Kisah Bisyr Al Hafi (seri kisah para kekasih Allah)

Abu Nashr Bisyr Ibnul Harits al- Hafi atau terkenal dengan panggilan singkat Bisyr al-Hafi adalah seorang sufi yang  hidup  pada  pertengahan  abad  kedua  hingga  awal abad ketiga Hijriyyah. Ia tergolong salah satu sufi agung yang di awal kehidupannya menjalani kehidupan hedonistik, berfoya-foya dalam kemewahan hidup dan kemaksiatan. Kisah pertobatannya berawal dari sebuah peristiwa yang sangat sederhana namun cukup menakjubkan. Suatu hari, ia sedang berada dalam kondisi setengah  mabuk  dan  berjalan  sempoyongan  sepanjang jalan.

Tiba-tiba ia menemukan secarik kertas bertuliskan: Bismillah  ar-Rahman  ar-Rahiim,  Dengan  nama  Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, yang telah terinjak-injak kaki dan kotor. Bisyr segera memungutnya. Kemudian ia membeli air sari mawar dan mengoleskannya pada kertas tersebut sehingga menjadi harum. Ia ciumi kertas itu dengan perasaan ta’dzim, penuh pengagungan. Lalu kertas yang sudah harum itu ia simpan dengan baik dan penuh rasa hormat di rumahnya.

Pada   malam   harinya,   seorang   sufi   bermimpi. Dalam mimpinya ia diperintahkan untuk menyampaikan pesan ini kepada Bisyr:

“Engkau telah mengharumkan nama-Ku, maka Aku akan mengharumkanmu.Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka Aku akan memuliakanmu. Engkau telah menyucikan nama-Ku, maka Aku akan menyucikanmu. Demi kekuasaan-Ku, sungguh Aku akan mengharumkan namamu di dunia ini dan di akhirat kelak.”

“Dia orang yang amoral”, pikir sang sufi itu. “Mungkin mimpiku keliru.” Maka, sufi itu pun berwudhu, melakukan salat malam, dan tidur kembali. Namun betapa kaget dirinya, ketika ia mengalami mimpi tersebut sampai terulang untuk kedua dan ketiga kalinya.

Pada pagi harinya, ia bangkit dan pergi mencari Bisyr dengan tujuan untuk menyampaikan pesan mistikal dari langit tersebut.  Ia diberi tahu  bahwa Bisyr  sedang berada di sebuah pesta anggur.  Ia pun pergi ke tempat tersebut. “Apakah Bisyr berada di sini?”, ia bertanya: “Ya, Bisyr ada di dalam, tapi ia sedang menikmati pesta anggur”, jawab sebagian mereka. Sang sufi tersebut masuk dan menemui Bisyr seraya berkata, “Aku  punya pesan khusus untukmu.” Bisyr menjawab acuh tak acuh, “Pesan dari siapa?”

“Pesan istimewa dari Allah”, jawab sang sufi. Lalu sang  sufi  menguraikan  pesan  langit  yang  diterimanya dalam mimpi semalam. Berguncang jiwa Bisyr mendengarnya. Ia menjerit dan menangis tersedu-sedu. “Ahh!”,  pekik  Bisyr.  “Apakah  ini  pesan  makian  atau pesan penyucian? Tunggu, aku akan pamit kepada teman- temanku. “Teman-teman, Bisyr berkata kepada teman- teman minumnya,  “aku  telah mendapat panggilan spiritual. Aku pergi. Aku ucapkan selamat tinggal. Mulai hari ini, kalian tidak akan pernah lagi melihatku begini.”

Sejak saat itulah, Bisyr menjadi orang yang sangat saleh, hingga tak seorang pun yang tidak merasakan kedamaian  surgawi di dalam  hatinya  ketika mendengar nama Bisyr disebut. Ia mengambil jalan penyangkalan diri dan sangat diliputi oleh pandangan ketuhanan, hingga ia tidak pernah mengenakan alas kaki. Karena itulah ia dijuluki sebagai Bisyr si Telanjang Kaki (al-hafi).

Ketika ditanya, “Mengapa engkau tidak mengenakan alas kaki?” Ia mengemukakan alasannya secara khas sufistik,  “Aku bertelanjang  kaki ketika aku berdamai dengan Allah dan sejak saat itu aku malu untuk mengenakan alas kaki. Selain itu, Allah Yang Maha Kuasa telah berfirman, “Aku telah menjadikan bumi sebagai permadani  bagimu”  (QS.  Nuh: 19).  Tidak  sepantasnya kita   mengenakan   alas   kaki   ketika   kita   menginjak permadani Sang Raja dari segala raja.”

Kewibawaan Bisyr sebagai sufi agung menyebabkan banyak ulama besar tetap berguru dengan ta’dzim kepadanya. Ahmad bin Hanbal, seorang ulama besar pendiri mazhab fikih Hanbali, sering mengunjungi Bisyr dan percaya penuh pada Bisyr sampai-sampai para muridnya protes, “Saat ini Anda adalah seorang ulama tanpa tanding dalam bidang hadis, fikih, teologi, dan tiap bidang ilmu pengetahuan. Namun mengapa  Anda masih saja bergaul dengan orang yang amoral? Apakah itu pantas?”

Imam Hanbal menjawab dengan rendah hati, “Memang benar dalam semua bidang ilmu pengetahuan yang kalian sebutkan tadi aku lebih unggul daripada dia. Namun  dia  mengenal  Allah  lebih  baik  daripada  aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar