BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Sejarah peradaban Islam sampai sekarang telah berjalan lebih dari
empat belas abad lamanya. Sebagaimana halnya sejarah setiap ummat, sejarah pendidikan
Islam pun mengalami pasang surut. Pada periode tertentu Islam mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, pada periode selanjutnya Islam mengalami kemajuan
dan kejayaan, kemudian pada periode lain Islam mengalami kemunduran bahkan
kehancuran.[1]
Umat Islam mengalami puncak keemasan pada masa pemerintahan daulah
Abbasiyah. Pada masa itu telah bermunculan para pemikir Islam kenamaan
yang sampai sekarang pemikirannya masih diperbincangkan dan dijadikan dasar
kebijakan bagi pemikiran dimasa mendatang, baik dalam bidang keagamaan maupun
umum. Kemajuan Islam ini tercipta berkat usaha dari berbagai komponen
masyarakat, baik ilmuan, birokrat, agamawan, militer, dan ekonomi maupun
masyarakat umum.
Setelah khilafah Abbasiyah di Bagdad runtuh akibat serangan tentara
Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaan
yang luas tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain
bahkan saling memerangi. Beberapa peniggalan budaya dan peradaban Islam banyak
yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Tidak hanya itu, Timur Lenk juga
menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.[2]
1
|
Kemunculan ketiga dinasti tersebut telah ikut menyelamatkan
eksistensi wilayah kekuasaan Islam dan sekaligus mengembangkan peradaban yang
telah dirintis pada pemerintahan dinasti-dinasti Islam sebelumnya.[3]
2. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya dinasti Utsmaniyah?
2.
Bagaimana
perkembangan pendidikan Islam pada masa dinasti Utsmaniyah?
3.
Bagaimana
sistem pengajaran pada masa dinasti Utsmaniyah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
SEJARAH AWAL BERDIRINYA DINASTI UTSMANIYAH
Bangsa Turki Utsmani berasal dari keluarga Qabey, sebuah kabilah
yang memiliki karakteristik sebagai al-Ghaz al-Turki,
yaitu bangsa badui yang suka berperang. Cikal bakal lahirnya dinasti Utsmaniyah
bermula dari kabilah yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Arthogrol
tersebut. Kabilah ini pada awalnya berangkat menuju Anatolia dan mengabdi
kepada sultan Alaudin II, penguasa Anatolia waktu itu. Melalui bantuan kabilah
ini, sultan Alaudin II mampu mengalahkan Byzantium yang selama ini sering
mengganggu stabilitas Anatolia. Atas jasa-jasanya, sultan Alaudin II memberikan
hadiah kepada Arthogrol dan kabilahnya tempat pemukiman yang luas di Sughyat,
sekitar 50 mil dari laut Harmora dan 10 mil dari Eski Shahr. Di sini, Arthogrol
dan kabilahnya dapat hidup damai dengan banyak fasilitas yang diberikan oleh
sultan kepadanya.[4]
Arthogrol meninggal dunia pada tahun 1289 M. Kepemimpinannya kemudian
dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Putra Arthogrol inilah yang dianggap sebagai
pendiri kerajaan Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290-1326 M.
Sebagaimana ayahnya ia pun mengabdikan diri kepada sultan Alauddin II.[5]
3
|
Sebelum meninggal, Utsman menunjuk anaknya Orkhan yang pada waktu
itu berusia 42 tahun untuk menjadi penerus kerajaannya. Sebelumnya Orkhan telah
dididik sebagai seorang prajurit dibawah pengawasan ayahnya, dan telah menunjukkan
kemampuannya di dalam banyak peperangan, terutama di dalam penakhlukan Brusa.[7]
Pada masa kepemimpinan Orkhan, kerajaan tidak mengendurkan ekspansi
sedikitpun. Sehingga pada masa kekuasaannya, wilayah kerajaan Utsmani meluas
hingga daratan Eropa. Sampai abad ke-17, dinasti Turki Utsmani ini menikmati
masa keemasan. Kekuatan militer Utsmani merupakan pasukan militer yang sangat
tangguh sangat menentukan stabilitas kekuasaan.
Di
bawah pemerintahan Selim dan Suleiman,
angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, yang mengontrol
sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi
penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah
dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis,
Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Dinasti
Turki Utsmani berhasil menetapkan kekuasaannya lebih dari enam abad 1299 sampai
1924 dan memiliki 37 orang sultan dengan berbagai prototype dan
dinamika.[8]
Kejayaan Utsmani mulai kelihatan pudar setelah sultan
Sulaiman meniggal dunia, yang mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan
antara putra-putranya.
Pada awal abad ke-18, Turki Utsmani berusaha mengembalikan
kejayaan dengan melakukan reformasi yang sangat gencar. Pembaharuan tersebut
meliputi pembaharuan dalam militer, pendidikan, ekonomi dan hukum yang banyak
diilhami dari Barat. Periode ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagi periode
“Reorganisasi”.[9]
Kerajaan Turki Utsmani yang menjadi simbol Islam pada waktu itu akhirnya
hilang dari peredaran dunia dengan dihapusnya gelar khalifah. Di bawah kekuasaan
Mustafa-lah pengaruh kekuasaan sultan berakhir pada tahun 1922, dan segera
setelah itu khalifah sebagai institusi agama pun dihapus sehingga Mustafa
sebagai pemimpin besar menjadi presiden pertama dari republik Turki baru.
Dengan demikian berakhirlah kehidupan panjang dan kebesaran seluruh pemerintahan
Islam.
2. PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI UTSMANIYAH
Dinasti
Turki Utsmani merupakan kerajaan yang sangat dinamis, kebudayaan yang ada di
dalamnya terdiri dari perpaduan dari bermacam-macam kebudayaan, diantaranya
adalah kebudayaan Persia, Byzantium, dan Arab.
Dari kebudayaan Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan
tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran
banyak mereka serap dari Byzantium. Sedangkan ajaran-ajaran tentang prinsip
ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan serta huruf banyak mereka terima
dari bangsa Arab.
Setelah
Mesir jatuh dibawah kekuasaan Utsmaniyah Turki, lantas Sultan Salim
memerintahkan supaya kitab-kitab di perpustakaan dan
barang-barang yang berharga di Mesir dipindahkan ke Istanbul. Anak-anak Sultan
Mamluk, Ulama-Ulama, Pembesar-Pembesar yang berpengaruh di Mesir, semuanya
dibuang ke Istambul mereka setelah mengundurkan diri sebagai khalifah dan
menyerahkan pangkat khalifah itu kepada Sultan Turki.
Dengan berpindahnya
ulama-ulama dan kitab-kitab perpustakaan dari Mesir ke Istanbul,
maka Mesir menjadi mundur dalam ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan berpindah
ke Istanbul, tempat kedudukan Sultan dan Khalifah. Dengan demikian, Istambullah
yang menjadi pusat kerajaan sekaligus pusat pendidikan serta kebudayaan saat
itu.
Sebagai
bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak mefokuskan kegiatannya
dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan
tidak begitu menonjol. Karena hal itulah dalam khazanah intelektual Islam kita
tidak menemukan ilmuan terkemuka dari Turki Utsmani. Namun demikian, mereka
banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa
bangunan-bangunan masjid yang indah.[10]
Pada
masa sultan Sulaiman, di kota-kota besar dan kota-kota lainya banyak dibangun
masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, vila, dan
pemandian umum. disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan tersebut dibangun di
bawah koordinasi Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.[11]
Perkembangan
pendidikan Islam pada masa dinasti Turki Utsmani dapat di bagi ke dalam dua
periode, yaitu zaman pertengahan dan zaman modern.
a. Zaman pertengahan (Utsman I, 1300 M – pra Mahmud II,
1808)
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa dinasti Turki Utsmani adalah bangsa yang berdarah
militer, sehingga kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan kemajuan bidang
politik dan kemiliteran. Maka secara otomastis pendidikan lebih
dikonsentrasikan pada bidang pelatihan militer. Dari sana terbentuk satuan
militer yang berhasil mengubah negara Turki Utsmani yang baru lahir, menjadi
mesin perang yang tangguh.[12]
Selain
militer, kehidupan keagamaan merupakan bagian terpenting dalam sistem sosial
dan politik daulah ini. Pihak penguasa sangat terikat dengan syari’at Islam. Ulama’
mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara dan masyarakat. Mufti sebagai
pejabat tinggi agama berwenang menyampaikan fatwa resmi mengenai problematika
keagamaan. Kegiatan tarekat pun berkembang pesat. Al-Bektasyi dan
al-Maulawy merupakan dua aliran tarekat terbesar pada waktu itu.
Keadaan
frustasi yang merata dikalangan ummat Islam pasca serangan tentara Mongol terhadap
kekuasaan Islam sebelumnya serta hancurnya tatanan kehidupan intelektual dan
material akibat konflik-konflik internal maupun eksternal menyebabkan
masyarakat kembali kepada tuhan dan bersikap fatalistis, pada waktu itu sufisme
sangat digemari dan berkembang pesat dikalangan mayarakat. Madrasah-madrasah
yang ada pun tidak luput dari gerakan sufisme ini, kegiatan-kegiatannya diarahkan
kepada riyadhah, yaitu ritual merintis jalan untuk kembali kepada Tuhan
dibawah otoritas guru-guru sufi.
Ilmu
pengetahuan keislaman seperti fiqih, tafsir, ilmu kalam dan lain-lain, tidak
mengalami perkembanganyang signifikan. Kebanyakan penguasa Utsmani cenderung
bersikap taqlid dan fanatik terhadap suatu madzhab dan menentang madzhab yang
lain. [13]
Lapangan
ilmu pengetahuan mulai menyempit, hanya madrasah-madrasah lah yang merupakan
lembaga pendidikan umum yang di dalamnya hanya diajarkan pendidikan agama, dan
pada perkembangan selanjutnya masyarakat
kemudian kurang tertarik memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dan
mengutamakan mengirim mereka belajar ketrampilan secara praktis di perusahaan-perusahaan
industri tangan.
Kemerosotan
gradual terhadap standar-standar akademis selama berabad-abad tersebut berputar di persoalan sedikitnya jumlah
buku-buku yang tercantum dalam kurikulum, dan sedikitnya waktu yang diberikan
untuk para murid dalam penguasaan bahan-bahan yang berat dan seringkali sulit
dipahami. Ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih bersifat studi tekstual
dari pada upaya memahami dan lebih mendorong hafalan daripada pemahaman yang
sebenarnya.[14]
Sistem
pengajaran yang dikembangkan adalah menghafal matan-matan meskipun murid tidak
mengerti maksudnya, seperti menghafal matan al-Jurumiyah, matan taqrib, matan
alfiyah, matan sultan dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan
tersebut barulah mempelajari syarahnya.[15]
b. Zaman modern (Mahmud II, 1808 – Abdul Majid, 1922)
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa Turki Utsmani Secara praktis mengalami stagnasi. Kemajuan
yang dicapai dalam bidang kemiliteran tidak diimbangi dengan kemajuan sains.
Ketika pihak Eropa berhasil mengembangkan teknologi persenjataan, pihak Utsmani
menderita kekalahan ketika terjadi kontak senjata dalam peperangan melawan
mereka.
Menyadari
akan kerapuhan kerajaan, upaya reformasi pun dilakukan. Mahmud II (Sultan
ke-33) dinilai sebagai penggagas tonggak reformasi dinasti Turki Utsmani. Ia
mulai keluar dari tradisi aristokrasi dalam membangun relasi dengan rakyatnya.
Diantara pembaharuan yang dirintis olehnya adalah dalam bidang militer,
organisasi kerajaan, hukum, dan yang paling penting serta berpengaruh besar
bagi perkembangan pembaharuan di kerajaan Utsmani adalah perubahan dalam bidang
pendidikan.
Pola
madrasah yang masih tradisional pada masa pertengahan kemudian ia rubah dengan
pola pendidikan yang relevan dengan zamannya (abad ke-19), dan mengikis buta
aksara. Kebijakan pendidikan pun dirubah dengan memasukkan pendidikan umum
dalam kurikulum yang dilaksanakan melalui proses sosialisai yang tidak mudah.
Ia kumudian mendirikan-madrasah pengetahuan umum serta sastra yang diberi nama Mekteb-i
Ma’arif dan Mekteb-i Ulum-u Adebiye.
Di
kedua madrasah tersebut diajarkan bahasa Prancis, ilmu bumi, ilmu ukur,
sejarah, dan ilmu politik disamping bahasa Arab. Sekolah pengetahuan umum
mendidik siswa untuk menjadi pegawai administrasi, dan sekolah sastra
menyiapkan penterjemah-penterjemah untuk kepentingan pemerintah.
Sultan
Mahmud II setelah itu kemudian mendirikan sekolah militer, sekolah teknik,
sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan. Kedua sekolah terakhir kemudian
digabung dalam satu wadah Dar-ul Ulum-u hikmiye ve Mekteb-i Tibbiye-i Sabane
menggunakan bahasa Prancis. Disekolah ini terdapat pula buku-buku filsafat
dan berbagai pengetahuan umum. Di sana mulai muncul ide-ide modern sebagai counter
opinion atas faham fatalistik yang telah lama menyelimuti masyarakat. Hal
tersebut mengejutkan ulama’ Turki abad ke-19 masa itu. Selain mendirikan
sekolah, sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa.[16]
Gerakan
pembaharuan selanjutnya kemudian dikenal dengan istilah Tanzimat,
bentukan dari kata dasar nidzam yang berarti mengatur, menyusun, dan
memperbaiki. Pada zaman inilah kemudian banyak disusun peraturan dan
undang-undang baru di mana pemukanya banyak yang telah terdidik di Eropa dan
berpengalaman di bidang-bidang strategis.
Pada
masa sultan Abdul Hamid (1876-1909), terjadi pergolakan politik antara
pemerintahan kerajaan dan pembaharu Utsmani muda. Namun upaya-upaya memajukan
pendidikan tetap dilakukan dengan mendirikan perguruan-perguruna tinggi,
sekolah hukum tinggi (1878), sekolah tinggi keuangan (1878), sekolah tinggi
kesenian (1879), sekolah tinggi dagang (1882), sekolah tinggi teknik (1888),
sekolah dokter hewan (1889), sekolah tinggi polisi (1891), dan universitas Istambul
(1900).[17]
Meskipun
gerakan Utsmani muda telah ditumpas oleh sultan, tidak berarti konflik internal
politik di lingkungan kerajaan berhenti. Gerakan baru muncul yang mengatas
namakan gerakan Turki Muda yang terdiri dari kaum intelegensia yang dipengaruhi
oleh pemikiran liberal Barat. Gerakan ini kemudian meluas di berbagai daerah
dan kemudian megambil peran oposisi dari pemerintahan absolut sultan.
Pergerakan mereka dilakukan dengan rahasia dan teroganisir hingga di luar
negeri. Dianta pemikirannya adalah bahwa selama Turki masih bersifat kolektif,
sultan akan tetap berkuasa absolut. Jalan ampuh untuk menguubah sifat masyarakat
dari kolektif menjadi individual adalah pendidikan. Rakyat Turki harus dididik
dan dan dilatih berdiri sendiri untuk mengubah nasibnya.
Sultan
Abdul Hamid kemudian dijatuhkan dan digantikan oleh saudaranya sultan Mehmed V.
Dalam iklim yang tidak stabil, bersama parlemennya sultan berusaha untuk mengadakan
pembaharuan dalam berbagai bidang seperti administrasi, transportasi, pelayanan
umum dan pendidikan.
Ia
mendirikan Sekolah-sekolah dasar dan menengah yang baru. Untuk mengatasi
kebutuhan tenaga pengajar, dibuka pula sekolah-sekolah guru. Kaum wanita bebas
memilih sekolah hingga bermunculan dokter-dokter dan hakim-hakim dari kalangan
wanita. Perubahan juga menjalar ke pola berpakaian pria dan wanita yang
mengikuti tren mode eropa. Dalam bidang publikasi, surat kabar dicetak sejumlah
60.000 copy.
Dampak
dari pembaharuan-pembaharuan tersebut kemudian memunculkan tiga kutub dalam aliran
pembaharu, yaitu yang berhaluan Barat, Islam, dan Nasionalis. Golongan Barat
ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharu, menurutnya Turki mundur
karena bodoh dan kebodohan tersebut disebabkan oleh syari’at yang menguasai
seluruh segi kehidupan bangsa Turki. Golongan Islam ingin Islam-lah yang
menjadi dasar pembaruan, menurut mereka agama (syari’at Islam) tidak pernah
menjadi penghalang kemajuan, Turki justru mundur karena tidak menjalankan
syari’at Islam. Dan golongan Nasionalis Turki yang timbul belakangan menyatakan
bahwa bukan Barat dan Islam yang dijadikan dasar, tetapi nasionalisme Turki.
Mereka berpendapat bahwa turki mundur disebabkan oleh kengganan ummat Islam yang
yang tidak mengakomodir perubahan-perubahan.
Diantara
tokoh aliran barat adalah Tewfik Fikret (1867-1951), dan tokoh aliran Islam
adalah Mehmed Akif (1870-1936), sementara tokoh Nasionalis adalah Ziya Gokalp
(1875-1924).[18]
Perkembangan
sejarah pendidikan Islam dikerajaan Turki Utsmani sampai pada titik akhir
seiring dengan berakhirnya dinasti Turki Utsmani. Sultan terakhir Abdul Majid
II digulingkan dan tampuk kekuasaan Turki beralih tangan kepada Mustafa Kamal Attaturk
yang menanamkan westernisasi dan sekularisasi di berbagai sendi kehidupan
nasional Turki.[19]
Adapun
perpustakaan pada masa kemajuan Islam tidak terhitung banyaknya diseluruh
Negara Islam, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan khusus. Hampir diseluruh masjid dan
madrasah-madrasah ada perpustakaan yang berisi bermacam-macam ilmu, terutama
ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab.
Pada masa
Utsmaniyah Turki, masa kemunduran pendidikan dan pengajaran Islam,
perpustakaan sangat berkurang, hanya terdapat di Istambul dan sedikit di
Mesir, Damsyik, Halab, dan Qudus. Jumlah perpustakaan pada masa
itu kurang lebih 26 buah, 22 buah di Istambul dan 4 buah diluarnya. Jumlah
kitab dalam perpustakaan itu kurang lebih 30.000 kitab.
NO
|
NAMA PERPUSTAKAAN DI ISTAMBUL
|
Banyak
Jilidnya
|
1
|
Maktabah Sultan
Muhammad Tsani
|
1.537
|
2
|
Maktabah Sultan
Sulaiman
|
803
|
3
|
Maktabah Qalij
Ali Basya
|
752
|
4
|
Maktabah Hafiz
Ahmad Basya
|
412
|
5
|
Maktabah Kiyuberily
Ughlu
|
1448
|
6
|
Maktabah Syahid
Ali Basya
|
2.906
|
7
|
Maktabah Ibrahim
Basya
|
831
|
8
|
Maktabah Walidah
Sultan
|
732
|
9
|
Maktabah Basyir
agha
|
552
|
10
|
Maktabah Athif
effendi
|
1.336
|
11
|
Maktabah Aya
shofia
|
1.445
|
12
|
Maktabah Seral
Ghalthah
|
556
|
13
|
Maktabah Usman
Tsalits
|
2,421
|
14
|
Maktabah Muhammad
Raghib Basya
|
1,077
|
15
|
Maktabah La’lahli
Daftar I
|
890
|
16
|
Maktabah La’lahli
Daftar II
|
1.947
|
17
|
Maktabah Serai
Hamayun
|
916
|
18
|
Maktabah Waliyuddin
Efendi
|
1.769
|
19
|
Maktabah Asyrir
Efendi
|
1.877
|
20
|
Maktabah Damad
Ladah M. Murad Efendi
|
1.109
|
21
|
Maktabah Abdul
Hamid
|
1.383
|
22
|
Maktabah Halat
Efendi
|
656
|
Jumlah
kitab-kitab di Istambul
|
24.445
|
|
NO
|
NAMA PERPUSTAKAAN DILUAR ISTAMBUL
|
Banyak Jilidnya
|
1
|
Maktabah Al-azhar
di Kairo
|
1.099
|
2
|
Maktabah Abdullah
Basya Al-Azhm di Damsyik
|
422
|
3
|
Maktabah Madrasah
Ahmadiyah di Halab
|
269
|
4
|
Maktabah Qudus
|
609
|
Jumlah
semua kitab-kitab
|
29.844[20]
|
3. SISTEM PENGAJARAN PADA MASA DAULAH UTSMANIYAH
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa sistem pengajaran yang dikebangkan pada Turki Utsmani adalah
menghafal matan-matan meskipun murid-murid tidak mengerti maksudnya, seperti
menghafal Matan Al-Jurmiyah, Matan Taqrib, Matan Al-Fiyah,
Matan Sultan, dan lain-lain. Murid-murid setelah menghafal matan-matan
itu barulah mempelajari syarahnya. Karena pelajaran itu bertambah berat dan
bertambah sulit untuk dihafalkannya. Sistem pengajaran diwilayah ini masih
digunakan sampai sekarang. Pada masa pergerakan yang terakhir, masa pembaharuan
pendidikan Islam di Mesir dan Syiria (Tahun 1805 M) telah mulai
diadakan perubahan-perubahan di sekolah-sekolah (Madrasah) sedangkan di Masjid
masih mengikuti sistem yang lama.[21]
Pada masa Utsmaniyah
Tuki pendidikan dan pengajaran mengalami kemunduran, terutama diwilayah-wilayah
seperti Mesir, Baghdad dan lain-lain. Yang mula-mula mendirikan madrasah pada
masa Utsmaniyah Tuki ialah Sultan Orkhan (wafat tahun 761 H. /
1359 M.). kemudian diikuti oleh Sultan-sultan keluarga Utsmaniyah dengan
mendirikan madrasah-madrasah yang lain, seperti halnya madrasah yang didirikan
oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Sultan-sultan pada masa Utsmaniyah banyak
mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah terutama di Istambul dan Mesir.
Tetapi tingkat pendidikan itu tidak mengalami perbaikan dan kemajuan
sedikitpun.
Pada masa
itu banyak juga perpustakaan yang berisi kitab-kitab yang tidak sedikit
bilangannya. Tiap-tiap orang bebas membaca dan mempelajari isi kitab itu.
Bahkan banyak pula ulama, guru-guru, ahli sejarah dan ahli syair pada masa itu.
Tetapi mereka-mereka itu hanya mempelajari kaidah-kaidah ilmu-ilmu Agama dan
Bahasa Arab, serta sedikit ilmu berhitung utuk membagi harta warisan dan ilmu
miqat untuk mengetahui waktu sembahyang. Mereka tidak terpengaruh oleh
pergerakan ilmiyah di Eropa dan tidak mau pula mengikuti jejak zaman kemajuan
Islam pada masa Harun Ar-Rasyid dan masa Al-Makmun, yaitu masa keemasan dalam
sejarah Islam. Demikianlah keadaan pendidikan dan pengajaran pada masa Utsmaniyah
Turki, sampai jatuhnya sultan/khalifah yang terakhir tahun 1924 M.[22]
Adapun tingkat-tingkat pengajaran
di Turki adalah sebagai berikut:
1.
Tingkat Rendah
(S.R.) 5 tahun
2.
Tingkat Menengah
(S.M.P.) 3 tahun
3.
Tingkat Menengah
Atas (S.M.A.) 3 tahun
Dikelas IV
dan V S.R. diajarkan ilmu Agama jika mendapatkan izin dari orang tua murid. Begitu juga
diajarkan agama dikelas III Sekolah Menengah (S.M.P.) jika diminta oleh orang
tua murid.
Selain itu,
ada juga sekolah Imam Chatib (sekolah agama) 7 tahun, 4 tahun pada tingkat
menengah pertama dan tiga tahun pada tingkat menengah atas. Murid-murid yang
diterima masuk sekolah imam chatib itu ialah murid-murid tamatan S.R 5 tahun.
Untuk melanjutkan dari sekolah Imam Chatib didirikan Institut Islam di
Istambul, dan pengajarannya berlangsung selama 4 tahun.
Materi-materi
yang diajarkan lebih didominasi oleh mata pelajaran agama, sedangkan pelajaran
umum masih minim. Dasar-dasar pengajarannya adalah sebagai berikut:
1.
Tafsir
2.
Hadis
3.
Bahasa Arab
4.
Bahasa Turki
5.
Filsafat
6.
Sejarah Kebudayaan Islam
7.
Ilmu Bumi
8.
dll.[24]
Selanjutnya
pada masa reformasi yang dilakukan oleh sultan Mahmud II barulah pelajaran umum
banyak yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Pelajaran tersebut meliputi:
1.
Bahasa Prancis
2.
Ilmu bumi
3.
Ilmu ukur
4.
Sejarah
5.
Ilmu politik
6.
Sastra, dan
7.
Ilmu kedokteran
Adapun
ulama’-ulama’ yang masyhur pada waktu itu diantaranya:
1.
Syeikh Hasan Ali Ahmad As-Syafi’I yang dimasyhurkan
dengan Al-Madabighy, Jam’ul Jawami dan syarah Ajrumiyah (wafat
tahun 1170 H/1756M.) pengarang Hasiyah
2.
Ibnu Hajar Al-Haitsami (wafat tahun
975H/1567M) pengarang Tuhfah.
3.
Syamsuddin Ramali (wafat
tahun 1004H/1959H) pengarang Nihayah.
4.
Muhammad bin Abdur Razak, Murtadla
Al-Husainy Az-Zubaidy, pengarang syarah Al-Qamus, bernama Tajul
Urus (wafat tahun 1205H/1790M)
5.
Abdur Rahman Al-Jabarity (wafat tahun
1240H/1825M), pengarang kitab tarikh mesir, bernama Ajaibul-Atsar
Fit-Tarajim Wal-Akhbar.
6.
Syekh Hasan Al-Kafrawy As-Syafi’I Al-azhary
(wafat tahun 1202H/1787M) pengarang kitab nahwu Syarah Ajrumiyah,
barnama Kafrawy.
7.
Syeikh Sulaiman bin Muhamad bin Umar
Al-Bijirmy As-Syafi’i (wafat tahun 1212H/1806M), pengarang syarah-syarah
dan Hasyiah-Hasyiah.
8.
Syeikh Hasan Al-Attar (wafat
tahun 1250 H/1834 M), ahli ilmu pasti dan ilmu kedokteran
9.
Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Arfah
Ad-Dusuqy Al-Maliki (wafat tahun 1230 H/1814 M) ahli filsafat dan Imu
falak serta ahli ilmu ukur.[25]
10. Nuruddin Ali Al-Buhairi (wafat tahun 944 H/1537 M)
11. Abdurrahman Al-Manawy (wafat tahun 950 H/ 1543 M)
12. Syahabuddin Al-Quliyuby.
13. Abdul-Baqybin Yusuf Az-Zarqany Al-Maliki(1099 H / 1687 M)
14. Syeikh Abdulah Al-Syarqawy (Syeikh Al-Azhar) (wafat
tahun 1227 H/1812 M)
15. Syekh Musthafa bin Ahmad As-Shawy (wafat tahun 1216 H/1801 M)
BAB
III
PENUTUP
Dari
penjelasan-penjelasan sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan
diantaranya:
1. Ummat
Islam mengalami kemunduran pasca hancurnya daulah abbasiyah di baghdad, dan
baru dapat bangkit kembali setelah berdirinya tiga kerajaan besar termasuk
kerajaan Turki Utsmani. Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dari nama khalifah
pertama, yaitu sultan Utsman Ibnu Arthogrol. Kerajaan ini berdiri dan berkuasa
sejak abad ke-13 sampai abad ke-19. Sultan Utsman sebagai sultan pertama
kerajaan bergelar Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Utsman).
2. Pada
masa kekuasaan dinasti Utsmaniyah, sektor pendidikan tidak mengalami
perkembangan yang begitu berarti. Hal itu disebabkan karena kebijakan
pemerintah kerajaan yang lebih memprioritaskan sektor militer. Kemunduran yang
dialami oleh ummat Islam dan kemajuan yang raih oleh barat pada sekitar abad
ke-18 mendorong para khalifah untuk mereformasi segala aspek termasuk dalam
bidang pendidikan. Sehingga perkembangan pendidikan islam pada masa daulah
Utsmaniyah dapat dikelompokkan ke dalam dua masa, yaitu pertama, zaman
pertengahan (Utsman I, 1300 M – pra Mahmud II, 1808, dan kedua,
zaman modern (Mahmud II, 1808 – Abdul Majid, 1922).
3.
16
|
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, 2010, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Badri
Yatim, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Raja Grafindo
Dedi Supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: CV Pustaka Setia
Mahmud Yunus, 1968, Perbandingan Pendidikan
Modern di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, Jakarta: CV.
Al-Hidayah
Philip
K. Hitti, 2008, History of The Arab;
From the Erliest Times to the Present, terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet, Jakarta: PT. SERAMBI ILMU
Samsul Nizar, 2007, Sejarah Pendidikan Islam
Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 248
[2] Badri Yatim, sejarah Peradaban
Islam, (jakarta: Raja Grafindo, 2008), 129
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2007),196
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam, 197
[5] Badri Yatim, Sejarah Perdaban
Islam, 130
[6] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban
Islam, 248
[7] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010), 273
[8] Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,
197
[9] Nur’ani dalam Abudin Nata, sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 27
[10] Badri Yatim, Sejarah Perdaban
Islam, 136
[11] Philip K. Hitti, History of
The Arab; From the Erliest Times to the Present, terjemah R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet, (Jakarta: PT. SERAMBI ILMU, 2008), 715
[12] Abuddin Nata, 283
[13] Zuhairini dalam Abuddin Nata,
284
[14] Abuddin Nata, 286
[15] Nur’ani dalam Abudin Nata, 276
[16] Abuddin Nata, 287
[17] Abuddin Nata, 288
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, 265
[19] Abuddin Nata, 289-290
[21]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan
Islam, 276
[22]
Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), cet ke.5, 164-165
[24] Mahmud Yunus, Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan
Intisari Pendidikan Barat, (Jakarta: C.v. Al-Hidayah, 1968), 124-125
[25]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan
Islam, 277-278
[26]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam, 171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar