Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam

 Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam dan Kemungkinan Pengintegrasiannya

 

Sulit menutup mata dengan sistem pendidikan tinggi kita yang pada saat ini masih mencitrakan hubungan yang dikotomik antara agama dan ilmu. Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam misalnya, sebagian masih sebatas memahami ilmu-ilmu agama saja dan tidak begitu menyeriusi pendalaman ilmu- ilmu non agama (baca: ilmu/ sains). Konsekuensinya, perguruan tinggi keagamaan Islam setidaknya dalam kasus Indonesia- larut dalam ketertinggalannya.

Padahal jika menelusuri doktrin-doktrin teologis dalam  Islam,  jelas mengakui adanya kebenaran   ayat-ayat   qauliyah   dan    ayat-ayat kauniyah mestinya cukup  untuk  menjelaskan tentang tidak  kontradiktifnya agama  dan  ilmu menurut Islam.  Bahkan doktrin teologis dalam Islam,  memegang asumsi  bahwa  baik  ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah sama-sama bersumber dari Allah Swt Yang Satu.

 

Dalam  Islam  bahkan  kedudukan para ilmuan  sejajar  tingginya dengan  kedudukan orang-orang yang  beriman, seperti  pada  Qs al- Mujadalah (51): 11, Hai-hai orang yang beriman, apabila  dikatakan kepadamu: ‘berlapang-lapanglah dalam  majelis’, maka  lapangkanlah, niscaya  Allah akan  memberi kelapangan untukmu. Dan  apabila dikatakan (kepadamu): ‘berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya  Allah  akan  meninggikan orang- orang  yang  beriman di antaramu dan orang-orang yang   diberi   ilmu  pengetahuan  beberapa  derajat. Dan  Allah  Mengetahui apa  yang  kamu  kerjakan.” (Yayasan Penerjemah Al-Qur’an, 1980, hlm. 910)

Ayat  pada  Qs  al-Mujadalah (51):  11  ini secara   tidak   langsung  mengisyaratkan  pada kaum muslimin betapa  pentingnya mereka berpikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Turunnya ayat pertama dalam  Al-Qur’an (Qs al-Alaq/  96: 1-5) juga  sejalan  dengan  maksud ini. Ayat pertama tersebut dimulai dengan  ayat yang scientific yaitu iqra’, dan sejalan dengan misi Nabi Muhammad Saw untuk memberantas kebodohan (jahiliyah). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah;  bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah; Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Yayasan Penerjemah Al-Qur’an, 1980, hlm. 1079).

Jika dilacak  pengertiannya, maka dikotomi menurut bahasa  (etimolog y)  berarti  pembagian dua bagian,  pembelahan dua, bercabang dua bagian.4 Dikotomi juga  dapat  diartikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. (Echols dkk., 2014, hlm. 180; Tim Penyusun Kamus dan Pengembangan Bahasa, 1988, hlm. 205).

Sementara   definisi     dikotomi   menurut istilah    (terminolog y),   adalah    pemisahan  ilmu dan agama  yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama  dan intelektual, dikotomi dalam dunia  pendidikan Islam  dan  bahkan   dikotomi dalam  diri  muslim itu  sendiri  (split  personality). Hal   ini   sejalan    dengan    asumsi    Ali   Anwar Yusuf   bahwa  dikotomi sebagai  pola  pikir  yang memisahkan antara  agama  dan  kehidupan. Agama    hanya   dipandang  sebagai   salah   satu aspek hidup yaitu kebutuhan manusia pada penyembahan pada  Yang  Maha  Kuasa.  Adapun pada aspek-aspek kehidupan lainnya agama tidak bisa  diperankan.

Pemahaman  yang  parsial   ini melahirkan pandangan yang  sempit  terhadap Islam   dan  menumbuhkan sekularisasi.  (Yusuf, 2006, hlm. 49). Saat ini memang ada kecenderungan pengelompokkan   disiplin    ilmu   menjadi   disiplin ilmu agama dan disiplin ilmu umum, termasuk di perguruan tinggi keagamaan Islam. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu. Tentu saja kondisi sebagian perguruan tinggi keagamaan Islam seperti ini sesungguhnya bukan barang baru, karena sudah nampak pada saat akhir-akhir abad pertengahan yaitu terutama ketika  Islam mulai menunjukkan gejala-gejala kemunduran. Meskipun, pandangan terhadap agama dan ilmu pengetahuan yang dikotomik tersebut sesungguhnya tidak didapati dalam permulaan sejarah umat Islam atau periode klasik Islam.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar