KEKUASAAN DINASTI UMAYYAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah?
  2. Bagaimana sistem pemerintahan Dinasti Umayyah?
  3. Apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Umayyah?
  4. Apa faktor penyebab kemunduran Dinasti Umayyah?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
a.      Kelahiran Dinasti Umayyah
Nama daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah.[1] Bani Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan beliau menyerbu masuk ke dalam kota Makkah.
Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Pembunuh tersebut disinyalir dari golongan Khawarij yang merasa bahwa perpecahan ummat Islam adalah disebabkan oleh tiga orang, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dan ‘Amr bin al ‘Ash.
Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Irak mengangkat al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara itu Muawiyah sebagi gubernur propinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan dirinya sebagai Khalifah.[2]
Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian damai yang berisi:
1.            Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak.
2.            Agar pajak tanah negeri ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.
3.            Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham.
4.            Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak.
5.            Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak daripada  bani Abdu Syam.
6.            Jabatan sesudah khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah diantara kaum Muslimin.
Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H (661 M) merupakan tahun persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah).
Sepeninggal Rasulullah, Bani Umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan penggati Rasul (Khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyongkong pencalonan Utsman secara terang-terangan, hingga akhirnya Utsman terpilih. Sejak saat itu mulailah Bani Umayyah meletakan dasar-dasar untuk menegakan Khalifah Umayyah. Pada masa pemerintahan Utsman inilah Mu’awiyyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam (Syiria) sebagi pusat kekuasaanya di kemudian hari
Oleh Muawiyah ibu kota Negara dipindah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Pemerintahan yang sebelumnya bersifat demokratis dirubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus berlangsung selama 91 tahun (41 – 132 hijriah atau 661 – 750 M) dengan 14 khalifah yang dimulai dari Umayyah bin Abi Sufyan dan diakhiri Marwan ibn Muhammad.[3]

b.      Perkembangan dinasti Umayyah
Meskipun ummat Islam telah bersatu dalam satu kepemimpinan, kekhalifahan Muawiyah yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, dan tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak telah melahirkan golongan-golongan oposisi yang pada akhirnya nanti akan menjadi sebab kehancuran Dinasti tersebut.
Diantara peristiwa penting pada masa dinasti ini adalah peristiwa perang di karbala, tragedi tersebut melibatkan adik Hasan ibn Ali yaitu Husein dan panglima perang khalifah Yazid ibn Muawiyah.
c.       Peristiwa Karbala
Adik laki-laki al-Hasan, Husein yang pada masa pemerintahan Muawiyah hidup tenang di Madinah tidak mau mengakui pengganti Muawiyah yaitu Yazid. Ia pergi ke Kuffah untuk memenuhi seruan penduduk Irak yang akan menobatkannya sebagai khalifah pada tahun 680 M. Namun pada 10 Muharram 61 H (10 oktober 680) seorang jenderal terkenal dengan nama Umar ibn Sa’d ibn Abi Waqqas membawa 4000 pasukan mengepung al-Husein yang hanya didampingi 200 orang. Al-Hasan pun tidak selamat dalam pembantaian tersebut.[4]
Pertempuran Karbala terjadi pada tanggal 10 Muharram, tahun ke-61 dari kalender Islam (9 atau 10 Oktober 680) di Karbala, yang sekarang terletak di Irak. Pertempuran terjadi antara pendukung dan keluarga dari cucu Muhammad, Husain bin Ali dengan pasukan militer yang dikirim oleh Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah saat itu.
Pihak Husain terdiri dari anggota-anggota terhormat keluarga dekat Muhammad, sekitar 128 orang. Husain dan beberapa anggota juga diikuti oleh beberapa wanita dan anak-anak dari keluarganya. Di pihak lain, pasukan bersenjata Yazid I yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad berjumlah 4.000-10.000.
Pagi 10 Muharram, setelah Shalat Shubuh, Imam Husayn membagi pasukan kecilny menjadi 3 bagian. Pasukan kanan dipimpin oleh Zuhayr ibn Qayn dan Habib ibn Muzahir, pria berusia 70 tahun di bagian kiri. Dan adik tirinya, 'Abbas ibn 'Ali di bagian tengah bersama Ahlul Bayt dan Imam Husayn. Semua tentara Imam Husayn berjumlah 72 yang terbagi 32 pasukan berkuda dan 40 tentara pejalan kaki. Imam Husayn masih meminta kepada tentara Umayyah untuk kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Khutbahnya begitu memikat, hingga Hurr ibn Yazid dan beberapa orang lainnya masuk ke dalam tentara Imam Husayn.
Pertempuran ini kemudian diperingati setiap tahunnya selama 10 hari yang dilakukan pada bulan Muharram oleh Muslim Syi'ah seperti halnya segolongan Sunni, dimana puncaknya pada hari kesepuluh, Hari Asyura.

d.      Khalifah-khalifah bani Umayyah di Damaskus:
1.      Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
Mu’awiyah adalah khalifah pertama dinasti Umayyah dari garis Harb yang secara resmi menjadi khalifah pada tahun 41 H. Muawiyyah dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan keras, tetapi penuh toleransi dan lapang dada. Sifat demikian melapangkan jalan bagi Muawiyyah untuk memperkukuh posisi politik.
Dalam mengendalikan pemerintahan, Mu’awiyyah di dukung oleh beberapa pembatu utama dalam mengatasi berbagai kesultanan, diantaranya Amr bin As (Gubernur Mesir); Mugirah bin Syu’bah (Gubernur Kuffah) kota barat sungai Eurafat (Irak); Ziyad bin Abihi (Gubernur Persia); Ubaidillah bin Ziyad (Gubernur di Basra) hingga wafatnya Muawiyyah tahun 680.
Masa Mu’awiyyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dan mengatarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran serta kekayaan meliputi perluasan wilayah hingga Afrika Utara, wilayah Khurasan dan Bukhara (Turkistan) setelah menyeberangi sungai Oxus.

2.      Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
Yazid bin Muawiyah bergelar Yazid I (645 - 683) ialah khalifah kedua Bani Umayyah dan pengganti ayahanya Muawiyah. Insiden khusus dari masa pemerintahannya terjadi dalam Pertempuran Karbala di mana cucu Nabi Muhammad, Husain bin Ali beserta pengikutnya terbunuh. Tidak hanya Husain tokoh terkemuka yang menentang kenaikan Yazid ke kursi kekhalifahan, ia juga ditentang Abdullah bin Zubair yang menyatakan menjadi khalifah yang sah. Saat orang-orang Hejaz mulai memberikan kesetiaan pada Abdullah, Yazid mengirim pasukan untuk mengamankan daerah itu, dan Makkah diserbu. Selama penyerbuan, Ka’bah rusak, namun pengepungan berakhir dengan kematian mendadak Yazid pada 683.
Sebagai lelaki muda, Yazid mengkomando pasukan Arab yang ayahnya Muawiyah mengirim untuk mengepung Konstantinopel. Segera setelah itu ia menjadi khalifah, Walau banyak sekali pemberontakan dalam pemerintahannya, dengan penuh semangat Yazid mencoba melanjutkan kebijakan ayahnya dan menggaji banyak orang yang membantunya. Ia memperkuat struktur administrasi khilafah dan memperbaiki pertahanan militer Suriah, basis kekuatan Bani Umayyah. Sistem keuangan diperbaiki. Ia mengurangi pajak beberapa kelompok Kristen dan menghapuskan konsesi pajak yang ditanggung orang-orang Samara sebagai hadiah untuk pertolongan yang telah disumbangkan di hari-hari awal penaklukan Arab. Ia juga memberikan perhatian yang berarti pada pertanian dan memperbaiki sistem irigasi di oasis Damsyik. Ia digantikan putranya Muawiyah II.

3.      Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
Muawiyah bin Yazid bergelar Muawiyah II (661 - 684) ialah Khalifah Bani Umayyah selama hampir 6 bulan setelah kematian ayahandanya Yazid I. Khilafah yang diwarisinya dalam keadaan kacau sebab pernyataan Ibnu Zubair sebagai khalifah sebenarnya dan memegang daerah Hejaz seperti daerah lain.
Muawiyah II dianggap sebagai orang yang ramah yang yang tidak giat melibatkan diri dalam politik. Umumnya dipercaya bahwa ia turun tahta dan meninggal segera setelah itu, meski beberapa sumber menyebutkan ia diracun. Ia digantikan oleh keluarga Bani Umayyah dari cabang lainnya, yaitu Marwan bin al-Hakam (Marwan I).

4.      Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
Marwan bin al-Hakam bergelar Marwan I (623 - 685) ialah Khalifah Bani Umayyah yang mengambil alih tampuk kekuasaan setelah Muawiyah II menyerahkan jabatannya pada 684. Naiknya Marwan menunjukkan pada perubahan silsilah Bani Umayyah dari keturunan Abu Sufyan ke Hakam, mereka ialah cucu Umayyah. Hakam ialah saudara sepupu Utsman bin Affan.
Selama masa pemerintahan Utsman, Marwan mengambil keuntungan dari hubungannya pada khalifah dan diangkat sebagai Gubernur Madinah. Bagaimanapun, ia diberhentikan dari posisi ini oleh Ali, hanya diangkat kembali oleh Muawiyah I. Akhirnya Marwan dipindahkan dari kota ini saat Abdullah bin Zubair memberontak terhadap Yazid I. Dari sini, Marwan pergi ke Damsaskus, di mana ia menjadi khalifah setelah Muawiyah II turun tahta.
Masa pemerintahan singkat Marwan diwarnai perang saudara di antara keluarga Umayyah, seperti perang terhadap Ibnu Zubair yang melanjutkan pemerintahan atas Hejaz, Irak, Mesir dan sebagian Suriah. Marwan sanggup memenangkan perang saudara Bani Umayyah, yang berakibat naiknya keturunan Marwan sebagai jalur penguasa baru dari Khalifah Umayyah. Ia juga sanggup merebut kembali Mesir dan Suriah dari Ibnu Zubair, namun tak sanggup sepenuhnya mengalahkannya.
Marwan bin al-Hakam digantikan sebagai khalifah oleh anaknya Abdul Malik bin Marwan.

5.      Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
Abdul Malik bin Marwan adalah khalifah kelima dari Bani Umayyah, menggantikan khalifah Marwan bin al-Hakam pada 692 Masehi. Selama masa pemerintahannya ia membebaskan banyak kota seperti kota-kota Romawi (696-705 M), Afrika Utara (698-703 M), dan Turkistan (705 M). Tahun 705 M ia digantikan oleh anaknya, Al-Walid bin Abdul-Malik. Pada masa pemerintahannya lahir Imam Syi'ah keenam yaitu Ja'far ash-Shadiq.

6.      Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
Al-Walid bin Abdul-Malik bergelar Al-Walid I (668-715) ialah Khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara 705-715. Ia melanjutkan ekspansi Khilafah Islam yang dicetuskan ayahandanya, dan merupakan penguasa yang efektif.
Al-Walid I ialah putra sulung Abdul-Malik dan menggantikannya ke kursi kekhilafahan setelah kematiannya. Seperti ayahandanya, ia melanjutkan untuk memberikan kebebasan pada Al-Hajjaj bin Yusuf, dan kepercayaannya Al-Hajjaj dilunasi dengan penaklukan sukses Transoxiana (706), Sindh (712), sebagian Prancis (711), Punjab (712), Khawarizm (712), Samarkand (712), Kabul (kini di Afganistan, pada 713), Tus (715), Spanyol (711), dan tempat-tempat lain. Hajjaj bertanggung jawab memilih jenderal yang menunjukkan kampanye sukses, dan banyak dikenal dari kampanye suksesnya terhadap Ibn Zubair selama masa pemerintahan ayahanda Al-Walid.
Al-Walid sendiri melanjutkan pemerintahan yang efektif yang merupakan ciri-ciri ayahandanya, ia mengembangkan sistem kesejahteraan, membangun rumah sakit, institusi pendidikan dan langkah-langkah untuk apresiasi seni. Al-Walid sendiri merupakan penggemar berat arsitektur lalu memperbaiki, memperluas dan memperbaharui kembali Masjid Nabawi di Madinah tahun 706. Di samping itu, ia mengubah Basilika Kristen St. Yohanes Pembaptis menjadi mesjid besar, kini dikenal sebagai Masjid Agung Damaskus atau secara singkat Masjid Umayyah. Al-Walid juga secara besar-besaran mengembangkan militer, membangun angkatan laut yang kuat.
Ia juga dikenal karena kesalehan pribadinya dan banyak cerita menyebutkan bahwa ia terus-menerus mengutip al-Qur'an dan selalu menjadi tuan rumah yang menyajikan jamuan besar untuk orang-orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan. Al-Walid digantikan saudaranya Sulaiman bin Abdul-Malik.

7.      Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
Sulaiman bin Abdul-Malik (674 - 717) ialah Khalifah Bani Umayyah yang memerintah dari 715 sampai 717. Ayahandanya ialah Abdul-Malik, dan merupakan adik khalifah sebelumnya al-Walid I.
Sulaiman mengambil kekuasaan, dalam, pada lawan politiknya Al-Hajjaj bin Yusuf. Bagaimanapun, al-Hajjaj meninggal pada 714, maka Sulaiman menyiksa sekutu politiknya. Di antaranya ada 3 jenderal terkenal Qutaibah bin Muslim, Musa bin Nusair, dan Muhammad bin Qasim. Seluruhnya ditahan dan kemudian dibunuh.
Di bawah pemerintahannya, ekspansi berlanjut ke bagian pegunungan di Iran seperti Tabiristan. Sulaiman juga memerintahkan serangan ke Konstantinopel, namun gagal. Di kancah domestik, dengan baik ia telah membangun di Makkah untuk ziarah, dan mengorganisasi pelaksanaan ibadah. Sulaiman dikenal untuk kemampuan pidatonya yang luar biasa, namun hukuman matinya pada ke-3 jenderalnya menyuramkan reputasinya.
Ia hanya memerintah selama 2 tahun. Ia mengabaikan saudara dan putranya, dan mengangkat Umar bin Abdul-Aziz sebagai penggantinya sebab reputasi Umar sebagai salah satu dari yang bijaksana, cakap dan pribadi alim di masa itu. Pengangkatan seperti jarang terjadi pada masa itu, walau secara teknis memenuhi cara Islam untuk mengangkat pengganti, mengingat pengangkatan berkelanjutan tidak.

8.      Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia di bai'at sebagai khalifah pada hari Jumat setelah salat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.
Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun selama 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.
Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham perbulan. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.

9.      Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
Yazid bin Abdul-Malik atau Yazid II (687 - 724) ialah Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa antara 720 sampai kematiannya pada 724.
Pengangkatan Yazid dihantam oleh konflik internal dan eksternal di sana-sini. Sejumlah perang saudara mulai pecah di bagian yang berbeda dari kekhilafahan seperti Spanyol, Afrika dan di timur. Reaksi keras oleh penguasa Bani Umayyah tak membantu persoalan, dan kelompok anti-Umayyah mulai memperoleh kekuasaan di antara mereka yang tak puas. Ini menyebabkan kelompok seperti Bani Abbasiyah mulai membangun dasar kekuatan yang akan digunakannya untuk merobohkan Khilafah Bani Umayyah. Namun Khilafah Bani Umayyah belum benar-benar surut.
Yazid II meninggal pada 724 karena tuberkulosis. Ia digantikan saudaranya Hisyam.

10.  Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
Hisyam bin Abdul-Malik (691743 umur 51–52 tahun) adalah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa sejak 724 (umur 32–33 tahun) sampai kematiannya pada 743 (selama 18–19 tahun).
Hisyam mewarisi kekhalifahan dari saudaranya Yazid II dengan menghadapi banyak permasalahan. Ia berhasil menanganinya, dan menyebabkan kekhalifahan Umayyah berlanjut sebagai sebuah negara. Masa pemerintahannya yang panjang merupakan pemerintahan yang berhasil, dan memperlihatkan lahirnya kembali berbagai perbaikan yang pernah dirintis oleh pendahulunya Umar bin Abdul-Aziz.

11.  Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
Al-Walid bin Yazid atau al-Walid II (meninggal 16 April 744) ialah Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa antara 743 sampai 744. Ia menggantikan pamannya, Hisyam bin Abdul-Malik.
Naiknya Walid ke tampuk kekuasaan secara keras ditantang banyak orang dalam istana karena reputasi Walid yang gaya hidupnya tak bermoral. Walau begitu, ia telah dijadikan khalifah. Ia hampir secara cepat mulai menargetkan yang menentangnya, menimbulkan kebencian luas terhadap Walid yang menyebar menjadi kebencian pada Bani Umayyah. Walid terbunuh pada 16 April 744 saat memerangi beberapa musuhnya. Ia digantikan sepupunya Yazid III.

12.  Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
Yazid bin Walid bin Abdulmalik atau Yazid III (701 - 744) ialah Khalifah Bani Umayyah. Ia naik tahta hanya selama 6 bulan sebelum meninggal.
Pengangkatannya ditandai tindakannya yang tak sempurna, membuatnya digelari "Tak Sempurna". Di antara yang terkemuka ialah penolakannya untuk membayar kenaikan gaji pada pasukan oleh al-Walid II. Yazid digantikan saudaranya Ibrahim bin Walid.

13.  Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
Ibrahim bin Al-Walid ialah Khalifah Bani Umayyah. Ia hanya memerintah dalam waktu singkat di tahun 744 sebelum ia turun tahta, dan bersembunyi dari ketakutan terhadap lawan-lawan politiknya.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ibrahim bin al-Walid, telah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mengakibatkan lahirnya golongan Mutakalimin, seperti Mu'tazilah, Jabariah, Ahlus Sunnah, dsb.

14.  Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M
Marwan bin Muhammad bin Marwan, bergelar Marwan II (688-750), merupakan Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari 744 sampai 750 saat ia terbunuh. Ia merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah yang berkuasa dari Damaskus.
Sebelum menjadi khalifah, Marwan telah menjabat sebagai Gubernur Azerbaijan. Dalam kapasitas ini beberapa kali ia mengadakan perang terhadap Khaganat Khazar, memenangkan kejayaan Phirrik namun tak sanggup mengokohkan penaklukannya.
Marwan kemudian berkuasa setelah sepupunya Ibrahim bin Walid mengundurkan diri dan pergi ke tempat persembunyian. Marwan mewarisi kekhalifahan yang sedang pecah. Perasaan anti-Umayyah telah sangat merata khususnya di Iran dan Irak, dan Bani Abbasiyah telah memperoleh banyak pengikut. Masa jabatan Marwan sebagai khalifah hampir secara penuh dicurahkan untuk upaya menjaga kekuasaan Bani Umayyah.
Marwan ternyata tidak sanggup melakukannya. Walaupun memperoleh kemenangan pada awalnya, ia akhirnya dikalahkan secara meyakinkan oleh Abul Abbas As-Saffah dari Bani Abbasiyah dalam pertempuran di bantaran Sungai Zab. Hanya dalam pertempuran itu, lebih dari 300 anggota keluarga Umayyah terbunuh.
Marwan kemudian pergi mencari perlindungan menyusul kekalahannya. Berharap menemukan perlindungan di barat, ia lalu pergi ke Mesir. Namun ia tertangkap saat melintasi Sungai Nil dan terbunuh. Kematiannya menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur, dan hampir saja mengakhiri keberadaan Bani Umayyah. Pembunuhan massal Bani Umayyah segera saja dilakukan oleh Bani Abbasiyah. Hampir seluruh keturunan Bani Umayyah terbunuh, kecuali Abdurrahman bin Muawiyah yang melarikan diri ke Spanyol dan mendirikan pemerintahan Islam di Al-Andalus.

2.      Sistem Pemerintahan Dinasti Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan orang-orang Suriah yang kebanyakan terisi dari bangsa Yaman dan mengenyampingkan umat Islam pendatang dari Hijaz. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu sangat menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah Bani ini.
Sebagai organisator militer, Muawiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan se-zamannya. Ia mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu kekuatan  militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia menghapus sistem pemerintahan yang tradisional, pemerintahan yang berdasarkan kesukuan dan mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah Negara yang stabil dan terorganisir.
Ketika berkuasa, Muawiyah telah banyak melakukan perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahan negeri waktu itu. Mulai dari pembentukan angkatan darat yang kuat dan efisien, dia juga merupakan khalifah pertama yang yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanulkhatam)[5] yang fungsinya adalah sebagai pencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah, kemudian disalin dalam sebuah daftar yang kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang di tuju. Dia juga telah mendirikan diwanulbarid yang memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintahan pusat.
Pada 679 M, Muawiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya, serta memerintahkan berbagai utusan provinsi untuk datang dan mengucapkan baiat. Ketika itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh oleh dinasti-dinasti besar Islam, termasuk dinasti Abbasiyah.[6]
Pada perkembangan berikutnya, setiap khalifah mengikuti contoh itu, yaitu menobatkan salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang cakap untuk menjadi penerusnya, dan memastikan setiap orang menyatakan sumpah setia kepadanya, diawali dari ibu kota, kemudian diikuti oleh berbagai penjuru kota besar kerajaan.

3.      Kemajuan Yang Dicapai Dinasti Umayyah
Ekspansi yang sempat terhenti pada masa khalifah Ustman dan Ali oleh dinasti ini kembali dilanjutkan. Pada masa kepemimpinan Muawiyah, Tunisia dapat ditakhlukkan. Penaklukkan juga sampai ke daerah Khurasan di sebelah timur sampai sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul. Selanjutnya, ekspansi tersebut dilanjutkan oleh khalifah Abd Al-Malik, dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan Daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa ini dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa yaitu pada tahun 771 M. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa. Mereka kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan Gibraltar (jabal tariq). Tariq berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan dapat menguasai Kordova, Seville, Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Dinasti Umayyah disamping telah sukses dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan sebelumnya, juga telah sukses dalam berbagai bidang, diantaranya adalah:
Dalam bidang  administrasi pemerintahan meliputi:
  1. Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
  2. Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu: Syiria dan Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, Arenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan Arab selatan. Serta Andalusia.
  3. Bidang administrasi pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk dewan. Departemen pajak dinamakan dengan Dewan al-Kharaj, departemen pos dinamakan dengan dewan Rasail, departemen yang menangani berbagi kepentingan umum dinamakan dengan dewan musghilat, departemen dokumen negara dinamakan dengan dewan al Khatim.
  4. Organisasi keuangan. Masih terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan bagi non muslim. Percetakan uang dilakukan pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
  5. Organisasi ketentaraan. Umumnya orang Arab atau keturunan Arab yang boleh manjadi tentara.
  6. Organisasi kehakiman.
  7. Bidang sosial dan budaya.
  8. Bidang seni dan sastra. Pada masa khalifah Walid ibn Abdul Malik terjadi keseragaman bahasa, semua bahasa daerah terutama dalam bidang administrasi diseragamkan dengan menggunakan bahasa Arab.
  9. Bidang seni rupa. Yang berkembang adalah seni ukir dan pahat, terlihat pada kaligrafi sebagai motifnya.
  10. Bidang arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.
  11. Bidang pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan kuat dalam memajukan pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal tersebut dilakukan agar para ilmuan, ulama’ dan seniman mau melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya serta dapat melakukan kaderisasi terhadap generasi setelahnya.
Pada masa ini telah dilakukan penyempurnaan penulisan al-Quran dengan memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya. Hal tersebut dilakuakn pada masa pemerintahan Abd Malik Ibn Marwan yang menjadi khalifah antara tahun 685-705M.
Pada masa Dinasti ini juga telah dilakukan pembukuan hadist tepatnya pada waktu pemerintahan khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (99-10 H), mulai saat itu ilmu hadist berkembang dengan sangat pesat. Khalifah-khalifah dinasti Umayyah juga menaruh perhatian pada perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu agama yang mencakup al-Qur’an, hadist, dan fikih.
Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah al Jurhumi telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
Khalifah al-Walid mendirikan sekolah kedokteran, ia melarang para penderita kusta meminta-minta di jalan bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para penderita kusta tersebut, pada masa ini sudah ada jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan anak terlantar.[7]

4.      Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran Dinasti Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh daulah bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang kemudian mengantarkan pada titik kehancuran. Diantara fakto-faktor tersebut adalah:
1.      Terjadinya pertentangan keras antara kelompok suku arab Utara (Irak) yang disebut Mudariyah dan suku arab Selatan (Suriah) Himyariyah,  pertentangan antara kedua kelompok tersebut mencapai puncaknya pada masa Dinasti Umayyah karena para khalifah cenderung berpihak pada satu etnis kelompok.
2.      Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3.      Konfllik-konflik politik yang melatar belakangi terbentuknya daulah Umayyah. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.[8]
Menurut Yatim Badri, secara garis besar faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang berujung pada kehancuran Dinasti Bani Umayyah adalah:
1.      Perebutan kekuasaan antara anggota keluarga istana, pengaturan yang tidak jelas mengenai pergantian khalifah. Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
4.      Lemahnya pemerintahan Daulah Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan Al-Abbas Ibn Abd Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[9]



BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan yang telah disebutkan, dapat diambil bebrapa kesimpulan diantaranya:
1.            Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M). Diantara peristiwa penting dalam pemerintahan dinasti ini adalah terbunuhnya Husein ibn Ali yang kemudian dikenang dengan peristiwa karbala.
2.            Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
3.            Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
4.            Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.

 


Daftar Pustaka

Hitti, Philip K., Histori of the Arab; from the erliest times to the present, terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2008).
Siviana Candra, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah” dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam; menelusuri jejak sejarah pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2007), 53-74.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2008)
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: PUSTAKA ALHUSNA, 1992).
Yatim, Badri , Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. XII,  2001).
Sumber lain:




[1] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: PUSTAKA ALHUSNA, 1992), 24.
[2] Philip K. Hitti, History of The Arab; From the Erliest Times to the Present, terjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet, (Jakarta: PT. SERAMBI ILMU, 2008), 235.
[3] Siviana Candra, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah” dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2007), 57.

[4] Philip K. Hitti, 237
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA), 105.
[6] Op. Cit, 244
[7] Siviana Candra, “Pola Pendidikan Islam Pada Periode Dinasti Umayyah” dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2007), 58.
[8] Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 M), 72.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. XII, 2001), 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar