BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan
merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kkta sedang
berinteraksi aktif di dalamnya. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh
semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju kedewasaannya,
setiap manusia melalui tahap pendidikan ini.
Pada
masa ini seringkali kita sebagai ummat Islam terkesima dengan kemajuan
peradaban dunia Barat. Tentunya jika sebuah peradaban suatu bangsa sangat maju,
maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang mereka kembangkan sangatlah maju
pula. Padahal sebelum itu, pada abad ke-7 masehi ummat Islam adalah rujukan
pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia. Namun masa keemasan tersebut pun harus
diakhiri dekan runtuhnya daulah Abbasiyah.
Agama
Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muammad ini
diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an, al-Qur’an merupakan teks
rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk
pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang tidak menyebutkan
makna secara “gamblang” dan jelas, penjelasan dari ayat tersebut
diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama
setelah al-Qur’an.
Sebenarnya
agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat
dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam
surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang pentingnya
pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam seringkali
lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah fitrah manusia dalam perspektif
pendidikan Islam?
2.
Bagaimanakan hakikat
pendidikan menurut al-Hadist?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. FITRAH
MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Agama
Islam menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital, lima ayat pertama
yang diturunkan dalam surat al-‘Alaq bukanlah suatu kebetulan. Ayat yang
diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan membaca ‘iqra’
yang secara tidak langsung mengandung makna dan implikasi pendidikan.
Dalam
sebuah hadist disebutkan:
عَنْ أبَيِ هُرَيرةَ رَضِيَ اللّهُ عَنهْ قَالَ
قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya:
Dari Abi Hurairah
ra, Rasulullah SAW
bersabda: “Setiap anak lahir dalam keadaan fiitrah. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)[1]
Isyarat
tentang pendidikan bagi manusia ini terjelaskan pada berbagai muatan dan konsep
ajarannya yang tersimpul dalam
al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, salah satunya adalah konsep
tentang fitrah yang terkandung pada hadis di atas. Hadis tentang fitrah
tersebut demikian populer, tidak hanya dalam pendidikan Islam tapi juga di
tengah kalangan masyarakat Islam dengan pemaknaan yang variatif.
Allah
SWT menciptakan menusia telah dibekali dengan potensi pada setiap
individu, dengan potensi itulah seseorang dapat menjalankan kehidupan dengan
penuh ketaatan dan penghambaan kepada-Nya.
Dalam hadits diatas, Rasulullah memberikan informasi tentang potensi-potensi yang
ditetapkan kepada manusia, berupa fitrah.
Fitrah
sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir merupakan pemahaman
konseptual dari surat ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya:
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”[2]
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah
yang dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi,
potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa
pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan
faktor orang tua.
Sebagai
potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang
perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis
tersebut adalah:
1.
Beriman kepada Allah SWT
2.
Kecenderungan untuk
menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3.
Dorongan ingin tahu untuk
mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir
4.
Dorongan biologis yang
berupa syahwat dan tabiat
5.
Kekuatan-kekuatan lain dan
sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan
Ibn
taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
Pertama,
fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan
daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar
manusia.
Kedua,
fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia.
Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai
kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.[3]
Dapat
disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan
potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk
menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan
kebenaran.
Namun,
fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai
dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah
ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan.
Untuk
itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang
dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah),
sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang
benar secara kaamilah.
Oleh
karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke
arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai
ditanamkan sejak dini. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عن ابن عباس أنهم قالوا: يَا رَسُولَ الله قَدْ عَلمْنَا حَقَّ
الوَالِدِ عَلَي الْوَلَدِ، فَمَا حَقَ الوَلَدِ عَلَي الوَالِد؟ قال: أَنْ يُحْسِنَ
اْسمَه، ويحسن أدَبَه) رواه البيهقي(
Artinya:
“Dari Ibn ‘Abbas,
bahwa mereka (para sahabat)bertanya: Sungguh kami telah mengethaui
hak orang tua atas anak, lalu apa hak anak atas orang tua ? Rasulullah SAW
bersabda: Beri ia nama yang baik dan ajarkan perbaiki adabnya.” (HR. Baihaqiy)[4]
Melatih
dan membiasakan suatu
perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia
anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan
kepribadian yang baik. Dalam hadits lain disebutkan:
عن انس بن مَالِك عَنْ رَسُول الله صلي الله عليه وسلم قال أَكْرِمُوا
أَوْلَادَكُم وَأحسِنوُا أدَبَهُمْ )رواه إبن ماجه(
Artinya:
“Dari
Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda:
Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka.” (HR.
Ibn Majah)[5]
Potensi-potensi
yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh
dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan
dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (ahlak) dan
pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat
berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan
seorang anak.
Sejak
usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif
disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku
sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orag
tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab,
shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan
bakat.
B. HAKEKAT PENDIDIKAN
Pendidikan
merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of
culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya
untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan
adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan
bimbingan Al-Quran dan
as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil).
Secara
semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan
dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Pengertian
tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metoda yang lazimnya
digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.
Dalam
term pendidikan Islam, sering dijumpai
kata dalam bahasa arab tarbiyah untuk
menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula
kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada ada hubungannya
dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Ketiga
terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma
memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Oleh karena
itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term pendidikan
tersebut.
1.
at-Tarbiyah
Istilah
at-Tarbiyah berasal dari kata Arab, yang berarti:
a.
bertambah dan berkembang (ربا - يربو – تربية)
b.
tumbuh dan berkembang (ربي - يربي - تربية )
c.
memperbaiki, menguasai,
memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (ربّ - يُربّ - تربية)
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian
pendidikan Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi
empat unsur, yaitu: pertama, unsur memelihara dan menjaga fitrah anak
didik menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju
kesempurnaan. Ketiga, mengarahken seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
Dan keempat, melaksanakan pendidikan secara lengkap.
Dalam al-Qur’an secara implisit
memang tidak ditemukan penunjukan kata at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada
istilah lain yang seakar
dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤)
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Menurut fahr al-Razy, kata “Rabbayani” merupakan pendidikan
dalam bentuk luas, term tersebut tidak hanya menunjukkan pada makna pendidikan
yang bersifat ucapan (domain kognitif0, tapi juga meliputi pendidikan pada
aspek tingkah laku (domain afektif).[6]
Jadi istilah at-Tarbiyah
memberikan pengertian mencakup semua aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Tidak hanya mencakup aspek jasmaniah tetapi juga
mencakup aspek rohaniah secara harmonis.
2.
al-Ta’lim
Kata
yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang
bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan
keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
Artinya:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari
kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu
sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu
pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu
atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak
dituntut pada domain afektif.
3.
al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib
merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a.
Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu
yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan
santun.
b.
Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang
berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c.
Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja
“ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki,
mendisiplin da member tindakan.[7]
Dalam hadist Nabi disebutkan:
أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي.
(رواه العكسري عن علي(
Artinya:
“Tuhan telah mendidikku,
maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Aksary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut,
dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk
menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong
dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang
baik sesuai dengan yang diharapkan.[8] Orientasi kata al-ta’dib
lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Dalam hadits disebutkan:
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ
الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلُوقُه القُرْأن
Artinya:
“Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW,
maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”[9]
Al-Qur’an merupakan sumber nilai
yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar
bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang
terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan
contoh dan suri tauladan berdasarkan al-Qur’an diantaranya melalui: pertama,
ucapan (hadits quliyah) , kedua, perbuatan (hadits fi’liyat),
dan ketiga ketetapan (hadits taqririyah).
Dalam dataran pendidikan Islam,
sunnah Nabi mempunyai dua fungsi yaitu:
1.
Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat
di dalamnya.
2.
Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah
SAW bersama sahabat, perlakuanya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang
pernah dilakukan.
Kesemuanya tersebut dapat dilihat
dari bagaimana cara Nabi melakukan proses belajar mengaja, metode yang
digunakan sehingga dengan cepat para sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan,
dan lain sebaginya yang kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah
yang dibimbing langsung oleh Allah.
BAB
III
PENUTUP
Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1.
fitrah yang berupa
pembawaan pada diri manusia
merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan
kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada
kesempurnaan dan kebenaran.
Agama Islam menganggap bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi-potensi
yang harus dikembangkan ke arah yang benar.
2.
Dalam konteks ajaran Islam
hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan
bimbingan Al-Quran dan
as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil). Pendidikan sering diterjemahkan
dalam tiga istilah yaitu kata tarbiyah untuk menggantikan kata pendidikan dalam
bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah
terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada
hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
DAFTAR PUSTAKA
Abū ‘Abd Allah
Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, 2004, Sunan IbnMājah, Juz IV, Beirut:
Dar al-Fikr
Abū ‘Abd Allah Muhammad
bin Ismā’īl al-Bukhāriy, 2006, Al-Jāmi’
Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, Beirut: Dār al-Fikri,
Abu Hamid al-Ghazaly,
t.t, Ihya’ ulumudin, juz 3, Maktabah as-Syamilah
Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kultura
Baihaqiy, t.t, Syu’bat al-Iman,
Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah
Depag RI, 2007, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, al-Hikmah, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro
[1] Abū ‘Abd Allah
Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, Al-Jāmi’
Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, (Beirut: Dār al-Fikri, 2006), 297
[2] Depag RI, 2007,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro),
30:407
[3] Arifuddin Arif, Pengantar
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura, 2008), 14
[4] Baihaqiy, Syu’bat
al-Iman, Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah, 173
[5] Abū ‘Abd Allah
Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, Sunan IbnMājah, Juz IV, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2004), 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar