MATERI SINGKAT ISLAM MULTIKULTURAL


1.                  Definisi
Multikulturalisme adalah pengakuan, toleransi dan penghormatan terhadap adanya perbedaan dalam masyarakat; sikap akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, didasari prasangka baik untuk mencari persamaan di antara perbedaan-perbedaan tersebut untuk memudahkan hubungan sosial, gotong royong demi mencapai kebaikan bersama.

2.                  Nilai Multikulturalisme

      Dalam Islam, nilai multikulturalisme antara lain:
a.      Kalimatun Sawa
Kalimatun sawa mengandung arti perintah untuk berdialog antara individu atau kelompok-kelompok masyarkat yang berbeda bukan semata-mata untuk percakapan tetapi bertujuan untuk saling belajar dari satu sama lain sehingga masing-masing dapat berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik. Pesan kesederajatan kemanusiaan merupakan terjemahan dari konsep kalimatun sawa, sebagaimana ditegaskan dalam QS Ali Imran (3):114: Katakanlah wahai semua penganut agama (dan kebudayaan, bersegeralah menuju dialog dan perjumpaan multikulturral (kalimatun sawa) antara kami dan kamu. 

b.      Al-Amanah
Secara harfiah amanah berarti terpercaya atau dapat dipercaya. Kata amanah ini seakar dengan kata amana atau al-iman yang berarti percaya pada Tuhan. Dalam pengertian hukum, amanah adalah sesuatu yang dijaga dan dipelihara, dan diberikan kepada yang berhak menerima. Amanah lebih lanjut berarti sebuah kepercayaan atau amanah yang diberikan kepada seseorang untuk disampaikan kepada orang lain yang berhak menerimanya. Sikap amanah ini erat hubungannya dengan kepercayaan kepada Tuhan.  Sikap amanah ini merupakan pilar yang sangat penting dalam melakukan relasi dan interaksi sosial dalam konteks kehidupan yang pluralistik dalam kerangka multikultural.  Tanpa ada sikap amanah, maka berbagai janji dan komitmen yang dibangun bersama kelompok lain tidak akan kokoh dan terancam bubar. Sikap amanah atau menepati janji (mutual trust) ini adalah suatu kebutuhan bagi terwujudnya kehidupan yang harmonis.

c.       Husn al-Dzann (Prasangka Baik)
Secara harfiah, husn al-dzann  berarti berprasangka baik. Sedangkan dalam arti yang umum husn al-dzann berarti sikap percaya pada orang lain sebagai orang yang baik dan terpercaya, tanpa ada kecurigaan. Dengan demikian husn all-dzann ini erat hubungannya dengan sikap saling percaya atau amanah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Secara normatif sikap husn al-dzann ini dapat dipahami dari QS. al-Hujurat (49):12: “Hai orang-orang beriman, jauhilah banyak prasanga, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian menggunjing sebagian lainnya.”

d.      Al-Takaful dan al-Ta’awun
Takaful secara harfiah berarti tanggungan, dan dapat pula berarti ketergantungan sosial. Dalam arti yang umum takaful  adalah sikap saling memikul beban, saling menopang, saling memberi dan menerima.  Sikap ini didasarkan pada prinsip ajaran Islam sebagai agama yang didasarkan pada prinsip persamaan, persaudaraan, keterbukaan dan solidaritas.Hal ini digarsikan dalam Q.S.al-Maidah (5):2: “Dan tolong menolonglah kamu dengan rela saling berkorban dan memelihara solidaritas dan ikatan sosial, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat kriminal dan konflik komunal. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat sangsi sosialnya.”  Secara historis sikap saling memikul beban ini dapat diperlihatkan oleh penduduk Madinah terhadap kaum pendatang (muhajirin) dari Mekkah pada saat melakukan hijrah. Dengan hati yang tulus, tanpa ingin dipuji, dan dalam keadaan hidup pas-pasan, para penduduk Madinah memberikan bantuan apa saja, mulai dari makanan, minuman, tempat tingga, pekerjaan dan lain sebagainya, sehingga mereka (muhajirin) dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

e.       Al-Salam
Secara harfiah, al-Salam seakar dengan kata Islam berarti selamat, sentosa, aman, damai, dan harmoni. Inti al-Salam dengan inti ajaran Islam yaitu nirkekerasan atau anti kekerasan, dan cinta perdamaian. Dengan demikian, Islam adalah agama damai dan harmoni dan setiap yang meyakini Islam disebut Muslim.  Muslim yang sejati tidak akan menjadi fanatik, bahkan sebaliknya ia cinta damai, mengedepankan harmoni dan rasa aman bagi semua manusia.  Pengertian Islam tersebut sejalan dengan missi kerasulan Nabi Muhammad sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Ahzaab, (21):107: yang pada intinya untuk memberi rahmat bagi seluruh alam; membina akhlak mulia, mengajarkan tentang iman, Islam dan ihsan. Iman terkait dengan kelurusan hati untuk selalu jujur, amanah, terpercaya, menyebarkan rasa aman, serta amal shalih.
    
f.        Al-Afwu
Makna Al-Afwu secara umum adalah keikhlasan untuk memaafkan sebagaimana digariskan dalam Q.S. Ali Imran (3):133-134: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada waktu lapang dan pada waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain.” Uraian tentang prinsip-prinsip multikulturalisme dalam Islam di atas, membuktikan bahwa ajaran Islam mengakui dan mendukung prinsip multikulturalisme, baik secara normatif maupun historis sebagaimana telah diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.



B.   Toleransi (Tasamuh)

Toleransi berarti kesabaran, kelapangan dada, memperlihatkan sifat sabar. Dalam bahasa Arab, toleransi disebut dengan istilah ikhtimal atau tasamuh yang mengandung arti sikap membiarkan berbeda dan tidak memaksa, berlaku baik, lemah lembut, saling memaafkan. Dengan demikian, toleransi memiliki arti yang sangat erat dengan sifat humanisme sebagaimana tersebut di atas, yakni dimensi kelembutan, kesantunan, keramahan, dan kesabaran dari manusia yang dihasilkan oleh kemampuan mengendalikan hawa nafsu, akal sehat dan hati nurani yang jernih. Sedangkan dalam arti yang umum digunakan, toleransi adalah sikap yang tidak saja mengakui, menghormati dan membiarkan terhadap keberadaan agama, budaya, hak asasi, bahasa, dan lainnya yang dimiliki orang lain, tetapi juga berupaya saling mendekati dan mengambil manfaat dari adanya berbagai keragaman yang terjadi antara satu dan lainnya, sehingga timbul kedekatan dan kesatuan sosial. Toleransi sebagai sebuah konsep ajaran Islam, hadir sebagai bukti adanya pengakuan Islam terhadap hak-hak asasi masing-masing individu manusia, seperti hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh pelindungan, hak memperoleh pendidikan, hak kesempatan untuk mengakses berbagai peluang, hak mendapatkan keadilan, rasa aman dan sebagainya. Selanjutnya dalam konteks kerukunan hidup antara manusia, toleransi adalah sikap tolong menolong, saling menghargai, saling menyayangi, saling mempercayai, tidak saling mencurigai, saling menghargai hak-hak sebagai manusia, anggota masyarakat dalam suatu negara. Dalam konteks kehidupan beragama, toleransi berarti menerjemahkan ajaran Islam di tengah kehidupan dengan sikap penghargaan, kemaslahatan, keselamatan, dan kedamaian masyarakat, mencegah kemudlaratan, kerusakan dan bahkan kebencian.Toleransi kehidupan antar ummat beragama juga pernah diperlihatkan oleh para khalifah Islam di Spanyol (abad ke-7 sd 13 M.) yang membiarkan mayoritas penduduk Spanyol untuk memeluk agama Kristen Katholik; dan Khalifah Dinasti Moghul di India (abad ke 13 sd 18 M.) yang membiarkan mayoritas penduduk untuk memeluk agama Hindu.    


1.         Definisi
Humanisme adalah memandang kesatuan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah dan memiliki asal-usul yang sama. Oleh karena itu humanisme mengharuskan manusia memiliki simpati dan empati satu sama lain, saling menyayangi, saling menghormati. Humanisme juga erat kaitannya dengan peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk membentuk hubungan-hubungan sosial dengan manusia lain untuk mencapai kebaikan bersama.

2.         Nilai-Nilai Humanisme

            Dalam Islam, nilai-nilai humanisme mencakup:

a.      Al-Luthf wa al-Rahmah (Simpati dan Empati)
Simpati diartikan sebagai rasa kasih, rasa kesudian, sedangkan kata empati merupakan upaya meletakkan cara pandang dari sudut orang yang sedang mengalami kesusahan, yang diekspresikan dengan kata-kata, gerak tubuh bahkan lebih jauh lagi dengan tindakan dan perbuatan untuk mengatasi penderitaan atau musibah yang menimpa orang lain itu.  Contoh sikap empati pada masa Nabi Muhammad saw. adalah sikap kaum Anshar di Madinah terhadap orang-orang Muhajirin yang pindah dari Mekkah ke Madinah yang berada dalam keadaan yang serba kekurangan. Mereka berpindah dari Mekkah ke Madinah dengan meninggalkan kampung halaman, harta benda, dan lainnya; berbekal pakaian, makanan, dan perlengkapan seadannya, tercekam oleh rasa takut, serta nasib dan masa depan yang belum jelas di masa depan. Namun berkat simpati dan empati yang diberikan pendudukan Madinah, akhirnya berbagai penderitaan dan kekurangan yang dialami kaum Muhajirin itu dapat di atasi. Sikap simpati dan empati pendudukan Madinah atas kaum Muhajirin dan Mekkah ini diabadikan di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr (59):9: “Dan orang-orang yang menyiapkan rumah dan beriman sebelum mereka (kedatangan Muhajirin), mereka menyayangi orang-orang yang hijrah kepada mereka, dan di dalam dada mereka tidak ada sesuatu keinginan pun dari apa-aoa yang telah diberikan (harta rampasan) kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin) di atas (kepentingan) mereka, walaupun mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang terpelihara dari diri yang kikir, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan”.

b.       Al-Ukhuwah (Persaudaraan)
Pilar yang kedua untuk menumbuhkan sikap humanisme ini adalah perasaan bersaudara, atau persaudaraan, yaitu perasaan bersahabat dan bersaudara walaupun berbeda agama, kebangsaan, budaya, bahasa, warna kulit dan sebagainya. Perasaan persaudaraan ini didasarkan pada persamaan keturunan, yaitu dari nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa; mengambil bahan makanan dan minuman dari bumi yang sama; menghirup udara dari langit yang sama; bahan dasar dan proses kejadian yang sama; dan berakhir dengan cara yang sama, berupa kematian. Persaudaraan ini juga erat hubungannya dengan perasaan bermasyarakat yang didasarkan pada realita, bahwa dalam rangka mempertahankan kelangsungan dan daya tahan hidupnya manusia saling membutuhkan satu sama lainnya.  Nilai-nilai persaudaraan sebagaimana tersebut di atas mendapat perhatian sangat besar dalam pendidikan Islam. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Q.S. Al-Hujurat, 49:10). Dalam rangka menjaga persaudaraan itu, Islam juga memberikan cara atau etika dalam pergaulan, yaitu jangan mengolok-olok (saling merendahkan) antara satu dan lainnya, jangan memanggil orang dengan nama, panggilan, julukan dan gelar yang buruk, menjauhi sikap buruk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, serta membangun tali persaudaraan walaupun berbeda jenis kelamin, kebangsaan, kesukuan dan sebagainya. Dalam Haditsnya yang diriwayatkan Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Hibban dari Abi Jary al-Hujaimy, Rasulullah SAW melarang meremehkan kebaikan yang diberikan orang lain, walaupun hanya sedikit; dan hendaknya menebar senyum, jangan menampilkan pakaian yang menggambarkan kesombongan, dan tidak membalas celaan orang lain dengan celaan lainnya, tapi maa’fkanlah dia.

c.       Laisa al-Taklif maa laa Yutaq (Tidak Memberi Beban di Luar Kesanggupan Manusia)
Yang terkandung dalam nilai ini adalah larangan bagi  manusia untuk memberikan beban kepada manusia di luar batas kesanggupannya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa di samping memiliki keistimewaan, manusia juga memiliki kekurangan, baik pada  panca indera, fisik, akal, maupun hati nurani. Keadaan ini mesti menjadi bahan pertimbangan ketika akan memberikan tugas atau beban kepada manusia. Kalau seseorang hanya sanggup mengangkat beban 30 kilo gram, maka janganlah diminta mengangkat beban 40 kg; kalau ia hanya memiliki kesanggupan berpikir setingkat sekolah dasar, maka janganlah ia diminta mengerjakan tugas berfikir setingkat perguruan tinggi. Nilai ini merupakan penerapan pemikiran bahwa Allahpun tidak akan memberikan beban kepada manusia yang lebih dari kesanggupan manusia untuk menanggungnya.  Nilai ini  disimpulkan dari beberapa surat Al Qur’an: “Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (Q.S. Al-An’am (6):152 serta Q.S. Al-A’raf(7):42: “dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kpada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”
Salah satu contoh penerapan nilai  ini oleh Rasulullah adalah ketika Nabi Muhammad  saw. mencegah Umar bin Khattab yang akan membunuh orang Badui yang berkata bahwa Tuhan berada di sebuah tempat.  Nabi berkata: “Hai Umar janganlah kau lakukan itu, karena orang Badui itu baru sampai sebatas itu pemikirannya, dan bukan karena menghina Tuhan atau menyesatkan keyakinan.”
d.      Al-Tawasuth (Moderat)
Kata Moderat berasal dari bahasa Inggris, yang berarti lunak, sedang, tidak berlebih-lebihan. Dalam bahasa Arab, moderat disamakan dengan kata tawasuth yang berarti mediasi (menyelesaikan sengketa dengan menengahi), intervensi (campur tangan) dengan mengambil posisi di tengah. Secara istilah al-tawasuth berarti sikap pertengahan tidak terlalu berkurang atau berlebihan, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak, tidak hanya memperhatikan diri sendiri, atau orang lain, melainkan bersikap pertengahan antara keduanya. Di antara para ulama ada yang menggunakan surat al-Baqarah (2) ayat 143 sebagai rujukan utama dalam membangun sikap moderat. Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: “Dan demikian (pula) telah menjadi kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan.”
e.       Al-Tawazun (Seimbang dan Emansipatoris)
Al-tawazun berasal dari bahasa Arab yang artinya seimbang, yakni keseimbangan dalam memperlakukan diri sendiri serta orang lain. Seimbang dalam melakukan berbagai kebijakan dan keputusan terhadap seluruh masyarakat yang memiliki latar belakang perbedaan agama, status sosial, budaya da lain sebagainya. Sikap ini erat hubungannya dengan sikap emansipatoris, dan sikap emansipatoris erat kaitannya dengan paham humanisme, karena dalam emansipatoris itu terkandung perlakuan yang memanusiakan manusia, serta tidak adanya dominasi antara yang satu atas yang lain. Dengan demikian, di dalam humanisme terdapat perlakuan yang adil, sikap yang santun, dan hubungan yang harmonis antara satu dan lainnya. Ayat al-Qur’an yang sering digunakan untuk mendukung gagasan ini, antara lain ayat yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah merarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (Q.S. al-Baqarah, 2:30).
f.        Persamaan
Humanisme mengharuskan digunakannya kaidah persamaan yang memandang semua manusia sejajar kedudukannya di muka Allah. Dalam hubungan sosial, nilai persamaan termasuk persamaan di hadapan hukum, dalam status sosial. Contoh penerapan nilai ini pada masa Rasulullah adalah sebagaimana yang diperlihatkan oleh Nabi yang menolak permohanan Abbas dan Abu Dzar yang memohon suatu jabatan, dan Nabi memberikan jabatan tersebut kepada orang lain yang bukan dari kalangan bangsawan. Selain itu juga, dalam Islam aturan untuk zakat, diat serta denda bagi semua orang yang kena wajib bayar, tanpa membedakan status sosial dan warna kulitnya.
g.      Al Hurriyah (Kemerdekaan)
Humanisme akan terlaksana dengan baik apabila didasarkan pada asas kemerdekaan, yaitu kemerdekaan dalam beragama, berumah tangga, melindungi diri, berfikir dan berbicara, hak memperoleh pekerjaan dan kebebasan memilki hasil kerjanya, dan kemerdekaan berpolitik.

D. Demokrasi
     1. Definisi
Secara sederhana demokrasi artinya kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi kekuasaan tersebut tetap harus mengacu dan berada di bawah kedaulatan ajaran Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian setiap kebijakan yang berkaitan dengan kekuasaan harus bersandarkan pada nilai-nilai ajaran agama Islam.

     2. Nilai-Nilai Demokrasi
         Nilai-nilai demokrasi dalam Islam mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.    Ta’aruf (saling mengenal)
Nilai ini terdapat pada QS. Al-Hujurat (49) ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Ayat ini menjelaskan adanya individu dan kelompok manusia yang memiliki perbedaan jenis kelamin, kelompok dan suku-suku, dan sekaligus menganjurkan, agar satu dan lainnya saling mendekat, mengenal, dan tolong menolong. Dengan demikian, Islam mengakui adanya perbedaan di antara manusia, namun tetap menganjurkan kelompok-kelompok yang berbeda tersebut untuk saling berhubungan, berinteraksi, saling tolong menolong dan menyelesaikan masalah atau perbedaan di antara mereka melalui musyawarah untuk tercapainya perubahan yang lebih baik bagi masyarakat umum.Inilah prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam Islam.
b.    Syura (musyawarah) 
Nilai ini terdapat dalam Surat Asy-Syura (42):38 dan Ali-Imran (3): 159.  Surat Asy-Syura (42):38 menggariskan ajaran utama tentang demokrasi dalam Islam, yaitu bermusyawarah yang didasarkan pada ajaran Allah: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”   Kata syura berarti membuat atau menyatakan pendapat yang terbaik dengan membandingkannya dengan pendapat lain. Seruan untuk menyelesaikan persoalan dalam interaksi antar manusia melalui musyawarah juga diperkuat dengan QS Ali Imran (3):159 yang menceritakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk bermusyawarah dengan kaum yang menolak ajarannya, dengan kesungguhan, kesopanan, penghormatan, menerima perbedaan pendapat, dan berusaha menerapkan hasil musyawarah: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

c.    Ta’awun (kerja sama)
Islam menganjurkan kerjasama dalam interaksi sosial antar individu dan  kelompok manusia, sebagaimana digariskan dalam QS Al Maidah (5):2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Kata ‘al-taawun’ dalam Surat Al Maidah ayat 2 bisa diartikan sebagai kerjasama antar agama, budaya, etnik, bangsa, ras, dll, bukan hanya antar Muslim saja. Dalam hubungannya dengan al taaruf dan al syura di atas, Islam mengajak umatnya untuk bermusyawarah dengan senang hati dan tulus bersama kelompok lain berasaskan saling menghormati dan memahami.

d.    Mashlahat (menguntungkan masyarakat)
Al-Mashlahah secara harfiah berarti baik, dan berarti pula sesuatu yang membawa keuntungan baik secara sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, budaya dan sebagainya.  Kata al-Mashlahah  juga dekat dengan kata al-shalih  yang dihubungkan dengan amal, yakni amal shalih. Yakni amal yang sesuai dengan nilai-nilai agama sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadits. Prinsip ini digariskan dalam QS Al-Ashr (103):1-3: “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan sesabaran.”  Surat ini menyiratkan pentingnya interaksi dan kerjasama antar individu dan kelompok manusia yang membawa keuntungan bagi masyarakat umum.Bisa diartikan secara bebas bahwa demokrasi bertujuan memberikan manfaat bagi semua orang.

e.    ‘Adl (adil)
Islam mengajarkan agar dalam berinteraksi sosial, manusia berlaku adil terhadap sesama manusia meski dari kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang. Hal ini ditujukan agar interaksi sosial tersebut membawa manfaat bagi semua pihak dan bagi masyarakat umum, serta mencegah adanya pertikaian atau konflik. Hal ini digariskan dalam QS An-Nisa, (4):58 “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menghukum di antara manusia hendaknya kamu menghukum dengan adil.” Dan QS Al-An’am, (6):152: “Dan apabila kamu berkata, hendaklah adil walaupun dia adalah kerabat(mu).” Dalam sebuah demokrasi, keadilan memberikan kesempatan yang sama kepada semua tanpa kecuali dalam musyawarah untuk menyatakan pendapat. Keputusan musyawarah harus mempunyai rasa keadilan, menaungi kepentingan umum.

f.  Al-taghyir (Perubahan)
Islam juga mengakui bahwa proses musyawarah akan membawa potensi perubahan, seperti yang digambarkan dalam QS Al-Ra’d (13): 11 dinyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan pada diri mereka sendiri.” Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap peserta musyawarah harus siap menerima perubahan karena perubahan adalah ketetapan dari Allah. Islam mengakui adanya kebutuhan untuk berubah guna menyesuaikan kepada konteks sosial dan periode sejarah yang berbeda.  Islam mengakui adanya perbedaan di antara manusia, namun tetap menganjurkan kelompok-kelompok yang berbeda tersebut untuk saling berhubungan, berinteraksi, saling tolong menolong dan menyelesaikan masalah atau perbedaan di antara mereka melalui musyawarah untuk tercapainya perubahan yang lebih baik bagi masyarakat umum.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar