DAFTAR ISI
Wacana 1 : Taubat Secara Benar
Wacana 2 : Meninggalkan Perkara Mubah
Wacana 3 : Menghindari Riya
Wacana 4 : Tidak menyakiti Orang Lain
Wacana 5 : Menjaga Dari Makanan Tidak Halal
Wacana 6 : Menjaga Rasa Malu
Wacana 7 : Tidak Curang Dalam Pekerjaan
Wacana 8 : Menundukkan Nafsu
Wacana 9 : Melakukan Uzlah
Wacana 10 : Tidak Banyak Bicara
Wacana 11 : Tidak Meninggalkan Shalat Malam
Wacana 12 : Mengistiqomahkan Shalat Jamaah
Wacana 13 : Tidak Berlaku Zalim
Wacana 14 : Memperbanyak Istighfar
Wacana 15 : Mempunyai Rasa Malu dan Tata Krama
Wacana 16 : Tidak Melupakan Dzikir
Wacana 17 : Tata Aturan berdzikir
Wacana 1
BERTAUBAT SECARA BENAR
Taubat, secara etimologis, adalah meninggalkan, yakni meninggalkan perbuatan - perbuatan yang terlarang untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan yang terpuji, menurut syariat. Taubat mempunyai tahapan-tahapan. Tahap pertama, seseorang harus bertaubat dari --melakukan-- dosa-dosa besar, kemudian bertaubat dari dosa kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang kurang baik. Selanjutnya, secara berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya adalah orang baik, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat, dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai Allah. Puncaknya, seseorang bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat) kepada Allah, walau sekejap.
Cara taubat, pada dasarnya, cukup dengan menyesali dan mengakui dosa dosa yang dilakukan. Ini seperti yang terjadi dengan taubat nabi Adam ketika ia terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang. Adapun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak mengulangi lagi, penyataan itu adalah hasil ijtihad. Sebab, orang yang benar-benar menyesal tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan Tuhan akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesame manusia. Untuk yang disebut terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama orang yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena taubat adalah sesuatu yang sangat penting. Taubat adalah pondasi dari segala perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti orang yang membangun rumah megah diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah hancur. Sebaliknya, siapa yang benar taubatnya berarti kuat pondasinya. Karena itu, sebagian ulama menyatakan, “Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari segala yang merusak kesucian amalnya”.
Demikianlah, taubat mempunyai kedudukan dan pengaruh yang sangat besar bagi amal- amal manusia selanjutnya. Ia sebanding dengan zuhud yang akan menjaga manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya kepada Allah. karena itu, bila seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru akan menjatuhkan dan menghancurkan maqam (kedudukannya disisi Allah) yang lain.
Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti bangunan rumah dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen. Muhammad ibn Inan menyatakan, siapa yang benar cara taubatnya maka itu akan bisa meningkatkan kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang tidak benar cara taubatnya, maka semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan mampu menjaga keinginan-keinginan nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu menjaga pikiran-pikiran kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan lurus. Firman-Nya.
“Tetaplah kamu pada jalan yang benar
--dalam bertaubat-- sebagaimana yang diperintahkan, dan orang-orang yang bertaubat bersamamu” (QS. Hud, 112). Ali al-
Khawash juga menyatakan, siapa yang benar dan sungguh-sungguh melakukan taubat
dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan
perbuatannya menjadi baik.
Karena itu, seseorang yang ingin menggapai kedudukan tinggi disisi Tuhan, hendaknya
selalu  meneliti  dirinya;  apakah  ia
 telah  melakukan
 hukum-hukum
 Tuhan?  Apakah
anggota badannya; mata, kaki, tangan dan lisannya telah melaksanakan sesuatu yang
diperintahkan Allah? Bila mendapati dirinya
telah melakukannya dengan
benar, maka bersyukurlah
 tetapi  jangan
 merasa  telah  baik. Sebaliknya, bila  mendapati  dirinya
masih berlumuran dosa dan kesalahan, segeralah istighfar
dan
menyesalinya kemudian bersyukur kepada Allah bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan  Allah
 belum  memberikan
 adzab
 atau penyakit. Sebab,
 badan  yang
 melakukan
maksiat berhak menerima siksaaan.
Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus meninggalkan pengaruh dunia. Allah
 swt  sendiri  tidak pernah
 memperhatikan dunia  sejak  penciptaannya, 
karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,
“Cinta harta dan kedudukan mudah
menimbulkan sifat
munafiq, sebagaimana air mudah menumbuhkan sayur-sayuran”.
Imam  al-Tsaury
 menyatakan, seandainya seseorang
 beribadah dengan menjalankan
semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta pada dunia, maka di akherat kelak akan di umumkan, “Inilah fulan yang sewaktu
di
dunia mencintai sesuatu yang tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman itu, wajahnya seakan terkelupas saking
malunya.
Yang dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan
sarana harta dunia secara berlebihan; melebihi ketentuan syareat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin pernah
menyatakan,
 seandainya  kalian  “mensucikan”  seseorang   sehingga  menjadikannya
sebagai al-shiddiq, tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik cinta dunia, maka Allah tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan disisi Tuhan. Bagaimana jika
harta yang ada tersebut dipersiapkan untuk
member nafkah pada keluarga dan
familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan ahli tarikat rusak adalah karena dalam   hatinya
 ada   rasa   senang   terhadap   kemewahan   dan   kenikmatan   dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah terhadap keluarga dan famili, sebenarnya, tidak salah. Akan
tetapi, hati yang telah kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia dengan Tuhan.
Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili menyatakan, seorang murid (orang yang
menempuh jalan Tuhan) tidak
akan bisa naik derajatnya manakala belum benar-benar mencintai Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya selama ia belum bisa
meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung seberapa  besar seseorang mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju
kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus meninggalkan dan
mengosongkan
 hatinya  dari  pengaruh
 dunia.  Ketika
 masuk  tarikat,  yaitu
 ketika
berbaiat
 kepada
 guru  pembimbing
 (mursyid),
 seseorang
 harus  benar-benar
 telah
mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu jika dalam hatinya masih
bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar.
Karena itu, dalam tarikat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada murid
haruslah sikap zuhud. Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa membangun
sesuatu di akherat. Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa yang menghendaki akherat, ia harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah, ia harus zuhud akherat. Siapa yang dalam hatinya masih
 ada cinta dunia; kedudukan, perkawinan, pakaian,
makanan dan sebagainya, ia bukanlah pecinta akherat. Ia masih mengikuti nafsunya”. Sejalan dengan itu, Abu Abdullah al-Maghribi menyatakan, orang fakir yang tidak
banyak melakukan amal masih lebih
baik daripada ahli ibadah tetapi bergelimang
harta. Amal yang sedikit dari orang fakir yang tidak tersibukkan dunia— bahkan lebih baik daripada amal yang menggunung dari seseorang yang hatinya sibuk memikirkan dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan, ibadah yang disertai cinta dunia hanya
melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan banyak padahal sedikit. Ia hanya tampak
banyak menurut orang yang melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagai raga tanpa
nyawa, kosong tanpa isi.
Karena itu, banyak kita saksikan orang yang berpuasa, shalat malam dan haji, tetapi
tidak pernah merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud
dalam
hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud
adalah mengosongkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia. Namun, hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan
tangannya dari
menguasai harta. Sebab,
Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah melarang umatnya melakukan transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan
hal
tersebut.
Akan tetapi, sebagian sahabat dan tabiin memang banyak yang meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan dan kemewahan dunia.
Hal
itu  dimaksudkan  agar
 orang
 kebanyakan  (awam)  mau  dan  bisa  mengikuti  mereka. Mereka khawatir, dengan kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, orang awam
yang
tidak mengerti akan terjebak
dalam masalah dunia ini; menjadi lupa terhadap Tuhan,
ketika mengikuti laku para shahabat.
Sesungguhnya,  orang  yang
 sempurna  (insân  al-kâmil)
 tidak
 akan
 tersibukkan  oleh apapun kecuali Allah, walau bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam.
Karena itu, hati-hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan
dianut masyarakat tanpa
tahu
maksud yang sebenarnya, maka ia harus diperingatkan.
Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari harta halal. Bila dari
harta haram, maka ia harus “disingkirkan”. Dengan demikian, zuhud adalah melepaskan
hati dari pengaruh dunia. Maksudnya, ia tidak bersikap kikir
terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh
kegiatan-kegiatan duniawi sehingga
lupa pada Tuhan .
Wacana 2
MENINGGALKAN PERKARA MUBAH
Ali al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid tidak akan bias mencapai maqam
tinggi, hingga ia mampu meninggalkan perkara mubah untuk kemudian menggantinya
dengan perbuatan-perbuatan sunnah.
Perbuatan
mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya adalah diciptakan hanya
sebagai "selingan" atau tempat istirahat bagi manusia,
setelah
melakukan beban berat yang diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan, pada diri manusia
memang ada rasa bosan.
Bila tidak, Allah tidak akan memberikan hokum mubah pada manusia;  sebagaimana  malaikat  yang  tidak
 kenal
 bosan.  Mereka  selalu
 bertasbih kepada  Allah,  tanpa  rasa
 bosan). Karena  itu,  para  ulama
 menyatakan,  orang  yang menggunakan rukhshoh (keringanan
hukum yang diperbolehkan; perkara mubah),
tidak akan mendapatkan apa-apa dalam
jalan thoriqot. Dalam thoriqot, para guru pembimbing
biasanya
menuntut para muridnya untuk sedapat mungkin meninggalkan perkara mubah. Minimal
 mengurangi,
 untuk
 kemudian
 menggantinya  dengan
 perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kedudukannya disisi Allah. Bila
seseorang tidak menemukan bentuk
ketaatan sebagai pengganti mubah, maka dalam perbuatan mubah tersebut; seperti makan dan minum, harus diniatkan untuk sesuatu yang baik. Misalnya, makan agar kuat ibadah dan bercakap-cakap untuk
menghilangkan
kemasaman muka terhadap teman.
Para guru juga menuntut para murid, untuk
tidak tidur kecuali setelah sangat kantuk,
tidak makan kecuali setelah sangat lapar, tidak berbicara kecuali ada kebutuhan, dan lain-lain. Ini dimaksudkan, agar murid mendapat pahala dari semua perbuatannya.
Selain itu, para guru juga menuntut para murid agar tidak sampai mimpi
basah karena
pikiran-pikiran yang muncul sebelumnya, tidak menselonjorkan
kaki,
tidak istirahat
kecuali pada saat sangat lelah dan tidak
makan makanan yang disenangi walau itu
diperbolehkan.  Sebab,
 semua  itu
 bisa
 menghalangi
 seseorang
 untuk  naik
 pada kedudukan yang lebih tinggi. Dalam kitab Zabur difirmankan; "Hai Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi. Sesungguhnya, hati yang
dikendalikan kesenangan (syahwat) menghalangi hubungannya
dengan Aku". Bila makan
makanan yang disenangi bisa menolak seseorang dari Hadlirat Ilahy, maka begitu pula
dengan menselonjorkan kedua kaki tanpa ada kebutuhan
yang sangat. Keduanya termasuk suul-adab (tidak baik).
Ali Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai maqom siddiq
kecuali dengan menambah pengagungannya dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib,
meninggalkan makruh sebagaimana haram   dan
 meninggalkan
 perkara   haram  sebagaimana  kekufuran.
 Setelah
 itu, meniatkan semua  perbuatan mubahnya untuk kebaikan, sehingga  mendapat pahala. Misalnya, tidur siang dengan niat agar kuat sholat malam, makan makanan
yang
enak untuuk mengobati keinginan nafsu ketika sulit diajak ibadah, menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan nikmat Allah dan lain-lain. Jadi bukan untuk
bersombong- sombong.
Sejalan dengan itu, Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada para muridnya; "Makan dan minumlah kalian dari
makanan dan minuman yang enak. Tidurlah
diatas kasur yang empuk. Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai,
 kalian
 mengucapkan
 "Al-Hamdulillah",  maka  seakan  ikut  bersyukur
 pula
seluruh anggota badan”. Ini berbeda bila kalian makan dari
makanan roti kasar, minum
air asin, tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian dengan pakaian murahan. Saat mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih ada rasa 'protes' dan mengerutu.
Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu adalah lebih besar dosanya
daripada  bersenang-senang  dengan
 kenikmatan  dunia.  Sebab,  bersenang-senang berarti masih dalam batas melakukan sesuatu yang diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti melakukan sesuatu yang dilarang".
Wacana 3
MENGHINDARI RIYA'
Orang yang ingin mencapai Tuhan harus menghindarkan diri dari riya'. "Riya adalah
racun yang mematikan dan melebur pahala",
kata Ibrahim Al- Matbuli. Riya mensia-
siakan  pahala  amal   dan  mematikan  hati).  Termasuk  tanda-tanda
 riya,  adalah
menganggap  enak  dalam  melakukan  ibadah.
 Ini  bertentangan  dengan  watak  asli
manusia.
 Manusia,
 pada  umumnya,
 tidak  akan
 menganggap
 enak
 dalam
 melakukan ibadah,
 kecuali  bila   perbuatan  tersebut
 sesuai
 dengan  seleranya.  Bila   tidak, pelaksanaan
ibadah akan terasa sangat berat. Termasuk riya' adalah melakukan amal
untuk  Allah  tapi  masih
 dibarengi
 dengan
 tujuan-tujuan  lain.  Abdul  Qodir  Ad- Dasthuthi, "Murnikan tujuan amalmu hanya kepada Allah). Jangan sepelekan masalah ini dengan membaurkannya bersama hasrat-hasrat nafsumu. Bila tidak, amal ibadahmu
akan rusak".
Pendorong amal perbuatan manusia biasanya ada dua; kepentingan dunia dan akherat.
Ini sesungguhnya juga termasuk jalan menuju riya yang sangat sulit dihindarikan. Bila kepentingan akherat mengalahkan kepentingan duniawi, berarti amalnya masih
bercampur dengan riya. Namun, sebagian ulama menyatakan, kepentingan akherat yang mengalahkan kepentingan duniawi
masih sama artinya pekerjaan yang melulu didorong
oleh kepentingan duniawi. Artinya, amal tersebut tidak termaafkan; tidak diterima.
Contoh perbuatan
yang didorong kepentingan ukhrowi dan duniawi. Misalnya, seseorang
punya kepentingan
dengan pembesar. Kebetulan pembesar tersebut melakukan sholat jamaah di suatu masjid pada barisan terdepan. Orang itupun melakukan jamaah di
masjid yang sama dan pada barisan terdepan. Niatnya, selain untuk memenuhi
kewajiban, juga agar kepentingannya dengan pembesar tersebut bisa tercapai.
Jelas, niat ibadahnya bukan sedekar untuk Tuhan; masih ada tujuantujuan lain. Bahkan
tujuan lain yang bersifat duniawi justru tampak lebih dominan. Karena itu, para ulama
menyatakan, mentauhidkan niat adalah wajib, agar manusia tidak terpengaruh; bisa
menyatukan pikiran dan hatinya hanya untuk berhubungan kepada Tuhan. Contoh lain, orang yang melakukan ibadah agar bisa dekat kepada Tuhan. Ini seperti melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk mencari upah. Ini juga termasuk riya yang sangat halus. Sedemikian, sehingga para ulama menyatakan, penyakit ibadah ini sangat sulit
dirasakan. Terkadang ada orang yang telah melakukan
ibadah demikian lama dan mencapai kedudukan
di
sisi Tuhan. Akan
tetapi, kemudian ditolak, "Kembalilah! Kamu bukan termasuk ahli ibadah". Sesungguhnya, ibadah yang benar adalah melakukan amal
perbuatan semata-mata hanya untuk memenuhi perintah dan hak-hak Allah swt.
Contoh lain dari riya adalah orang yang mengaku punya kedudukan tertentu disisi Tuhan,
 padahal  ia  sebenarnya
 belum
 mencapai  derajat  itu.  Atau,
 telah
 mencapai
derajat yang dikatakan namun belum boleh diberitaukan.
Pengakuan ini akan
mendatangkan   siksaan   dan   menghalangi  orang   tersebut   dari   kedudukan   yang diklaimnya. Selamanya, ia tidak akan bisa mencapai derajat yang dikatakan.
Yang lain lagi adalah merasa senang bila amalnya bisa dilihat orang.
Perasaan ini adalah penyakit yang sangat berbahaya.
Menurut Abu Hasan As- Syadzili, amal yang disertai perasaan
senang seperti ini tidak bisa menambah kedudukannya
disisi Tuhan, melainkan justru
mendatangkan
murka dan semakin menjauhkan dari-Nya. Persoalan ini jarang disadari
dan dimengerti
oleh manusia. Karena itu,
para ulama mewajibkan
seseorang untuk
senantiasa merahasiakan amal perbuatan baiknya, sehingga ia kuat dan siap untuk
melakukan perbuatan dengan ikhlas. Terkadang memang ada seseorang yang melakukan perbuatan tertentu sehingga dia dipuji masyarakat; dan dia tidak menghendaki pujian itu. Dengan itu, ia mengira bahwa dirinya sudah termasuk orang yang ihlas. Maka, hal
inipun termasuk juga riya'. Atau, ada orang yang menolak pemberian demi menjaga kehormatan dirinya.
Dia kemudian dipuji masyarakat. Ia sendiri tidak menghendaki
pujian itu, tetapi kemudian memperhatikannya. Maka perbuatan inipun kembali kepada
riya', walau pada asalnya tidak ada maksud demikian. Contoh model riya lain yang samar adalah meninggalkan amal ibadah karena manusia. Fudail ibn Iyadh berkata; “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan melakukan amal karena
manusia adalah syirik. Apa yang dinamakan ahlas adalah kamu menjaga dari keduanya".
Maksudnya,  orang  yang
 hendak  melakukan  ibadah
 kemudian
 diurungkan  karena
khawatir --pujian-- manusia, maka itu termasuk riya. Sebab, ia berarti telah
meninggalkan sesuatu karena manusia; bukan karena Allah. Akan
tetapi, bila meninggalkan ibadah tersebut untuk kemudian melakukannya di tempat yang sepi -- agar tidak diketahui orang-- maka itu adalah lebih baik. Namun, untuk
ibadah ibadah wajib, atau bila orang yang bersangkutan termasuk pembesar atau pemuka masyarakat
yang
selalu diikuti, maka hal itu lebih baik dilakukan secara terangterangan. Contoh
lain dari riya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan
dimasa lalu, tanpa ada maksud-
maksud tertentu yang bisa dibenarkan menurut agama. Sesungguhnya, mengungkap
kembali kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukandimasa lalu tanpa ada tujuan yang bisa dibenarkan, bisa merubah amal tersebut dalam bentuk riya.
Ali al-Khowash menyatakan, jangan sampai seseorang mengungkit-ungkit kembali atau menceritakan amal baik yang pernah dilakukan. Sebab, hal itu sama artinya dengan
riya.
Ia bisa melebur pahala amalnya yang telah lalu. Namun, kesalahan ini bisa dipulihkan; dengan taubat. Bila seseorang bertaubat dengan benar dan sungguh- sungguh, maka amal yang telah dilakukan akan kembali menjadi amal yang sah, dengan
kehendak Allah. Termasuk bentuk riya lain yang amat samar adalah menghentikan senda gurau yang diperbolehkan
agama, karena munculnya orang yang disegani. Fudail
ibn
Iyadh berkata, "Seandainya dikabarkan padaku bahwa seorang pemimpin tinggi akan datang, kemudian aku merapikan rambut dan jenggotku, sungguh aku
takut
bahwa hal itu akan menyebabkan aku ditulis sebagai orang yang munafiq". Karena itu,
hendaknya seseorang tidak menghentikan
senda-guraunya yang diperbolehkan agama hanya karena masuknya orang yang disegani, kecuali dengan niat baik. Sesungguhnya,
terbukanya rahasia seseorang ditangan pemimpin atau orang yang disegani adalah lebih
baik
daripada berlaku munafiq. Yang termasuk riya halus yang lain lagi, adalah menundukkan kepala dan
berlaku khusyuk karena munculnya seseorang. Ali Al-Khowash berkata, "Bila seorang pemimpin datang dan kalian sedang bertasbih, maka jangan
kamu teruskan bacaan tasbihmu kecuali
dengan niat baik. Hati-hatilah, jangan bersendagurau melupakan Allah, tetapi buru-buru membaca tasbih begitu seseorang yang disegani muncul. Tanpa didasari niat baik, maka perbuatan seperti itu justru akan menghancurkan semua amal perbuatan".
Wacana 4
TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN
Menyakiti orang lain termasuk racun-racun hati yang mematikan. Sungguh, seseorang
bisa  terhalang  musyahadahnya
 kepada
 Allah,
 sebab  dua
 hal;
 makanan  kotor)
 dan
menyakiti orang lain). Pedoman orang menuju jalan Allah ada tujuh;
1. Berpegang teguh
pada kitab Allah.
2. Mengikuti sunnah Rasul.
3. Makan makanan yang halal.
4. Menjauhi perbuatan maksiat.
5. Bertaubat dari segala kesalahan.
6. Melaksanakan segala kewajiban.
7. Menghindarkan diri dari menyakiti orang lain.
Tidak menyakiti
orang lain ada dua macam; (1) tidak
menyakiti
orang lain dalam bentuk
lahir,
 seperti  melukai,  memukul,  membunuh;
 (2)
 tidak menyakiti  orang  lain  dalam bentuk batin, seperti su-udhon (buruk
sangka), mencaci. Ini adalah racun yang
mamatikan yang tidak
banyak diketahui manusia. Ali Al-Khowash mewasiatkan. "Jangan sampai seseorang terjerumus dalam pelanggaran hak sesama manusia, apalagi terhadap
para
 kekasih  Allah. Sesungguhnya, daging aulia  adalah  racun.  Hati-hatilah, jangan menganggap enteng persoalan menggunjing ini, walau orang yang kamu gunjingkan tidak mendengar. Allah yang akan menolong dan membela mereka".
Wacana 5
MENJAGA DARI MAKANAN TIDAK HALAL
Untuk mencapai Hadlirat Ilahi, seseorang mesti menjaga diri dari makanan yang tidak
halal.
 Makanan  yang
 tidak  halal
 akan  mengeraskan
 dan
 mematikan
 hati.  Ia
 juga
menyebabkan terhijabnya manusia untuk
masuk dalam Hadlirat Ilahi. Imam Abu
Hanifah
 pernah  berkata,
 "Seandainya  seseorang  terus  beribadah  kepada  Allah
sehingga  seperti tonggak, namun ia tidak perduli makanan apa  yang masuk dalam
perutnya; halal atau tidak, maka semua ibadahnya sia-sia. Tidak diterima". Abu Ishaq Ibrahim ibn Adham menyatakan,
yang
terpenting seseorang harus meneliti dan
membersihkan makanannya dari makanan yang tidak halal. Setelah itu, tidak
ada lagi
beban, walau tidak
berpuasa disiang hari dan tidak bangun malam. Makanan adalah
sesuatu yang sangat penting dalam keselamatan dan
kehidupan ruhani manusia. Abu
Bakar
At-Turmudzi menyatakan, seseorang tidak akan terhalang maksudnya kepada Allah kecuali dengan tiga masalah;
1. Menggunakan hujjah pada sesuatu yang sebenarnya tidak bias digunakan.
2. Tergesa-gesa dalam
jalan thoriqot, karena menurutkan hawa nafsu.
3. Makan makanan haram dan subhat.
Makanan  yang
 tidak  halal  membawa  pengaruh
 yang
 sangat
 besar.
 Imam  Sahal
menyatakan, orang yang makan makanan tidak halal tidak
akan terbuka hijab hatinya.
Sholat, puasa dan sedekahnya tidak
diterima oleh Tuhan. Bahkan, dengan
makanannya itu, ia akan cepat mendapatkan siksanya. Sedang Ali Al- Khowash menyatakan, beribadah dengan modal makanan tidak
halal adalah
seperti merpati yang mengerami
telur busuk. Berarti menyusahkan diri sendiri dengan diam lama ditempat itu, padahal
tidak akan ada satupun telur yang menetas. Sebaliknya, yang keluar justru barang busuk. Selain itu, makanan yang tidak halal akan berubah menjadi api yang membakar ketajaman berfikir, menghilangkan kenikmatan dzikir, membakar
kesucian niat,
membutakan mata hati, merapuhkan agama, menghalangi datangnya makrifat dan hikmah,  dan  lain-lain.  "Secara
 umum,
 segala
 bentuk  kemaksiatan  yang  dilakukan
manusia,
 pada  dasarnya,  adalah
 disebabkan
 makanan
 yang  masuk
 dalam
 perutnya. Karena  itu,
 siapa  yang  makan
 makanan  tidak  halal
 kemudian
 berniat  melakukan
ketaatan,
 maka
 itu
 sama  artinya 
dengan  mengharapkan  sesuatu  yang  mustahil".
Sebagai  perbandingan  dengan
 makanan  yang
 halal,
 Ali
 Al-Khowas  menyatakan, seseorang yang makan makanan halal, hatinya menjadi lunak, tipis dan bersinar. Sedikit tidurnya dan tidak
terhalang hatinya untuk masuk dalam Hadlirat Ilahi. Sebaliknya,
orang yang makan makanan tidak
halal, anggota badanya cenderung mudah melakukan maksiat. Sedemikian, sehingga Allah memberi rahmat dengan tidur
agar ia bisa istirahat dari perbuatan
maksiatnya, sebagaimana Allah memberikan anugerah kepada
mereka yang taat dengan makanan halal agar bisa bangun malam dan ibadah kepada- Nya. Sufyan berkata, "Carilah makanan halal dan hindari yang haram.
Saya sendiri,
ketika makan makanan yang halal kemudian membaca Alqur'an,
terbukah bagiku 70 macam ilmu. Sebaliknya, ketika ikut makan orang yang tidak meneliti makanannya, tidak satupun ilmu yang terbuka bagiku". Bila seseorang terlanjur kemasukan makanan
haram,   segeralah   berusaha   untuk   memuntahkannya.
 Bila   tidak   bisa,   segera
beristighfar dan bertaubat kepada Tuhan. Diantara
tanda-tanda
bahwa makanan yang telah masuk dalam perut tidak halal, adalah munculnya rasa gelap dalam hati, merasa
berat (malas) ketika akan beribadah,
malas bangun malam, badan menjadi tidak enak
tanpa diketahui sebab musababnya, dan lain-lain. Karena itu, seseorang senantiasa
harus
meneliti dan menjaga makanannya. Tidak bisa ikut makan makanan yang belum jelas --apalagi yang telah jelas haram hanya karena sungkan atau takut pada orang yang memberi.
Inilah yang sering dilupakan orang-orang sekarang. Mereka, dengan mudah
 ikut
 makan  makanan
 yang  belum
 jelas,
 dengan  alasan
 takut  menyinggung
perasaan orang yang memberi. Kondisi itu, sebenarnya, sama artinya dengan seorang
pemuda yang ikut mabuk bersama teman-temannya dengan alasan solidaritas teman.
Ini 
 alasan   yang   tidak
 bisa   diterima.   Kita   tetap   harus   menghajarnya   dan menghukuminya sebagai orang fasik.
Wacana 6
MENJAGA RASA MALU
Rasa
 malu  yang  dimaksud  disini  adalah
 malu  yang  muncul  karena
 sifat  sombong.
Misalnya, seseorang malu ikut jamaah dengan masyarakat awam,
karena marasa bahwa
dirinya  seorang
 pembesar.  Untuk  menggapai
 Tuhan,
 sifat  malu
 yang
 tidak  benar seperti ini harus dibuang. Dalam syairnya, Umar ibn Farid menyatakan, "Peganglah
ujung cinta Allah Buanglah rasa malu
Lepaskan untuk menuju jalan Tuhan Walau tinggi kedudukannya".
Untuk  menghilangkan
 rasa
 malu  tersebut,  Syeh  Muhammad
 memerintahkan
 para
muridnya untuk berdzikir keras-keras di pasar, jalan-jalan dan tempat-tempat kosong. "Dzikirlah di tempat-tempat itu --dengan keras-- sehingga kelak akan menjadi
saksi untukmu. Teroboslah rahasia nafsu dan hancurlah rasa malu. Tanpa bisa menundukkan nafsu dan kesombongan, kamu tidak akan pernah sampai pada Hadlirat Ilahi".
Wacana 7
TIDAK CURANG DALAM PEKERJAAN
Menipu atau berlaku curang dalam pekerjaan adalah perbuatan yang sangat dicela oleh
agama.
 Diriwayatkan,  suatu
 ketika
 Rasul  pergi
 ke
 pasar
 dan
 dijumpainya
 disana
setumpuk  makanan.  Rasul
 memasukkan
 tangannya  dalam  makanan  tersebut,  dan ternyata didalamnya basah. "Mengapa ini?",
tanya Rasul kepada si penjual.
"Wahai Rasul, makanan itu
tadi terkena hujan", jawab si pemilik makanan. "Mengapa makanan
yang
basah tidak kamu taruh diatas sehingga orang-orang bisa tahu".
Rasulullah selanjutnya bersabda, "Siapa yang menipu (berlaku curang),
bukan termasuk
golonganku".
Setiap manusia, pada dasarnya, sadar akan apa yang ia lakukan; apakah dia telah
berlaku jujur atau curang. Allah menjadikan manusia terpercaya atas dirinya sendiri.
Bila menipu, berarti menghianati agamanya, dirinya sendiri dan masyarakatnya. Para
ulama menyatakan, siapa yang berlaku baik dalam pekerjaannya, Allah berikan berkah dalam usahanya. Sedemikian, sehingga tanpa disadari, ia menjadi orang yang berkecukupan. Sebaliknya, siapa yang menipu, niscaya
terbuka kejelekannya. Ia segera menjadi buah bibir masyarakat. Sesungguhnya,
Allah menjadikan kemiskinan dalam
penipuan dan menjadikan berkah dalam ketelitian dan kejujuran. Sejak awal, para guru
pembimbing thoriqot senantiasa menekankan agar para murid
berlaku jujur dalam pekerjaannya. Bahkan, para guru dari kalangan Syadziliyah sangat menekankan soal
pekerjaan ini. Abu Hasan As-Syadzili,
tokoh dan pemimpin thoriqot Syadzili
mengatakan, "Siapa yang bekerja keras dan tetap teguh dalam menjalankan
perintah Allah, ia berarti telah sempurna mujahadahnya". Sedang Abu Al-Abbas Al-Mursi berkata; "Bekerjalah.
Jadikan alat tenunmu sebagai tasbih. Jadikan kapakmu sebagai tasbih. Jadikan jahitmu sebagai tasbih dan jadikan pula perjalananmu sebagai tasbih". Bekerja
 adalah  sesuatu  yang  wajib)
 sebagaimana  sholat,
 puasa,  haji
 dan  lain sebagainya. Ia termasuk bagian dan pendukung
kekuatan iman. Laki-laki yang tidak bekerja adalah sama seperti perempuan. Rasul sendiri
membawa risalah bukan dengan memerintahkan para shahabat meninggalkan pekerjaannya.
Sebaliknya, Rasul tetap memerintahkan   mereka   aktif   pada   apa   yang   telah   dilakukan.
 Rasul 
 hanya
memerintahkan mereka berbuat baik dan jujur dalam pekerjaannya.
Karena itu, untuk menempuh jalan menuju Tuhan, guru pembimbing yang sempurna adalah guru yang tetap menganjurkan para muridnya bekerja. Bukan guru
yang
melarang muridnya
bekerja untuk kemudian membimbing mereka menuju Tuhan. Sesungguhnya, pekerjaan yang diperbolehkan agama tidak akan menghalangi seseorang untuk masuk dalam Hadlirat Ilahy. Berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang.
Bekerja sangat
penting untuk menjaga keimanan, kehormatan dan kemandirian. Sedemikian, sehingga
orang mukmin yang bekerja adalah lebih baik
daripada guru thoriqot yang tidak
mempunyai
pekerjaan, yang makanannya hanya mengharap dari pemberian sedekah dan
penyaluran  zakat masyarakat. Orang
 yang
 bekerja  mempunyai  kelebihan-kelebihan dibanding mereka yang tidak bekerja.
Pertama, ia makan dari hasil usahanya sendiri secara halal dan
suci, bukan dari sedekah atau zakat yang semua itu pada hakekatnya
adalah harta
kotor. Kedua,
ia terhindar dari anggapan bahwa dirinya adalah
orang yang berilmu, sehingga tidak
akan muncul sikap sombong dan menganggap remeh orang lain. Ketiga,  orang  yang
 bekerja akan terselamatkan dari ketidakjelasan tentang sifat Allah, Rasul dan hukum-hukum-Nya. Keempat, bila terjerumus dalam maksiat, ia akan mudah sadar dan mengerti, dan tidak meremehkan kesalahan dengan jalan bahwa hal itu bisa dihapuskan dengan istighfar. Demikianlah diantara kelebihan-kelebihan orang
yang
bekerja). Bahkan, Ali Al-Khowash pernah menyatakan, orang yang makan dari hasil usahanya sendiri, walau dari pekerjaan yang makruh, adalah masih lebih baik
daripada seorang ahli ibadah yang makan dengan
mengharap pemberian dari orang lain. Akan tetapi, perlu diingat, sebuah pekerjaan yang dilakukan untuk menumpuk-numpuk
harta
dan demi kesombongan juga sangat dicela.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, "Siapa yang mencari harta secara halal, dengan
maksud menumpuk-numpuknya dan untuk kesombongan, Tuhan akan menemuinya di
akherat kelak dengan kemurkaan-Nya" (Hadits). Imam Syafii menyatakan, mencari
kelebihan dari perkara halal adalah siksaan
sebagaimana yang pernah diberikan Tuhan
kepada para ahli tauhid.
Wacana 8
MENUNDUKKAN NAFSU
Nafsu adalah bagian dari jiwa manusia yang selalu mengajak kepada kejahatan dan
penyelewengan. Untuk bisa mencapai Hadlirat Ilahy yang suci, seseorang harus mampu
menundukkan dorongan-dorongan nafsu ini). Sahal At- Tastary berkata; "Sejelek-jelek maksiat adalah menurutkan bisikan nafsu. Banyak manusia yang tidak menyadari akan hal ini. Bila seorang murid
mampu menjaga
dirinya dari gejolak
nafsu dan melakukan
dzikir, hatinya menjadi bersinar dan terjaga.
Setan lari menjauh, sehingga gejolak perasaannya
 menjadi
 ringan.  Saat
 itu,
 ia
 menjadi
 mudah  untuk  menundukkannya". Untuk menundukkan nafsu, caranya dengan mengurangi makan; sedikit demi sedikit. Berpuasa dan menahan lapar).
Ini
penting, sebab gejolak nafsu memang tidak
bisa
ditundukkan selain dengan lapar. Dengan mengurangi makan, maka energi nafsu menjadi
lemah sehingga akhirnya
mudah ditundukkan. Dalam kitabnya "Futuhat Al-Makkiyah", Muhyiddin ibn Arabi menceritakan bahwa ketika  pertama  kali  menciptakan nafsu, Tuhan bertanya, "Siapa Aku?".
Nafsu membangkang dan balik bertanya, "Siapa pula
aku ini". Tuhan murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai 1000 (seribu) tahun. Kemudian dientas dan ditanya lagi, "Siapa Aku". Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. "Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah". Sejalan dengan itu, Abu
Sulaiman
Ad-Daroni juga berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci
akherat adalah lapar". Maksudnya, Allah memberikan ilmu dan hikmah pada orang-orang yang lapar (puasa)
dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang.
Makan
kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung. Yahya ibn Muadz Ar- Rozi menyatakan, kenyang ibarat api sedang nafsu ibarat kayu kering. Kayu nafsu yang membara karena energi makanan tidak
akan mati sampai membakar habis orang bersangkutan. Karena itu, Sahal ibn Abdullah menyatakan, siapa yang makan lebih dari dua kali sehari, maka hendaknya ia bersiap menjadi kuda liar.
Untuk menundukkan dorongan-dorongan nafsu, selain dengan lapar, juga dengan bangun --sholat-- malam (mengurangi tidur)
dan melakukan amalanamalan yang berat. Nafsu bisa diibaratkan sebagai anak sapi  yang  nakal. Untuk menundukkannya, anak sapi  perlu dilaparkan,
dibutakan
kedua matanya dan di putar-putar
pada gilingan kosong sambil dipukuli. Setelah sekian lama, ia akan menjadi tunduk dan penurut. Saat itu, barulah dilepaskan
penutup kedua matanya.
Begitu pula, untuk menundukan nafsu, seseorang harus sedapat mungkin mengurangi
tidurnya. Tidur adalah ibarat mati). Waktu tidur, seseorang tidak bias melakukan
sesuatu yang bermanfaat, baik untuk kepentingan dunia
maupun akherat. Memilih tidur
daripada bangun untuk sholat malam, berarti sama dengan menurutkan hawa nafsu. Juga merupakan petunjuk bahwa dalam diri seseorang belum ada rasa cinta kepada
Allah. Sebaliknya, dengan bangun sholat malam, akan menghancurkan
dan melepaskan manusia dari empat unsur kejadiannya; air, tanah, udara dan
api. Selanjutnya, mereka
akan mampu naik keatas dan melihat alam malakut; alam "atas" yang tidak
bisa dilihat
dengan mata biasa. Sedemikian, sehingga ia akan semakin bergairah dalam mencari
keridloan Allah. Abu Hasan Al-Azzaz menyatakan, persoalan ini (manusia mampu
mencapai alam malakut) dibangun atas tiga hal; tidak
makan sampai merasa lapar, tidak
tidur sampai sangat kantuk dan tidak berbicara bila tidak perlu.
Karena itu,
sebagaimana dikatakan Ibn Al-Hawari, seorang yang ingin masuk Hadlirat Ilahy tetapi tidak meninggalkan tiga
masalah; pengaruh harta, makan dan tidur, maka itu berarti omong kosong.
Wacana 9
MELAKUKAN UZLAH
Pernah ditanyakan kepada Rasul, "Siapa manusia yang paling utama". "Mereka adalah
orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya"),
jawab Rasul. "Kemudian siapa?". "Laki-laki yang menyendiri dalam lereng-lereng gunung untuk
beribadah kepada Allah"
(HR. Bukhori Muslim). Uzlah adalah menyendiri
dan menjauhi keramaian masyarakat.
Tujuannya, agar tidak terpengaruh akan segala dampak buruk dari bergaulan. Model
uzlah seperti ini mengandung banyak kebaikan; dunia maupun akherat. As-Sirry menyatakan, siapa yang ingin selamat agamanya, ringan bebannya dan sedikit susahnya, hendaknya menghindarkan diri dari pengaruh jahat manusia (uzlah).
Pernyataan itu
dikuatkan oleh sebuah hadits;
"Akan datang suatu masa dimana seseorang sulit melaksanakan ajaran agamanya  dengan baik, 
kecuali  dengan lari ke desa-desa, ke gunung-gunung atau ke gua-gua seperti musang yang menggali tanah" (Hadist).
Kenyataannya, pergaulan memang banyak
mendatangkan dampak negatif, selain yang baik. Belum pernah terjadi suatu peperangan, fitnah
dan malapetaka kecuali timbul
karena salah pergaulan. Karena itu, untuk pertama kalinya, seorang murid harus
melakukan  uzlah  untuk kemudian  berkholwat). Akan  tetapi,
 hal  itu  bukan
 berarti seseorang yang melakukan uzlah mesti
memutuskan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Muhammad ibn Al- Munir menyatakan, tidak benar orang yang melakukan uzlah kemudian memutuskan hubungan
kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Sebaliknya, justru dengan uzlah seseorang harus semakin merapatkan barisan dan semakin mempererat hubungan sesama muslim. Sebab, terjadinya hubungan
sesame manusia, pada dasarnya
adalah lebih disebabkan karena adanya persamaan nilai,
perasaan dan tujuan. Dikatakan dalam sebuah hadits, "Ruh manusia --dalam alam ruh-- terdiri atas banyak golongan. Bila telah saling mengenal, maka --di dunia-- akan hidup
rukun.  Bila  bertentangan,  akan
 timbul  perselisihan"
 (Al-Hadits). Namun
 demikian,
persoalan uzlah ini perlu dilihat dalam konteks yang lebih maslahah. Maksudnya, uzlah
bukan berarti mesti lebih baik dari
bercampur dengan masyarakat; begitu juga
sebaliknya. Hanya saja, pada akhir kehidupannya, seorang yang arif hendaknya melakukan uzlah sebagaimana yang dilakukan Rasul setelah turun surat An-Nashr, agar
ia lebih
bisa tenang dan khusyuk
dalam melakukan pendekatan kepada Allah.
Wacana 10
TIDAK BANYAK BICARA
Untuk mendekatkan diri kepada Allah, seseorang hendaknya bisa menjaga mulutnya;
tidak banyak bicara kecuali ada perlu). Rasulllah bersabda; "Siapa yang ingin selamat agamanya, hendaknya diam". Peribahasa mengatakan, berbicara adalah perak sedang diam adalah emas. Artinya, diam lebih baik daripada berbicara. Dalam thoriqot, sebagaimana dikatakan Al-Qusyairi, para murid juga disuruh diam, sebab berbicara sebenarnya adalah cobaan. Dengan banyak bicara, nafsu menjadi memperoleh alat dan kesempatan untuk menyalurkan hasrat-hasrat jahatnya; menunjukkan kebaikan diri,
sombong, congkak dan lain-lain. Sedemikian, sehingga banyak bicara bias menyerap kebaikan-kebaikan
yang
dilakukan sebagaimana tanah kering menyerap air hujan. "Banyak bicara menyerap kebaikan-kebaikan
sebagaimana bumi menyerap air" (Abu
Bakar ibn Ayyas). Selain itu, nur Ilahy juga akan keluar dari diri manusia ketika
mereka banyak berbicara bohong. Sehingga, hatinya menjadi gelap, mati dan dirinya
menjadi terlempar dari jalan Ilahy. "Gedung kewalian tiang-tiangnya telah
terbagi Para pemimpin kita yaitu, dari para wali abdal Mereka selalu diam menjauhkan diri (uzlah) selamanya Menjaga lapar dan tidur untuk membersihkan hati yang mahal.
Wacana 11
TIDAK MENINGGALKAN SHALAT MALAM
Sholat malam akan menjadi cahaya bagi orang mukmin di akherat kelak). Seorang
murid hendaknya tidak meninggalkan sholat malam setiap harinya. Dalam sebuah hadits
dikatakan bahwa sholat malam adalah
bentuk ibadah yang sangat tinggi nilainya setelah sholat wajib. "Sebaik-baik sholat, setelah sholat wajib adalah sholat di tengah malam (sholat tahajud)"
(HR. Muslim). "Besok pada hari kiamat, manusia dikumpulkan dalam suatu tempat. Dikatakan, 'Dimana orang-orang yang selalu bangun di malam hari
untuk sholat?'.  Maka
 bangkitlah  mereka,  dengan
 jumlah
 yang  sedikit,  kemudian  digiring masuk surga tanpa hisab. Setelah itu, manusia diperintahkan untuk diteliti
perbuatannya". Dalam banyak riwayat, Rasul sangat menenkankan perlunya manusia
melakukan sholat malam (sholat tahajud) ini). Dalam hadits yang diriwayatkan
At-
Turmudzi  dikatakan,
 "Lakukan
 sholat
 malam.
 Sesungguhnya,  itu  adalah
 kebiasaan
orang-orang sholeh sebelum kamu. Cara pendekatan diri kepada Allah, pelebur dosa dan pencegah kemaksiatan". Bahkan dalam riwayat At-Thobroni dikatakan, "sholat
malam adalah pencegah penyakit pada badan". Dalam riwayat Ibn Abi Dunya dan Al- Baihaqi dikatakan; "Sebaik-baik umatku adalah penghafal --dan pengamal-- Alquran dan orang orang yang membiasakan sholat malam". "Siapa yang ringan melakukan sholat
malam, karena tidak terlalu banyak makan
dan minum, maka ia dikerumuni bidadari sampai subuh" (HR. Thobrani).
Karena itu, Ahmad ibn Rifai sangat menekankan para muridnya untuk membiasakan diri melakukan sholat malam. Saat itu, Allah menurunkan rizqi dari langit.
Dia hanya memberikan rizqi kepada mereka yang bangun, bukan yang tidur. 
Dalam  sebuah
 riwayat
 pernah  diceritakan
 bahwa
 Allah  pernah
 menurunkan wahyu kepada Nabi Daud tentang masalah pentingnya sholat malam ini.
"Hai Daud! Sungguh suatu kebohongan mereka yang mengaku mencitai Aku, tapi pada waktu malam
mereka tidur melupakan-Ku".
Dengan demikian, orang yang meninggalkan sholat malam,
ia  tidak bias  dikatakan sebagai orang
 yang
 mencinta
 Tuhan.  Dia  bukan termasuk kelompok orang-orang yang sholeh. Ini sama sebagaimana seorang pegawai yang tidak
pernah masuk kerja; bayarannya dikurangi. Nabi Sulaiman ibn Daud pernah berkata;
"Wahai anakku!. Jangan tinggalkan sholat malam. Sungguh, meninggalkan
sholat malam membuat orang menjadi faqir di akherat kelak".
Untuk membiasakan diri melakukan sholat malam, Ali Al-Khowas memerintahkan para muridnya untuk berniat akan bangun malam, pada sore harinya. Bahkan, dengan niat itu saja sudah merupakan kebaikan dan mendapat pahala. Rasul mengatakan, "Sesungguhnya, setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkan". Tempat melaksanakan sholat malam, yang terbaik adalah di rumah
(bukan di masjid). Hal ini dimaksudkan, rumah tempat dilaksanaknya sholat malam akan
ikut mendapatkan berkah; ikut bersinar.
Rasul bersabda; "Sholatlah di kamar-kamar
rumahmu. Maka, sinar rumahmu akan tampak dari langit bagai bintang-bintang". "Sebaik-baik
sholat adalah sholat di rumah, kecuali sholat fardlu". Sebagian ulama menyatakan; "Keutamaan sholat sunnah yang dilakukan di rumah adalah seperti
keutamaan sholat fardlu yang dilakukan di masjid".
Dalam sebuah riwayat Abu Jalad dikatakan, suatu ketika Nabi Isa ra bertanya kepada iblis.
"Demi Allah, apa yang menyebabkan badanmu kurus dan bongkok?".
Jawab iblis, "Yang menyebabkan kurus
badanku adalah derap kaki kuda yang digunakan dalam medan perang. Sedang yang
membuat bongkok punggungku adalah laki-laki yang melakukan sholat fardlu di masjid dan sholat sunnah di rumah". Palaksanaan sholat malam --yang baik-- adalah setelah
tengah malam. Ini demi sopan santunnya. Sebab, waktu-waktu
awal adalah masa para pembesar Ilahiyah menghadap Allah.
Orang-orang seperti kita, yang banyak dosa dan kesalahan, tidak pantas menghadap Ilahi pada masa seperti itu.
Kebiasaan di duniapun
menyatakan,
 para
 pembesar  masuk
 lebih
 duhulu
 dan  bertempat  di
 depan,
 baru
kemudian kalangan di bawahnya. Ali Al-Khowas bila datang pertama di masjid juga demikian. "Orang seperti aku ini tidak pantas masuk Hadlirat Ilahy pada golongan awal.
Aku  masuk
 belakangan".
 Akhirnya,
 bila  seseorang  merasa  berat
 dan
 malas
 untuk
bangun malam, maka segeralah untuk meneliti dirinya; mungkin ada kesalahan dan dosa
yang
dilakukan; dosa batin, seperti sombong, ujub,
hasud
dan lain-lain, atau dosa lahir. Segeralah bertaubat. Jika bertaubat dengan sungguh-sungguh, akan lebur dosanya dan bersih jiwanya, sehingga tidak ada lagi yang menghalangi niatnya untuk hadir dalam
Hadlirat Ilahy Yang Maha Suci.
Wacana 12
MENGISTIQOMAHKAN SHOLAT JAMAAH
Setiap sholat jamaah, disana mesti ada seorang wali Allah, yang dengannya Allah memberikan syafaat kepada yang lain. Sholat dengan berjamaah adalah sesuatu yang
sangat  penting).
 Orang  yang  ingin
 masuk  dalam  Hadlirat
 Ilahy  harus
 senantiasa
menjaga sholatnya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, seorang lakilaki buta datang kepada Rasul. Ia minta keringanan untuk bisa sholat sendiri di
rumah, karena tidak ada yang menuntun ke masjid. Ditanya oleh Rasul, Apakah kamu mendengar adzan?". "Ya",
jawab orang itu. "Berarti kamu tetap wajib ikut jamaah".
Ulama terdahulu menganggap
bahwa ketinggalan sholat jamaah berarti musibah. Pernah diceritakan, salah seorang shahabat
 menjenguk kebunnya  yang  jauh. Ia
 baru pulang  sore
 hari  dan ternyata jamaah
 sholat
 Ashar  telah  selesai.  Ia
 sangat
 menyesal  dan  menangis.  Kontan
 ia sedekahkan kebunnya sebagai ganti dari ketinggalannya dalam berjamaah. Begitu pula
yang
terjadi dengan putra Umar. Abdullah ibn Umar ra pernah tertinggal jamaah Isya. Maka,  ia
 lakukan  sholat  sampai
 pagi,  sebagai
 ganti  dari  ketertinggalannya  dalam jamaah Isya. Ubaidillah ibn Amer Al-Qowariry berkata, "Saya tidak pernah lepas
sholat berjamaah. Suatu ketika, datang tamu, sehingga aku lupa pergi jamaah Isya di masjid. Aku keluar keliling kota untuk mencari masjid, ternyata semuanya telah tutup. Maka, aku pulang dan melakukan sholat Isya sendiri sampai 27 kali sebagai ganti atas ketertinggalanku. Setelah itu, dalam tidur aku bermimpi menunggang kuda bersama
orang banyak. Namun, aku selalu tertinggal; tidak bisa menyusul mereka. Salah satu
diantaranya menoleh, 'Kamu tidak akan mampu menyusul kami'. 'Mengapa demikian',
tanyaku. 'Sebab, kami melakukan sholat Isya berjamaah, sedang engkau tidak'".
Ulama salaf   melakukan   takziyah   dan   menampakkan   kesusahan   seakan   ditinggal   mati keluarganya, bila salah satu dari mereka tertinggal jamaah sholat. Tidak hanya seluruh
rakaat sholat. Ketinggalan satu rakaat saja, mereka sudah bertakziyah sampai tujuh
hari.
Dan melakukan takziyah tiga hari, bila ketinggalan takbirotul ihram bersama
imam. Mengapa kita sampai ketinggalan --bahkan malas-- sholat berjamaah? Mungkin
karena
 dosa-dosa
 dan
 kemaksiatan  yang
 kita  lakukan.
 Para  ulama  menyatakan, seseorang tidak akan tertinggal jamaah kecuali disebabkan dosa-dosa yang telah ia
lakukan. "Seseorang tidak akan tertinggal jamaah sholat,
kecuali karena --pengaruh-- dosa-dosa yang dilakukan".
Wacana 13
TIDAK BERLAKU DZALIM
Seorang murid (orang yang hendak berjalan menuju Tuhan) harus menghindarkan diri
dari perbuatan dzolim, terutama kepada orang lain. Ini adalah masalah serius yang
tidak akan dibiarkan oleh Tuhan). Adapun dzolim pada diri sendiri --selain syirik--
walau hal itu tetap tercatat, tidak
akan diperdulikan oleh Allah, kalau mau bertaubat.
Allah  akan  mengampuni
 dosa-dosanya.  Menurut  Ali  Al-Khowas,  berbuat
 dzolim terhadap orang lain ada tiga macam; berhubungan dengan badan, berhubungan dengan
harta dan yang berhubungan
dengan harga diri atau kehormatan. Dzolim yang berhubungan dengan badan, seperti pembunuhan, pemukulan dan lain-lain, hukumannya telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Yang berhubungan dengan harta, hal ini tidak akan bisa selesai kecuali dengan mengembalikan harta yang diambil kepada pemiliknya yang sah, atau kepada ahli warisnya.
Bila yang berhak
telah meninggal, ia harus banyak sedekah dengan atas nama orang yang didzolimi. Bila tidak mampu, harus
banyak berbuat baik yang nantinya bisa digunakan sebagai pembayaran ganti rugi
kepada yang dirugikan.
Bila tidak, maka ia hendaknya bersiap-siap untuk
menanggung
dosa dan tuntutan orang yang disakiti, di akherat kelak. "Sungguh, siapa yang
mempunyai kebaikan --tetapi pernah menyakiti orang lain-- akan diambil kebaikannya untuk diberikan  kepada
 orang-orang
 yang
 pernah
 dirugikan. Bila
 tidak  mempunyai kebaikan --atau kebaikannya habis-- maka dosa dan kesalahan orang-orang yang pernah
disakiti ditimpakan kepada orang tersebut.
Sedemikian, sehingga ia tidak mempunyai
apa-apa kemudian dilemparkan kedalam neraka" (Al- Hadits). Adapun pendzoliman yang berhubungan dengan harga diri dan kehormatan, maka hal itu bisa dijelaskan sebagai
berikut. Bila perbuatan dzolim itu berhubungan dengan gunjingan, hal itu ada kalanya
sudah sampai (didengar) oleh yang digunjing, atau belum. Bila sudah didengar, maka orang yang menggunjing harus segera datang dan minta maaf. Bila belum, maka yang
bersangkutan
harus
banyak memintakan ampun atas orang yang didzolimi. Tidak perlu datang dan minta maaf, sebab hal itu justru malah akan menimbulkan
dendam dan kemarahan. Selain itu, ada juga perlakukan
dzolim yang samar; apakah ia dzolim pada diri sendiri, atau dzolim pada orang lain, seperti zina. Disini perlu diperhatikan.
Bila
orang yang dizina (fihak perempuan) mengajak dahulu, maka itu berarti dzolim pada
diri sendiri. Sebaliknya, bila fihak laki-laki merayu dan memaksa wanita untuk
melakukan zina, maka itu berarti juga dzolim pada orang lain. Laki laki itu telah
merusak kehormatan wanita, merusak kehormatan keluarganya dan
merusak masa
depannya. Kehormatan adalah sesuatu yang sangat penting. Tanggung jawabnya
lebih berat daripada soal harta. Abu Al-Mawahib As-Syadzili menyatakan, banyak murid
yang
tidak bisa naik ke Hadlirat Ilahy karena persoalan ini; terjerumus dalam soal harga diri orang lain, seperti menggunjing dan lain-lain. Maka, siapa yang terlanjur
menggunjing orang lain, hendaknya ia membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falq
dan An-Nas. Niatkan pahala bacaan tersebut pada orang yang disakiti
atau didzolimi. Rasul pernah bersabda; "Keburukan menggunjing dan pahala --surat-surat diatas--
akan dating kehadapan Allah. Saya
berharap, keduanya akan seimbang".
Wacana 14
MEMPERBANYAK ISTIGHFAR
Diriwayatkan,  Rasul
 membaca  istighfar
 sampai
 70  kali  dalam  sehari
 semalam.
"Sungguh, aku beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, 70 kali sehari".
"Hatiku selalu  tertindih  dan  aku  selalu
 meminta
 ampun
 kepada
 Allah
 100
 kali  (sehari)". Berdasar hal itu, Abu Hasan As-Syadzili memerintahkan
para muridnya untuk senantiasa beristighfar kepada Allah. Bisa dibayangkan, Rasul yang maksum (terjaga
dan diampuni dosanya) beristighfar sebanyak itu, bagaimana dengan kita
yang
tidak terjaga? Mestinya harus lebih banyak dari itu. Waktu beristighfar, pertama, pagi dan
sore hari. Diriwayatkan, setiap hari malaikat pencacat amal manusia senantiasa naik membawa laporan. Allah tidak melihat apa yang ada didalamnya, kecuali pada awal dan
akhir
catatan. "Benar benar Aku ampuni dosa hamba-Ku yang tercatat diantara awal dan akhir catatan ini". Maka, sungguh beruntung mereka yang dalam buku catatannya banyak dijumpai permohonan maaf (istighfar). Kedua, saat dilanda kesulitan dalam soal ekonomi. Diriwayatkan, "Siapa yang membiasakan diri membaca istighfar, akan
diberikan
jalan keluar dari setiap kesempitan, diberikan
kelapangan dari setiap kesusahan dan diberikan rizqi dari setiap  arah  yang  tidak terduga".
Ketiga,  saat
terjerumus dalam perbuatan maksiat dan dosa. Diriwayatkan,
bahwa malaikat penulis amal tidak langsung mencatat dosa seseorang; ditunggu sampai beberapa saat. Bila orang tersebut sadar dan mau segera meminta ampun kepada Tuhan, maka akan
diampuni dosanya  (tidak dicatat kesalahannya) dan di akherat tidak akan disiksa.
Keempat, sehabis melakukan segala perbuatan baik. Hal ini dimaksudkan
untuk menyadarkan manusia,
bahwa apa yang dilakukan belum
tentu sempurna. Mungkin masih
banyak kesalahan, kekurangan dan cacat; karena tidak khusyuk, bercampur riya, ujub, sombong dan lain-lain. Rasul sendiri selalu membaca istighfar 3 kali begitu selesai
melaksanakan
 sholat
 fardlu.  Demikianlah,
 setiap
 orang
 hendaknya  selalu
 meminta
ampun kepada Allah (memperbanyak istighfar); siang dan malam, setelah mengerjakan dosa atau tidak.
Sehingga, ia bisa sedikit lega dari kemungkinan turunnya siksa atau adzab. Allah berfirman; "Allah tidak
akan menyiksa mereka yang senantiasa meminta
ampun" (Al- Anfal, 33).
Catatan: Selain orang yang terjerumus dalam dosa, orang yang dianggap baik oleh
masyarakat padahal sebenarnya tidak demikian, ia harus juga banyak
beristighfar. Harus banyak minta ampun kepada Allah, karena ia --secara tidak langsung-- berarti
telah "mengelabui"
masyarakat; tidak sesuai dengan yang mereka ketahui dan perkirakan. Para ulama menyatakan, sejelek-jelek manusia adalah orang yang dianggap baik oleh masyarakat, padahal yang ada sebenarnya tidak demikian. Ia senang dipuji, tetapi tidak
mau meneliti dan menyadari kekurangannya sendiri. Orang yang baik tidak
demikian. Ia tahu dan sadar akan kelebihannya, tetapi juga sadar
akan kelemahan dan kekurangannya. Sedemikian, sehingga bias
melihat dan menempatkan dirinya secara proporsional; tidak terlalu disanjung,
tetapi juga tidak diremehkan. Ia selalu beristighfar terhadap kesalahan dan kekurangannya.
Wacana 15
MEMPUNYAI RASA MALU
DAN
TATA KRAMA
Seseorang yang ingin mencapai Tuhan harus mempunyai rasa malu; malu melakukan
segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-Nya. Para ulama menyatakan,
ibadah mempunyai
71 jurusan (pintu).
Tujupuluh (70) diantara terkandung dalam rasa
malu, hanya 1 (satu)
ada dalam semua bentuk kebajikan. Rasul sendiri selalu memerintahkan para shahabat agar mempunyai rasa malu terhadap Tuhan. Bagaimana
malu terhadap Tuhan? "Orang yang malu kepada Allah adalah orang yang menjaga kepala dan apa yang ada didalamnya (pikiran-pikiran dan kayalan yang tidak benar), menjaga perut dan apa yang ada didalamnya (makanan yang tidak halal), dan senantiasa ingat mati dan kebinasaan. Siapa yang menginginkan akherat hendaknya meninggalkan pengaruh kehidupan dunia. Siapa yang bisa demikian, berarti benar-benar malu kepada Allah". Fudail menyatakan,
tanda-tanda orang celaka ada 5 (lima); keras hatinya (tidak mau menerima nasehat), beku matanya
(tidak mau melihat kebenaran), sedikit rasa
malunya, cinta kemewahan dunia dan penjang angan-angannya. Sedang As-Sariy
menyatakan, rasa malu dan puas (qonaah) bisa menundukkan
(melemaskan) hati. Bila
keduanya masuk kedalam hati, dan disana ada sifat zuhud
dan wara, maka hati akan
menjadi tenang dan ayem. Sebaliknya, bila disana tidak ditemukan zuhud
dan wara, rasa malu dan puas akan menyingkir.
Tanda-tanda orang yang malu kepada Allah tidak
akan
 menjerumuskan
 diri  kedalam  perbuatan dosa  dan maksiat.  Selain rasa  malu, seseorang yang hendak masuk Hadlirat Ilahy dan mendekatkan diri kepada-Nya, harus mempunyai tata krama dan sopan santun.
Ini
adalah sesuatu yang sangat penting.
Sebagian ulama menyatakan, tata karma hampir mencapai 2/3 dari persoalan agama. Bahkan yang lain menyatakan, siapa yang tidak mempunyai sopan santun, berarti
tidak mempunyai agama, tidak mempunyai iman dan tidak mempunyai tauhid. "Orang yang tidak mempunyai tata krama, berarti tidak
mempunyai agama, tidak mempunyai iman
dan tidak mempunyai tauhid".
Dalam ibadah, mencari ilmu dan lain-lain, soal sopan
santun tidak bias ditinggalkan. Para ulama menyatakan, seseorang bisa mencapai surga dengan amalnya, akan tetapi ia tidak akan bisa masuk Hadlirat Ilahy kecuali dengan
sopan santun dan tata krama (dalam ibadahnya). Orang yang tidak menjaga kesopanan
dalam ketaatan, ia tetap terhijab dari Tuhan. Karena itu, seseorang murid
harus menjaga benar masalah ini.
Dikatakan, para wali tidak mencapai derajat itu karena banyaknya amal, tetapi justru disebabkan oleh tata krama dan kebaikan ahlaknya.
Wacana 16
TIDAK MELUPAKAN DZIKIR
Seseorang yang meniti jalan menuju Allah tidak boleh melupakan dzikir (ingat kepada
Allah). Ini sangat penting. Para ulama menyatakan, “Siapa yang lupa Allah berarti telah
menjadi kufur”. “Siapa yang mudah melupakan Allah dan hal itu tidak menyebabkannya
merasa sakit, maka ia berarti pendusta kalau mengaku benar-benar meniti jalan Tuhan.
Ia
sama sekali tidak menyusuri jalan thariqat”. Dzikir menyebabkan seseorang selalu
terjaga dan dilindungi Tuhan. Para ulama menyatakan, orang-orang arif senantiasa berdzikir
 kepada
 Tuhan.  Bila  melupakan-Nya,  walau  hanya  satu  dua
 nafas,
 Allah menyerahkan nasib mereka kepada syetan sehingga syetan menjadi temannya. Adapun
orang-orang yang belum mencapai tingkatan tersebut, Allah tidak sampai berbuat demikian. Semua menurut tingkatan dan derajat masing-masing. Dalam sebuah hadits
Qudsi, Allah berfirman, "Aku menurut hati hamba-Ku. Aku senantiasa bersamanya,
selama  ia  berdzikir
 (ingat)
 kepada-Ku.  Bila  ia
 menyebut-Ku  dalam  hatinya,
 Aku mengingatnya  dalam  Dzat-Ku).
 Bila
 ia
 menyebut-Ku
 dalam
 masyarakatnya,  Aku
menyebut namanya dalam masyarakat yang lebih baik daripada masyarakatnya". Rasul
sendiri  memerintahkan para
 shahabat  untuk memperbanyak  dzikir. Bahkan,  dalam sebuah  riwayat
 Ibn
 Hibban
 dikatakan,  "Perbanyak  dzikir
 sampai  sampai
 manusia menganggapmu gila".
Dzikir adalah sebuah bentuk ibadah yang sangat agung derajat
dan pahalanya. Dalam riwayat Muslim, Nasai dan Al-Bazzar dikatakan, "'Maukah aku beritahu tentang suatu amal yang paling baik, paling suci disisi Tuhan, yang mampu meningkatkan derajat, lebih baik dari memberi sedekah emas dan perak, bahkan lebih
baik
daripada bertempur dengan musuh'? 'Baiklah ya Rasul', jawab shahabat. 'Dzikir kepada Allah'".
"Tidak pernah ahli surga itu menyesal, kecuali tentang suatu waktu dimana saat itu mereka lewatkan begitu saja dengan tanpa
berdzikir
kepada Allah".
Dzikir juga merupakan pembeda antara iman dan kufur, hakekat hidup dan kematian. Dalam riwayat At-Tobroni, Rasul menyatakan, "Siapa yang tidak ingat Allah (tidak
berdzikir)
berarti  terlepas  imannya".
 "Perumpamaan  orang  yang
 berdzikir  kepada Tuhan
 dengan  orang  yang
 tidak,  adalah
 seperti  orang  hidup
 dengan  orang  mati".
Bahkan,
 dalam
 sebuah
 hadits  qudsi
 Allah  menyatakan,  "Hai
 anak
 Adam.
 Bila
 kau mengingat Aku berarti bersyukur
kepada-Ku. Melupakan-Ku, berarti mengkufuri Aku".
Yang dimaksud 'lupa' disini adalah sengaja tidak memperdulikan Tuhan dan berbuat syirik. Atau, membiarkan dirinya
hanyut dalam
perbuatan-perbuatan yang tidak diridloi
Tuhan. Ini adalah sesuatu yang sangat dicela dalam agama. Diriwayatkan dari Imam Turmudzi,  Rasulullah
 saw
 bersabda,
 "Bila
 kalian
 melewati  taman
 surga,
 maka merumputlah (di taman itu )". Para sahabat bertanya, "Apa taman surga tersebut?". "Kalangan tempat berdzikir", jawab Rasul. Pada kesempatan lain, Rasul juga bersabda, "Siapa yang mengerjakan sholat Subuh secara jamaah, lalu berdzikir kepada Allah
sampai terbit matahari, kemudian melakukan sholat dua rakaat, maka ia diberi pahala seperti pahala orang yang melakukan haji dan umrah secara sempurna".
Dzikir kepada Allah
 mempunyai  kedudukan  dan  fungsi
 yang  sangat  besar.  Rasul
 menyamakan kedudukan orang-orang yang senantiasa berdzikir
ini sebagaimana orang-orang yang tabah (menghadapi musuh) ketika pasukan lainnya melarikan diri. Sebaliknya,terhadap mereka yang tidak mau berdzikir,
atau majlis-majlis yang didalamnya tidak dilakukan dzikir, Rasul menyatakan bahwa mereka --berbau-- seperti bangkai khimar. Mereka akan merugi. Rasulullah menyatakan, dalam hati manusia terdapat dua buah bilik; satu
ditempati malaikat, yang lain ditempati syetan. Ketika seseorang berdzikir
kepada
Allah, syetan berlari keluar. Sebaliknya, ketika manusia lupa kepada Allah, syetan menguasai   hati   manusia 
 dan   menggangunya.  Sesungguhnya,   hadits-hadits
 yang menyebut tentang berdzikir
ini amat banyak. Menurut Imam  Izzuddin ibn Abdus
Salam,
 hadits-hadits  tersebut
 bias  disamakan  dengan
 kata
 "perintah".
 Sebab, perbuatan-perbuatan  yang  dipuji,  atau  setiap  perbuatan  yang
 dijanji
 akan  diberi
kebaikan dunia akherat, maka itu berarti diperintahkan. Namun, disadari, bahwa kata perintah tidak mesti menunjukkan makna wajib. Bisa digolongkan wajib, bila ada dalil- dalil
 yang  mendukung
 atau  menujukkan
 kewajibannya
 secara
 jelas.
 Karena
 itu, seseorang harus terus berusaha berdzikir untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, walau dalam keadaan pincang atau sakit. Jangan menunggu sampai sehat. Sebab, menanti sampai sehat berarti pengangguran. Sejalan dengan itu, Athoillah, pengarang
kitab
"Al-Hikam" menyatakan, seseorang hendaknya terus berdzikir.
Jangan sampai tidak mau dzikir dengan alasan belum bisa khusyuk. Sebab, meninggalkan dzikir adalah
lebih parah daripada dzikir yang tidak khusyuk. Dari model dzikir yang tidak khusyuk
tersebut, Insya Allah akan bisa naik menjadi dzikir yang disertai dengan kesadaran
hati.
Dari situ, kemudian naik lagi menjadi dzikir yang benar-benar khusyuk kepada
Allah. Tahapan-tahapan ini tidak sulit bagi Allah. Abu Ali Ad-Daqqoq menyatakan,
dzikir  adalah  sarana
 utama  untuk
 mencapai
 Allah.
 Seseorang
 tidak  akan  sampai kepada-Nya kecuali dengan mengistiqomahkan dzikir.
Mana yang utama; dzikir dengan pelan atau dzikir
dengan suara keras? Menurut Abu Al-Mawahib As-Syadili, dzikir dengan suara keras adalah lebih baik bagi para pemula, yang mana dorongan-dorongan nafsunya masih sangat kuat. Sedang dzikir dengan pelan adalah lebih utama bagi orang-orang khusus yang hatinya telah terpadu untuk menuju kepada Allah. Adapun bacaan dzikir,
untuk para pemula adalah kalimat "Lailaha illaah". Sedang bagi mereka
yang telah mencapai tingkatan makrifat adalah kalimat Jalalah; "Allah". Sebab, orang- orang yang telah mencapai tingkat makrifat, pada dasarnya tidak ada lagi yang mereka butuhkan kecuali --kalimat-- Allah. Selanjutnya,
tentang manfaat atau faidah dzikir
amat banyak. Antara lain, pertama, bahwa dzikir merupakan ketetapan dan syarat
kewalian. Artinya,
siapa yang senantiasa berdzikir kepada Allah, maka ia akan bisa mencapai derajat kekasih Tuhan dan itu menjadi salah satu ciri utamanya. Sebaliknya,
siapa yang lupa atau berhenti dari berdzikir,
berarti ia lepas dari derajat kewalian.
Kedua, dzikir
merupakan kunci dari ibadah-ibadah
yang lain. Dzikir
merupakan jalan yang paling cepat untuk
membuka rahasia-rahasia ibadah yang lain. Sayyid Ali Al- Mursifi menyatakan, banyak guru thariqat yang merasa tidak
mampu merawat --hati--
muridnya sampai bersih. Mereka tidak menemukan obat yang lebih baik untuk itu, kecuali dengan cara terus-menerus melakukan dzikir.
Maka, dalam soal pembersihan hati ini, dzikir bisa diumpamakan sebagai alat gosok khusus yang dapat secara cepat membersihkan kerak tembaga. Sedang
ibadah-ibadah lain bagai alat gosok biasa yang
lama  sekali  bila  digunakan
 untuk  membersihkan  kotoran  tembaga.  Orang  yang melakukan suluk (menempuh jalan menuju Allah) melalui cara dzikir bisa juga diumpamakan burung yang terbang cepat ke Hadlirat Ilahy. Sedang orang yang suluk
melalui ibadah
lain, adalah bagai orang lumpuh yang sebentar merambat dan sebenatar
berhenti. Perjalanan  terlalu
 jauh
 dan
 ia
 hanya  menghabiskan
 umurnya,
 sementara tujuan belum berhasil. Tentang
waktu melakukan dzikir, para ulama sepakat bahwa
malam hari adalah waktu yang paling baik.
Malam hari lebih dekat terbukanya hijab disbanding siang hari. Karena itu, seseorang yang tidak melakukan dzikir
pada malam
hari,
maka akan sulit --bahkan mustahil-- baginya untuk bisa mencapai Tuhan. Ketiga,
bahwa dzikir merupakan syarat atau perantara untuk
bisa masuk dalam hadlirat Ilahy. Allah adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia tidak akan bias didekati
kecuali oleh orang-
orang yang suci. Seseorang yang senantiasa melakukan
dzikir, hatinya akan menjadi
bening dan bersih, sehingga ia akan bisa mencapai Tuhan dengan baik dan cepat. Keempat, dzikir akan membuka hijab dan menciptakan keihlasan hati yang sempurna.
Kasyaf (terbuka hijab)
ada dua macam; hissi dan khayali. Kasyaf hissi adalah terbukanya pandangan karena penglihatan
mata, sedang kasyaf khayali terbukanya tabir
hati sehingga mampu mengetahui kondisi diluar alam inderawi; mahluk halus atau
yang
lain-lain. Akan
tetapi, siapa yang mempunyai kasyaf sehingga mampu melihat melihat gerak-gerik orang lain di rumah mereka, maka itu berarti kasyaf syatoni.
Ia harus  bertaubat
 dari
 kasyaf  sesat  tersebut.  Adapaun  tentang
 keihlasan  yang
sempurna, para ulama menjelaskan sebagai berikut. Pertama kali yang timbul dalam hati manusia --kalau ia menyibukkan diri untuk berdzikir-- adalah suatu keyakinan
bahwa tidak ada yang dilakukan kecuali untuk Allah; tidak ada yang menguasai kecuali Allah; dan tidak ada yang benar-benar wujud dalam alam ini kecuali Allah. Apabila
dalam hati seseorang telah tumbuh keyakinan
tersebut, maka tidak
akan ada lagi anggapan  bahwa  apa  yang  dilakukan  adalah  perbuatannya sendiri. Sebalik,  muncul
kesadaran bahwa dirinya sebenarnya hanyalah "tempat" atau "alat" dari pelaksanaan --
perbuatan-- Tuhan dan tempat pelaksanaan taqdir- Nya. Sedemikian, sehingga tidak
akan ada lagi tuntutan
pahala dari ibadah yang dilakukan, tidak ada lagi kesombongan,
tidak ada lagi sifat ujub dan tidak ada lagi riya. Akhirnya, ia menjadi orang-orang yang
benar-benar menghambakan diri (ikhlas) kepada Allah. Kelima, menurunkan rahmat.
Rasulllah  bersabda,
 "Orang-orang  yang  duduk 
untuk  berdzikir,
 maka  malaikat mengitari mereka, Allah melimpahkan rahmat-Nya dan
Allah juga menyebut (membanggakan) mereka kepada orang-orang (malaikat) disekitarnya". Keenam, menghilangkan kesusahan hati. Kesusahan dan kesedihan, sesungguhnya, adalah akibat lupa kepada Allah. Seseorang hendaknya tidak
mencaci dan menyalahkan orang lain
ketika bertubi-tubi mendapat celaka, tertimpa musibah dan kesusahan. Semua itu
merupakan balasan
atas perbuatannya yang memalingkan diri dari Allah. Siapa yang
menghendaki kebahagian dan ketenangan, hendaknya memperbanyak dzikir.
Ketujuh, melunakkan hati. Al-Hakim Abu Muhammad At-Turmudzi berkata, "Dzikir kepada Allah
bisa membasahi hati dan melunakanya). Sebaliknya, bila hati kosong dari dzikir,
ia akan menjadi panas oleh dorongan nafsu dan api syahwat. Sehingga, hatinya menjadi kering
dan keras. Aanggota badannya menjadi sulit (menolak) untuk diajak taat kepada Allah". Selain itu, dzikir juga bisa meredakan berbagai macam penyakit hati, seperti sombong,
riya,
ujub, hasud, dendam, suka menipu, dan lain-lain. Kedelapan, memutuskan ajakan
setan. Ada perbedaan
antara kehendak nafsu dengan kehendak setan. Kehendak setan
biasanya mengajak
kepada kemaksiatan dan
kedurhakaan, sedang kehendak
nafsu biasanya mengajak untuk menurutkan sahwat. Para ulama juga membedakan antara
kehendak nafsu dengan kehendak
setan ini. Nafsu, biasanya selalu merajuk, bila mengajak kepada sesuatu. Ia tidak akan berhenti, walau sudah lama, sampai tujuannya
tercapai; kecuali pada orangorang yang benar-benar
memerangai nafsunya.
Sedang
kehendak setan, ia akan mengalihkan pada kemaksiatan yang lain, bila ajakan
yang pertama tidak berhasil. Setan akan terus mengajak kepada kemaksiatan demi kemaksiatan. Baginya,
semua kemaksiatan adalah sama. Yang penting, bagaimana seseorang bias terjerumus didalamnya. Kesembilan, dzikir bisa menolak bencana. Dzunnun al-Misri berkata, "Siapa yang berdzikir, Allah senantiasanya menjaganya dari
segala sesuatu".
Para
ulama menyatakan, dzikir
merupakan pedang bagi para pemula.
Dengan dzikir ia memerangi musuh-musuhnya; jin dan manusia. Dengan dzikir pula, ia menolak segala macam bencana. Sesungguhnya, bencana, bila bertemu dengan orang-
orang
 yang  berdzikir,
 ia
 akan  menyimpang.  Dzikir  yang
 telah
 kokoh
 dalam
 hati,
membuat  setan  menjadi  pingsan  bila mendakat;
 sebagaimana seseorang  yang
 juga
pingsan
 bila
 melihat  setan.
 Temantemannya
 mendekat  dan  bertanya,
 "Apa  yang
terjadi?". "Ia mendekati orang yang berdzikir". Demikian dintara faidah-faidah dzikir. Karena itu, hendaknya seseorang senantiasa membiasakan dzikir
kepada Allah. Dengan dzikir, setan tidak akan bias mengendalikan manusia. Afdloluddin
pernah menyatakan,
setan selalu berdiri didepan –bahkan dalam-- hati manusia. Ia akan cepat-cepat naik dan mengendalikan
manusia bilamana ia melupakan Tuhan. Sebaliknya, setanpun segera turun
dan keluar, bila seseorang mengingat (berdzikir kepada) Tuhan. Dan seadainya
manusia dibukakan tabir rahasia ini, akan tampak
jelas bagaimana setan menunggangi
dan mengendalikan orang-orang diantara kita, sebagaimana kita menunggangi dan
mengendalikan seekor kuda. Manfaat dzikir sangat banyak, tidak terhitung. Salah
satunya adalah bahwa ia tidak dibatasi waktunya. Setiap saat kita diperintahkan untuk berdzikir, walau belum bisa khusyuk. Jika dzikir
telah merasap dalam sanubari, maka akan menyatulah kecintaan kepada Allah dengan ruhnya, sehingga pernah
terjadiseseorang yang berdzikir
kemudian tertimpa batu, darah yang menetes membentuk kalimat "Allah-Allah".
Wacana ke 17
ATURAN BERDZIKIR
Orang yang melakukan dzikir harus mematuhi aturan-aturan yang ditentukan. Pertama,
tidak boleh syirik dalam dzikir.
Para ulama menyatakan, seseorang yang melakukan
dzikir dengan masih mengandung unsur-unsur
syirik, misalnya masih ada niat-niat lain
selain untuk
Allah, maka itu akan memutuskan hubungannya kepada Allah dan
menghalangi terbukanya hijab hati; sesuai dengan besar kecilnya syirik yang dikandungnya.
Karena itu, setiap guru thoriqot harus memerintahkan para muridnya
untuk
bersungguh-sungguh dan benar dalam melakukan dzikir. Berdzikir dengan lisan
(bukan hanya --dalam-- hati). Setelah mantap, kemudian melakukan dzikir dengan lisan
dan
 hati  secara  bersama-sama.
 Hal
 ini  harus
 terus
 menerus  dilakukan  sampai seseorang mencapai tingkatan tertentu,
dan seluruh anggota badannya bias merasakan ikut berdzikir. Kedua, mengkosongkan perut. Artinya, orang yang melakukan dzikir, sedikit demi sedikit harus mengurangi makannya. Juga
mengurangi perkataanperkataan yang tidak perlu, mengurangi tidur dan menghindarkan diri dari
pergaulan masyarakat
yang
tidak benar. Ini penting, dan seseorang yang mematangkan tauhidnya memang
harus
berbuat demikian. Sebab,
tanpa kelakuan itu semua, nur tauhidnya akan redup, kemudian mati. Dan kenyataannya, para
guru
thoriqot banyak yang tidak mampu
membimbing murid-muridnya,
ketika mereka merusak (tidak melakukan sesuai) aturan- aturan tersebut.
Ketiga, melakukan dzikir dengan suara keras. Ini untuk orang-orang pemula. Dengan suara keras, maka dorongan-dorongan hati, lamunan-lamunan
dan lain-
lain akan mudah dihilangkan. Sebaliknya, bila mereka melakukan dzikir secara pelan, dzikirnya akan mudah hilang, mudah terlena dan tidak bisa khusyuk. Keempat, harus
didasarkan pada niat atau kehendak yang kuat. Maksudnya, orang yang melakukan
dzikir harus mempunyai niat, kehendak dan harapan yang kuat untuk berhasil dalam
mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama menyatakan, "Seorang murid harus
melakukan dzikir dengan didasari hati dan kehendak yang kuat, sehingga tidak ada
tempat
 sedikitpun dalam
 hati
 dan  bagian tubuhnya, kecuali
 semua  ikut
 bergetar;
berdzikir kepada Allah".
Para ulama menyamakan kuatnya dzikir ini dengan batu).
Yaitu,  bagaimanapun  kuat
 dan
 kerasnya  batu,
 ia  akan  bisa  terpecahkan  dengan
kekuatan. Begitu pula dengan keras dan rusaknya hati; akan lunak dan tertundukkan
oleh dzikir,
asal dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kemauan yang kuat.
Kelima, dilakukan secara bersama-sama (berjamaah). Hal
ini dikarenakan, dzikir yang dilakukan secara berjamaah lebih kuat pengaruhnya, dan lebih cepat membuka hijab. Al-Ghozali, pengarang kitab Ihya Ulumiddin, juga menyatakan hal itu. Ia menyamakan dzikir
yang
dilakukan secara berjamaah dengan adzan
yang
disampaikan secara bersama-sama. Yaitu, bahwa adzan yang dilakukan secara bebarengan (jamaah) adalah lebih kuat, lebih keras dan lebih jauh jangkauannya. Adapun soal tempat melakukan dzikir, para ulama menyatakan, bahwa yang terbaik
adalah di masjid, di mushalla, atau ditempat-
tempat lain yang biasa digunakan untuk dzikir. Mana yang lebih baik, dzikir dengan
lafat "Lailaha illallah" saja, atau dengan
lafat "Lailaha illallah Muhammad Rasulullah?".
Yang lebih
baik,
bagi pemula, adalah cukup lafat "Lailaha Ilallah"; tanpa
ada kata tambahan.
Bila sudah mapan dan bagus, terserah. Keenam, dilakukan dengan penuh kesopanan dan takdzim. Yaitu, bahwa seseorang yang akan melakukan dzikir harus
menghadirkan Keagungan Ilahy terlebih dahulu dalam hatinya. Mengonsentrasikan diri
dan
 hatinya  untuk menghadap  Hadlirat  Ilahy.
 Abu  Bakar
 Al-Kannani
 menyatakan, diantara salah satu syarat dzikir adalah bahwa orang yang melaksanakannya harus
menghadirkan
 keagungan
 Ilahy  dalam  hatinya.  Menyiapkan
 dan
 memantapkan  hati dalam menghadap Hadlirat Ilahy. Tanpa itu, ia tidak
akan bisa mencapai kedudukan-
kedudukan
yang
tinggi di sisi Tuhan. Salah
satu adab dan kesopanan dalam berdzikir
adalah bahwa seseorang yang melakukan dzikir harus terlebih dahulu; (1) Bertaubat,
membaca istighfar. Minta ampun atas segala dosa dan kekurangan yang pernah dilakukan. (2) Memperbanyak syukur dengan membaca al-Hamdulillah.
Mengagungkan
Tuhan. (3) Tidak langsung minum begitu selesai dzikir.
(4) Tidak menyibukkan diri dalam   urusan-urusan   keduniaan,
 kecuali   pada   hal-hal   yang   bisa   membantu
memperlancar perjalanannya menuju Tuhan.
Wallahu A’lam Bishshawwab !!!! Wassalam
Fery Tangerang ( Ibnu Mahdi Al
‘Uraydhi Al Bantani )

Tidak ada komentar:
Posting Komentar