TEORI-TEORI DASAR INTEGRASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Integrasi merupakan suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Dalam integrasi tersebut setiap kelompok masyarakat memiliki adat-istiadat atau kebudayaan yang berbeda-beda namun mereka tetap berpegang teguh terhadap adat-istiadat dan kebudayaan mereka masing-masing. Dimana di dalam suatu wilayah suatu kelompok harus mengikuti suatu kebudayaan mayoritas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan integrasi?
2.      Apa sajakah teori-teori integrasi?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi dari integrasi itu sendiri
2.      Untuk mengetahui teori-teori apa saja yang terdapat dalam integrasi

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Integrasi
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
  • Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu
  • Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu

B.     Teori-teori Integrasi
Integrasi terbagi dalam dua sisi, di sisi makro adalah fungsional struktural dan teori konflik, sedangkan di sisi mikro adalah teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi, teori pertukaran, dan teori rasional.
a.      Makro
1.      Teori Fungsional Struktural
Teori Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan struktural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

  • Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
  • Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
2.      Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
b.      Mikro
1.      Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme SimbolisInti pandangan pendekatan ini adalah individu.Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial- psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur- struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, Yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap realitas muncul dalam proses interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.
Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya.Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik.Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya.Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan.Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada,yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001), hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor.Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini.Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti”sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam.Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme Simbolik.Mengikuti penjelasan Abraham (1982), Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini.Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif.Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangankelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat.“Kehidupan kita adalah suatu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.” Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut.“Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum.Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.
Intinya, Cooley mengkonsentrasikan kemampuan-kemampuan analitiknya terhadap perkembangan dari diktum fundamentalnya, yaitu “Imajinasi-imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat.” Dalam bukunya yang pertama, Human Nature and the Social Order, dia terfokus pada teori mengenai diri yang bersifat sosial (social-self), yakni makna “Aku”sebagaimana yang teramati dalam pikiran dan perbincangan sehari-hari.
2.      Etnometodologi
Yang dimaksud dengan teori etnometodolgi ialah suatu teori dalam ilmu sosiologi yang berisikan sekumpulan pengetahuan, serangkaian prosedur dan sejumlah pertimbangan atau metode tentang kehidupan alamiah masyarakat sehari-hari, yang ditandai dengan bahasa yang digunakan, di mana masalah-masalah kemasyarakatan ini diartikan sebagai masalah yang diselesaikan secara rutin, praktis dan kontinyu tanpa banyak menggunakan pikiran.  Dalam kehidupan sehari-hari dengan teori etnometodologi anggota masyarakat menggunakan penalaran praktis, logika sendiri dan sifatnya abstrak teoritis, hidup dan berkembang dalam suatu tatanan masyarakat alamiah yang merupakan produk masyarakat setempat.
Aliran etnometodologi mempunyai prinsip-prinsip, sebagai berikut ;
1.      Mengkaji kegiatan dan lingkungan praktis.
2.      Menganalisis kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, cara manusia berkomunikasi, mengambil keputusan, berpenalaran dan sebagainya.
3.      Memakai penalaran praktis.
4.      Menggunakan penelitian empiris.
5.      Berpegang pada pengalaman.
6.      Menggunakan bahasa awam, bukan bahasa ilmiah.
7.      Berpendapat   bahwa akitivitas dari aktor yang terus menerus membentuk realitas masyarakat, bukan sebaliknya
8.      Berasumsi bahwa fenomena sehari-hari menjadi kacau, jika dianalisis dengan jalan diskripsi ilmiah
9.      Berasumsi bahwa norma, aturan hukum, struktur, semua tidak stabil, tetapi berubah-ubah karena tindakan aktor yang terus menerus berubah.
Adapun yang menjadi objek atau cara telaahan dari paham etnometodologi, antara lain sebagai berikut ;
1.      Menelaah praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
2.      Melakukan kajian studi tentang sebuah institusi
3.      Mendapatkan kejelasan yang substantif dari aktor
4.      Memberikan sesuatu penjelasan kepada orang lain
5.      Mengetahui cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain
6.      Menganalisis percakapan sehari-hari
7.      Menganalisis pengejekan dan pelecehan orang lain
8.      Menganalisis antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning
9.      Menganalisis antara pembicaraan dengan bahasa tubuh
10.  Mengontrol diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri
11.  Menganalisis metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada
12.  Menganalisis terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif
13.  Melakukan resolusi terhadap upaya mediasi atau perdamaian.
3.      Teori pertukaran
Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling memengaruh. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap:
·         Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu.
·         Jenis hubungan yang dilakukan.
·         Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Munculnya teori pertukaran sosial
Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku yang saling memengaruhi dalam hubungan tersebutyang terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan . Ganjaran merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.
Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. Namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisis secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans dan Blau. Homans dalam analisisnya berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik.Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisis pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukuran akan terjadi hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.

4.      Teori pertukaran rasional.
Teori Rasionalitas Max Weber
Dalam filsafat , rasionalitas pelaksanaan alasan. Ini adalah cara di mana orang menarik kesimpulan ketika mempertimbangkan hal-hal yang sengaja. Hal ini juga mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan seseorang alasan untuk keyakinan, atau dengan tindakan seseorang dengan seseorang alasan untuk tindakan.Namun, “rasionalitas” istilah cenderung digunakan dalam diskusi khusus ekonomi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik.Sebuah keputusan yang rasional adalah salah satu yang tidak hanya beralasan, tetapi juga optimal untuk mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan masalah.“Rasionalitas” digunakan berbeda di berbagai disiplin ilmu.
Ada kalanya seperti contoh masalah ilmu ketuhanan yang dikaitkan dengan filsafat. Secara rasio, pikiran kita tak akan bisa menyambungkannya. Yang bisa “mendamaikan” hanyalah iman yang kita miliki. Jika seseorang berpikir rasional bahwa usaha adalah cara yang tepat untuk mencapai tujuan, itu  memang benar. Tapi secara bathiniyah religius seseorang Doa sangatlah dibutuhkan seperti teori yang dikemukakan Comte dalam teori metafisik-nya. Dan pemikiran kita tentang ”Tuhan itu ada”. Secara rasional pikiran kita tidak akan bisa menerima karena kurang bukti nyata tentang adanya (bentuk/dzat) Tuhan yang benar-benar jelas.
Menentukan optimalitas untuk perilaku rasional memerlukan formulasi diukur dari masalah, dan pembuatan beberapa asumsi kunci.Ketika tujuan atau masalah melibatkan membuat keputusan, rasionalitas faktor dalam seberapa banyak informasi yang tersedia (lengkap atau tidak lengkap misalnya pengetahuan).Secara kolektif, asumsi formulasi dan latar belakang adalah model dimana rasionalitas berlaku. Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika seseorang menerima sebuah model di mana manfaat diri sendiri adalah optimal, maka rasionalitas disamakan dengan perilaku yang mementingkan diri sendiri ke titik yang egois; sedangkan jika seseorang menerima model yang menguntungkan kelompok optimal, maka perilaku pribadi semata dianggap tidak rasional. Dengan demikian berarti untuk menegaskan rasionalitas tanpa juga menetapkan asumsi model latar belakang menggambarkan bagaimana masalah dibingkai dan dirumuskan.Manusia dipandang sebagai makhluk yang rasional dan juga tidak rasional. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berfikir yang rasional atau logis, di samping itu juga ia memiliki kecenderungan untuk berfikir tidak rasional atau tidak logis. Kedua kecenderungan yang di miliki oleh manusia ini akan nampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah laku yang nyata. Dengan kata lain dapat di jelaskan bahwa apabila seseorang telah berfikir rasional atau logis yang dapat di terima dengan akal sehat, maka orang itu akan bertingkah laku yang rasional dan logis pula. Tetapi sebaliknya apabila seseorang itu berfikir yang tidak rasional atau tidak bisa di terima oleh akal sehat maka ia akan menunjukan tingkah laku yang tidak rasional. Pola berfikir semacam inilah oleh Ellis yang disebut sebagai penyebab bahwa seseorang itu mengalami gangguan emosionil.
Para sosiolog Jerman Max Weber mengusulkan sebuah interpretasi aksi sosial yang membedakan antara empat jenis rasionalitas. Yang pertama, yang disebut Zweckrational atau purposive / instrumental rasionalitas, berkaitan dengan harapan tentang perilaku manusia lain atau benda di lingkungan. Harapan ini berfungsi sebagai sarana untuk aktor tertentu untuk mencapai tujuan, yang Weber mencatat yang “rasional dikejar dan dihitung.”Tipe kedua, disebut Weber Wertrational atau nilai / kepercayaan berorientasi. Berikut tindakan yang dilakukan untuk apa yang disebut alasan intrinsik untuk aktor: beberapa, etika estetika, motif agama atau lainnya, tergantung dari apakah itu akan membawa kesuksesan. Jenis ketiga adalah affectual, ditentukan oleh afek yang spesifik seorang aktor, perasaan, atau emosi.“ Arti berorientasi” yang Weber sendiri mengatakan bahwa ini adalah jenis rasionalitas yang di garis batas apa yang dianggap. Keempat adalah tradisional, ditentukan oleh pembiasaan mendarah daging. Weber menekankan bahwa itu sangat tidak biasa untuk menemukan hanya salah satu orientasi: kombinasi adalah norma. Penggunaan nya juga membuat jelas bahwa ia menganggap dua yang pertama sebagai lebih penting daripada yang lain, dan dapat dikatakan bahwa ketiga dan keempat adalah subtipe dari dua yang pertama. Jenis-jenis rasionalitas yang tipe ideal.
Keuntungan dalam penafsiran ini adalah bahwa ia menghindari penilaian yang bermuatan nilai, mengatakan bahwa beberapa jenis keyakinan yang irasional. Sebaliknya, Weber menunjukkan bahwa tanah atau motif dapat diberikan – untuk agama atau mempengaruhi alasan, misalnya – yang dapat memenuhi kriteria penjelasan atau pembenaran, bahkan jika itu bukanlah penjelasan yang sesuai dengan orientasi Zweckrational sarana dan berakhir. Sebaliknya karena itu juga benar: beberapa cara-berakhir penjelasan tidak akan memuaskan mereka yang dasar untuk tindakan adalah ‘Wertrational’.
Konstruksi Weber tentang rasionalitas telah dikritik baik dari Habermasian (1984) perspektif (sebagai tidak memiliki konteks sosial dan di bawah-berteori dalam hal kekuasaan sosial), dan juga dari feminis perspektif (Eagleton, 2003) dimana konstruksi rasionalitas Weber adalah dipandang sebagai dijiwai dengan nilai-nilai maskulin dan berorientasi pada pemeliharaan kekuasaan laki-laki.Sebuah posisi alternatif pada rasionalitas yang meliputi rasionalitas terbatas (Simons dan Hawkins, 1949), serta afektif dan nilai-argumen berdasarkan Weber) dapat ditemukan dalam kritik Etzioni (1988), yang reframes pemikiran pada pengambilan keputusan untuk berdebat untuk pembalikan posisi yang diajukan oleh Weber. Etzioni menggambarkan bagaimana purposive/instrumental penalaran adalah subordinasi oleh pertimbangan-pertimbangan normatif (ide-ide tentang bagaimana orang ‘harus’ untuk berperilaku) dan pertimbangan afektif (sebagai sistem dukungan untuk pengembangan hubungan manusia).
Dalam psikologi penalaran , psikolog dan ilmuwan kognitif telah membela posisi yang berbeda pada rasionalitas manusia. Salah satu pandangan yang menonjol, karena Philip Johnson-Laird dan Ruth MJ Byrne antara lain adalah bahwa manusia rasional pada prinsipnya tetapi mereka keliru dalam praktek, yaitu manusia memiliki kompetensi harus rasional, tetapi kinerja mereka dibatasi oleh berbagai faktor.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
      Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Adapun teori-teori integrasi itu dibagi menjadi dua sisi yang pertama, teori makro dan yang kedua teori mikro, dalam beberapa teori tersebut akan diperinci seperti halnya teori makro di bagi dua yakni teori fungsional dan teori konflik, teori mikro dibagi menjadi empat yakni teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi, teori pertukaran, teori pertukaran rasional.
DAFTAR PUSTAKA

Riyadi Soprapto..2001. Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wardi Bachtiar. 2006. Sosiologi Klasik remaja.Rosda Karya: Bandung
Soekanto, Soerjana. 1982. Teori Sosiologi tentang Pribadi Masyarakat.Jakarta
Ghalia Indonesia
Bernard Raho. 2007. Teori sosiologi modern. Jakarta: pustaka Publisher

2 komentar:

  1. you should make short notes. it's more simple and easy to find any information without wasting so much time. thank you.

    BalasHapus
  2. terima kasih, ijin savepage

    BalasHapus