah






[1] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), 57
[2] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, 56
[3] al-Qur’an dan Terjemahnya al-Hikmah, terj. Depag RI (Bandung: CV Penerbit Diponegoro) 4:9
[4] Al-Qur’an dan terjemahnya, 28:77
[5] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), 36
[6] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, 36
[7] Hasan, Masail Fiqhiyah, 37
[8] Hasan, Masail Fiqhiyah, 37
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 2 (Beirut: Beirut: Dâr al-Kitab Al ‘Ârabi dalam Maktabah As-Syamilah, t.t.), 194

[10] Hasan, Masail Fiqhiyah, 38
[11] Al-Qur’an dan Terjemahnya, 6:151
[12] Hasan, Masail Fiqhiyah, 70
[13] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah,2
[14] Saifuddin Mujtaba,  Al-Masailul Fiqhiyah Jawaban Hukum Islam Terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Surabaya: IMTIYAZ, t.t.), 166
[15] Hasan, Masail Fiqhiyah, 76
[16] Saifuddin Mujtaba, al-Masailul, 170-171
[17] Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2: 185
[18] M. Ali Hasan, hal 77
[19] Ibn Katsir dalam Saifuddin Mujtaba, al-Masailul, 173
[20] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah 4
[22] Saifuddin Mujtaba, al-Masailul, 158
[23] Mahyuddin, Masailul fiqhiyah, 60
[24] Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar