kuliah ushul fikih part kaleh


lanjutan kaidah-kaidah fikih...

Kaidah pertama
الأمور بمقاصدها
Setiap pekerjaan itu bergantung kepada maksudnya

  1. Pengertian
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa setiap perkara bergantung kepada tujuannya. Dengan kata lain bahwa niat, motif, serta tujuan yang terkandung dalam hati setiap mukallaf menjadi unsur dan kriteria penting dalam menentukan status hukum amal perbuatan yang dia lakukan.

  1. Sumber
Diambil dari ayat Al-Qur’an :
وما أمرو إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء.... (البينه : ٥)
Artinya: “dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus”

Al-Hadits:
أنما الأعمل بالنيات وإنما لكل امرء ما نوي
Artinya:
“sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang apa yang ia niati”
نية المؤمن خير من عمله (رواه الطبراني(
Artinya:
“niat seseorang itu lebih baik daripada perbuatannya” (HR. Thabrani)

  1. Contoh Dan Aplikasi
a.       Wudhu, mandi, shalat, dan shaum dan yang lainya harus ada niat.
b.      Suatu pekerjaan yang  halal bisa jadi haram karena niatnya. Seperti haramnya seorang bercampur dengan istrinya, karena ia berniat untuk zinah
c.       Sesuatu yang mubah, bisa mendapat pahala karena niatnya, seperti makan, minum yang diniati untuk ibadah.
d.      Memeras anggur haram tidaknya tergantung niat
e.       Orang  yang  mengutangkan  mengambil  barang  orang  yang  berutang,  tergantung niatnya; apakan الإستفاء memperingatkan atau السرقة mencuri.
f.        Kinayah ( sindiran) kata thalaq   انت خالية (khaliyah=bebas) tergantung niat.

Beberapa pendapat tentang urgensi niat :
1.      Syafi’iyah
-          niat merupakan Rukun
-          lupa atau rusak niatnya niat maka ibadah yang dilakukannya tidak sah.
2.      Hanafiyah
-          niat merupakan syarat
-          lupa atau rusak niat maka ibadahnya tetap sah akan tetapi tidak sempurna.
  1. kaidah-kaidah cabang
Kaidah pertama ini mempunyai banyak cabang, berikut ini diantara kaidah cabang yang dijelaskan oleh Rahmat Syafe’i:[1]
a.     ما لا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا  اذا عينه وأخطأ لم يضر
Artinya: “ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan”.
Contoh:
1.            Kesalahan  dalam  menentukan  tempat  shalat,  maka  kalau  ia  berniat  shalat dhuhur di  Mesir  ternyata di Mekah maka tidak batal shalatnya karena niatnya masih ada, sedang menentukan tempat tidak ada hubungan dengan niat shalat
2.            Kesalahan dalam menentukan waktu shalat, kalau niat shalat ashar hari kamis ternyata hari jumat maka tidak batal shalatnya
3.            Kesalahan Imam menetukan orang yang shalat dibelakangnya, kalau berniat mengimami  si   Zaid  ternyata  si  Umar  maka  tidak  madharat  karena  tidak disyaratkan kepada Imam menentukan mamum dan tidak niat mengimami.

b.    وما تشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
Artinya: “suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalannya membatalkan perbuatan tersebut”
Contoh-contoh;

1.      Kesalahan dari shalat dhuhur kepada shalat ashar dan sebaliknya. Kalau shalat dhuhur niat shalat ashar maka tidak sah
2.      Kesalahan dari kifarat dhihar kepada kifarat kothli

3.      Kesalahan dari rawathib dhuhur kepada rawathib ashar

4.      Kesalahan dari shalat idul fitri kepada shalat idul Adhha

5.      Kesalahan dari shalat dua rakaat ihram kepada dua rakaat thawaf

6.      Kesalahan dari shaum arafah kepada shaum asyura.

c.      وما يجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه فأخطاء ضر
Artinya: “suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan teryata salah maka kesalahannya membahayakan”
contoh ;

1.      Seseorang berniat shalat  mengikuti si zaed ternyata si umar maka tidak sah mengikutinya,  kareana  ia  tidak  ada  niat  mengikuti  kepada  si  umar.  Dengan mengikuti kepada si Zaed  dan  ternya si Umar dengan tidak pakai niat. Maka dalam shalat berjamaah tidak disyaratkan menentukan Imam tapi hanya niat shalat berjamaah saja
2.      Seseorang menyolatkan mayit kepada si Bakar ternyata si Khalid, atau berniat kepada  perempuan ternyata laki-laki, maka tidak sah, maka dalam shalat mayit tidak disyaratkan menentukan mayitnya kecuali hanya niat shalat mayit saja.
3.      Seseorang menshalatkan mayit. Maka dalam hal ini tidak perlu ditentukan jumlah  mayitnya. Kalau ia menentukan jumlahnya 10 oarang misalnya ternyata lebih, Maka Ia harus  mengulangi shalatnya secara keseluruhan karena di antara mereka ada yang belum di shalatkan, sementara mereka itu tidak jelas
4.      Tidak perlu seseorang menetukan jumlah rakaat dalam shalat, kalau Ia niat shalat dhuhur lima rakaat atau tiga maka tidak sah
5.      Seseorang menetukan zakat hartanya yang masih ghaib yang belum hadir di hadapannya. Maka tidak boleh.

d.    النية في اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص
Artinya: ”niat dalam sumpah mengkhususkan lafazh umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafazh yang khusus”
e.      مقاصد اللفظ علي نية اللافظ إلا في موضع واحد وهو اليمين عند القاضي فإنها علي نية القاضي
Artinya: “maksud sari suatu lafazd adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam suatu tempat, yaitu dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian maksud lafazd menurut niat hakim”.
contoh:

1.       Kalau nama istrinya Thaliq dan nama hamba perempuannya Hurrah, lalu Ia berkata Wahai  Thaliq atau Wahai Hurrah.  Kalau  ia bermaksud  mentalaq atau membebaskan  maka  jatuh  talaq  dan  bebas  atau  hanya  bermaksud  memanggil maka tidak jatuh talaq dan tidak bebas.
2.       Kalau seseorang membaca dalam shalat bacaan Alquran, dan tidak bermaksud yang lain maka sah bacaannya. Dan jika bermaksud memberi pemahaman kepada yang lain maka batal. Dan jika  memuthlakan, menurut pendapat yang sah maka jadi batal.
3.       Jika seseorang mengkaitkan niat kepada katainsyaAllah, kalau ia bermaksud menggantungkan niatnya maka batal, jika tabaruk(mengharapkan berkah) maka tidak, jika ia memutlakan maka batal.


    1.  العبرة في العقود المقاصد والمعاني لا للألفظ والمعاني
Artinya: “yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafazh atau bentuk-bentuk perkataan”.



[1] Rahmat, Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (untuk UIN, STAIN, PTAIS), Bandung: 2007, hlm. 276.
Rujukan lain: http://file.upi.edu/Direktori/C%20-%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BAHASA%20ARAB/195510071990011%20-%20DEDENG%20ROSIDIN/Qaidah%20Fiqhiyah%20Dasar.pdf

kuliah ushul Fiqh part I

Kaidah Fiqhiyah
  1. pengertian
Kata kaidah fikih berasal dari bahasa arab قواعد فقهية , kata tersebut mempunyai dua suku kata: قواعد yang merupakan bentuk jamak dari kata قاعدة yang artinya dasar atau pondasi.
Sedangkan kata فقهية adalah bentuk nisbah dari kata فقه yang artinya secara bahasa adalah pemahaman, dan yang dimaksud di sini adalah disiplin ilmu fikih, yaitu ilmu tentang hukum-hukum sesuatu yang berupa amalan, dengan berlandaskan dalil-dalil yang terperinci.
Dari uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa arti bahasa dari kaidah fikih adalah dasar-dasar ilmu fikih.
Definisi secara istilahi (terminologi):
Jika kita membuka buku-buku referensi yang membicarakan tentang definisi kaidah fikih, kita akan dapati banyak definisi-definisi kaidah fikih secara istilahi (terminologi) dengan susunan kalimat yang berbeda-beda, namun semuanya kembali kepada satu makna, oleh karenanya penulis hanya akan memilih satu definisi yang penulis pandang paling mudah dipahami dan bisa mewakili sekian banyak definisi dari kaidah fikih ini, yaitu: حكم شرعي كلي في أكثر من باب , yang diartikan: sebuah hukum syar’i, yang bisa di terapkan pada semua permasalahan-permasalahan fiqhiyyah yg di cakupnya, yang meliputi beberapa bab.

  1. obyek
material: perbuatan mukallaf.
Formal: kaidah-kaidah fikih itu sendiri.

  1. manfaat
  1. mengetahui hal-hal fikih praktis
  2. orang yang memahami kaidah-kaidah  fikih berarti ia identik dengan fuqoha’. (penjelasan oleh Bpk. Walid)
(tambahan sendiri)
a)      Membantu kita dalam mengingat dan membedakan banyak permasalahan yang serupa dalam ilmu fikih.
b)      Memudahkan kita dalam menemukan hukum suatu kasus atau permasalahan yang tidak termaktub secara khusus dalam nash-nash Alqur’an dan sunnah.
c)      Membentuk seseorang menjadi ahli fikih yang mumpuni dalam menjawab tantangan zaman dengan berbagai permasalahan barunya yang terus bermunculan.
d)      Susunan kalimat kaidah fikih yang singkat dan padat, menjadikan kita mudah untuk menghapalnya.
e)      Kaidah fikih dengan ciri khasnya: keluasan makna dan obyektifitas, menjadikannya sebagai patokan hukum yang bisa diterapkan pada banyak permasalahan dengan tidak terpancang pada individu ataupun permasalahan tertentu.
f)       Memudahkan kita dalam mempelajari ilmu ushul fikih, karena kaitannya yang sangat erat antara keduanya.
g)      Menjauhkan seseorang dari kontrakdiksi dalam pendapat-pendapatnya, karena ilmu kaidah fikih ini ibarat rel, kereta api yang berjalan di atasnya tidak bisa menyalahinya, ia akan berjalan kemanapun arah rel itu, ketika ia menyalahinya pertanda ia sedang celaka. Begitu pula dengan kaidah fikih, seorang mujtahid harus berpegang teguh dengannya -disamping berpegang teguh dengan dalil-dalil syar’i lainnya-. Produk fatwa yang dihasilkannya akan seragam, bila ia berjalan sesuai dengan rel kaidah, sebaliknya tanpa rel tersebut, ia akan bingung menentukan arah, gampang dibelokkan, dan riskan salah sasaran.
Kaidah-kaidah fikih:
١. الامور بمقاصدها
٢. اليقين لا يزال إلا بالشك
٣. المشقة تجلب التيسير
٤. الضرر يزال
٥. العادة المحكمة