Terjadinya Dikotomi Agama dan Ilmu Pengetahuan

 Terjadinya Dikotomi Agama dan Ilmu Pengetahuan

Saat ini ada kecenderungan pengelompokkan disiplin ilmu menjadi disiplin ilmu agama dan ilmu umum. Kecenderungan ini menunjukkan adanya dikotomi keilmuan yang memisahkan antara ilmu- ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kondisi seperti ini sesungguhnya bukan barang baru, karena sudah nampak pada saat akhir-akhir abad pertengahan yaitu ketika Islam mulai mengalami kemunduran. Padahal, pandangan yang dikotomis terhadap agama dan ilmu pengetahuan tersebut sesungguhnya tidak pernah dijumpai dalam permulaan sejarah umat Islam atau periode klasik Islam. Bahkan pada permulaan sejarah umat Islam atau periode klasik Islam, agama dan ilmu pengetahuan menyatu, menjadi satu paket yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain.

Mengapa    dikotomi    antara    agama    dan ilmu pengetahuan terjadi dalam dunia Islam? Terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan dalam dunia Islam, yaitu: 

Pertama, faktor kolonialisme dan imperialisme Barat atas dunia Islam. Serbuan Bangsa Tartar dari Timur dan Pasukan Salib tidak hanya mengakibatkan kerusakan tetapi juga membuat hilangnya kepercayaan diri umat Islam pada kemampuannya membangun kembali peradabannya.(Abdul Hakim Siregar, 2014, hlm. 65). Mereka berfikir bahwa dunia mereka telah mengalami bencana, sehingga mereka mengambil sikap yang sangat konservatif  dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengampanyekan untuk menjadi fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”. 

Muncullah kecenderungan menutup pintu ijtihad. Sebaliknya, mereka memberlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin  ke  Rusia,  Balkan,  Eropa  Tengah,  dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.

Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.

Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat terutama tekanan budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, sehingga yang terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.(M. Shofwan, 2004, hlm. 10–12)

Kedua, terjadi dikotomi antara pemikiran dan aksi di kalangan umat Islam. Pada awal-awal sejarah Islam, antara pemimpin dan pemikir ibarat sebuah koin logam dengan dua sisi yang saling menyatu. Saat menyebut pemimpin, maka yang disebut merupakan   seorang   pemikir   handal.   Demikian pula sebaliknya, seorang pemikir adalah pemimpin. Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah kekhasan dari warna kehidupan masyarakat Islam saat itu. Bahkan banyak Muslim yang sangat sadar dan berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali  ke  dalam  pola-pola  Islam.  Pada  waktu yang  bersamaan,  seorang  faqih (ahli  fiqih)  adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita- cita Islam. Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini terdikotomikan, atau bahkan didikotomikan.   

Namun  saat  keduanya  mengalami dikotomi, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdik- pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka. Terjadilah kemandegan (stagnasi) yang membuat kalangan ilmuan dan intelektual merasa terasing dan semakin terisolasi dari lingkaran kekuasaan, apalagi didapuk sebagai pemimpin. Para pemikir yaitu ilmuan dan intelektual menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif  di dalam urusan umat. Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya.(M. Shofwan, 2004, hlm. 10–12)

Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah. Trend dikotomi yang melanda umat Islam seperti menandai jatuhnya peradaban umat Islam, seperti dalam pendidikan Islam yang tidak menunjukkan inovasi. (Eniyawati, 2015, hlm. 40)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar