Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

SOAL DAN JAWABAN TARIKHUL QUR'AN

 

MATA KULIAH                   : Tarikh al-Quran

1.       Jelaskan hikmah dari turunya al-quran secara bertahap?

Turunya al-Quran secara bertahap mempunyai hikmah untuk meneguhkan atau mengkuatkan hati Nabi Muhammad dalam menapaki jalan yang sulit, juga memudahkan kaum muslimin dalam menghafalkan dan memahami ayat al-Quran, dikala itu.

2.       Ada berapakah pendapat tentang ayat terakhir yang diturunkan?

Ada sembilan pendapat yaitu: 1). Al-baqarah/2:278, 2). Al-baqarah/2:281, 3). Al-baqarah/2:282, 4). An-nisa’/4:176, 5). At-taubah/9:128, 6). Al-maidah, 7).ali ‘imran/3:195, 8).an-nisa’/4:93, 9). An-nasr/110:1.

3.       Jelaskan argumen perbedaan pendapat yang berkaitan dengan ayat yang terakhir diturunkan, menurut pendapat yang lebih kuat?

1)      Dikatakan ayat yang terakhir kali diturunkan yakni ayat mengenai riba (al-Baqarah/2: 278), didasarkan oleh Imam Bukhari dari Ibn Abbas.

2)      Didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan imam lainya dari Ibn Abbas dan Said Bin Jubair bahwa ayat yang terakhir turun adalah al-Baqarah/2: 281.

3)      Dikatakan ayat  yang terakhir kali turun yakni ayat mengenai utang piutang (al-Baqarah/2: 282), berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Sa’id Bin al-Musayyab.

4)      Bahwa ayat yang terakhir kali diturunkan yakni ayat kalalah (an-Nisa’/4: 176), didasarkan oleh hadis Bukhari dan Muslim, beliau meriwayatkan dari Barra’ Bin ‘Azib.

5)      Dalam al-mustadrak disebutkan, dari Ubai Bin Ka’ab mengatakan bahwa ayat yang terakhir kali turun yakni surah at-Taubah/9:128. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas, hadis ini memberitahukan bahwa surah ini adalah surah yang terakhir kali diturunkan, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi, sebagaimana dipahami oleh para sahabat.

6)      Dikatakan bahwa ayat yang terakhir kali turun yakni surah al-Maidah, didasarkan pada riwayat Tirmidzi dan Hakim, dari Aisyah, tetapi menurut pendapat ulama’ bahwa surah itu adalah surah yang terakhir kali turun mengenai halal dan haram.

7)      Didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawih melalui Mujahid, dari Umm Salamah bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah al-Imran/3: 195.

8)      Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhri dan yang lain dari Ibn Abbas bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah an-Nisa’/4: 93.

9)      Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat yang terakhir kali diturunkan yaitu an-Nasr/110:1.

4.       Jelaskan yang dimaksud dengan tanda surah makki atau madani yang pasti dan tidak pasti?

Seperti tanda untuk membedakan mana yang makki dan mana yang madani menurut segi sasaranya yakni, ayat yang mengandung seruan ‘ya ayyuhan nas’ adalah makki, sedang ayat yang mengandung seruan ‘ya ayyuhal ladzina’ amanu adalah madani. Namun telah nampak bahwa kebanyakan surah tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, misalnya surah al-Baqarah itu madani tetapi dalamnya terdapat ayatيا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون                                                                                                                            

“Wahai manusia! sembahlah tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (al-Baqarah/2: 21)”.

5.       Apa yang anda fahami tentang macam-macam penamaan surah dalam al-quran?

Surah itu dinamakan sesuai dengai isi atau kandungan dalam surah tersebut, misalnya surah yusuf, kenapa dinamakan demikian, karena didalam surah itu terdapat perjalanan atau kisah dari Nabi Yusuf, mulai beliau sebelum diangkat menjadi nabi dan setelahnya.

PENJELASAN TENTANG AYAT-AYAT MAKKI DAN MADANI

 PENJELASAN      :

·         MAKKI

Menurut bahasa kata makki berasal dari kata “Makkah” yang berarti kota Makkah, sedangkan menurut istilah adalah surah atau ayat al-quran  yang turun kepada Nabi sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah.

·         MADANI

Menurut bahasa kata madani berasal dari kata “Madinah” yang berarti kota Madinah, sedangkan menurut istilah adalah surah atau ayat al-quran yang turun kepada Nabi setelah hijrahnya Nabi.

Dan saya mengambil definisi ini pada umumnya saja dan hanya seputar pengetahuan saya.Tetapi terdapat perbedaan pendapat antara pakar ulumul quran dalam mendefinisikan surah atau ayat makki dan madani. Yakni sebagai berikut:

1.       Makki adalah surah atau ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya, walaupun itu setelah hijrah. Sedangkan madani adalah surah atau ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya.

2.       Makki adalah surah atau ayat yang lebih khusus menyeru kepada penduduk Makkah, sedangkan madani adalah surah atau ayat yang munyeru kepada penduduk Madinah.

3.       Makki adalah surah atau ayat yang turun kepeda Nabi sebelum hijrah, sedangkan madani adalah surah atau ayat yang turun kepada Nabi setelah hijrah.

Ketiga definisi diatas terlihat jelas jika definisi terakhirlah yang paling masyhur.

 

PLAGIARISME DALAM KARYA ILMIAH

 A.      Hakikat dan Penyebab Plagiarisme

Menurut perspektif peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 tahun 2010, plagiat adalah perbuatan sengaja maupun tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Tindakan plgiarisme adalah tindakan yang tidak baik untuk dilakukan oleh siapaun, plagiarisme sering terjadi karena beberapa faktor yaitu: (1). Faktor Budaya (2). Kurang memiliki pengetahuan tentang penulisan karya ilmiah serta masalah plagiarisme (3). Ingin mencari jalan pintas dalam mencapai perstasi (4). Tekanan waktu yang sempit dalam menyelesaikan tugas (5). Malas menguras otak untuk berpikir lebih (6). Fasilitas dunia maya (7). Belum adanya sanksi yang memadai bagi plagiator (8). Proses hukum bagi plagiasi terlalu panjang dan melelahkan sehingga menyebabkan apatisme (9). Plagiasi dianggap lumrah oleh sebagian kalangan.

B.      Tipe-tipe Plagiarisme

1)      Plagiat langsung (Direct Plagiarism), yakni pelaku meng-copy langsung tulisan sebagian atau keseluruhan dan tidak menunjukkan bagian itu sebagai hasil kutipan karya orang lain.

2)      Plagiat tidak jelas (Incorrect Citation), yakni pelaku megutip suatu bagian karya tulis, tetapi tidak jelas menyebutkan dimana awal kutipan dan dimana akhir kutipan.

3)      Klasifikasi berdasarkan proporsi atau presentasi kata, kalimat, paragraf yang dibajak: plagiarisme ringan: tujupuluh persen.

4)      Berdasarkan pola plagiarisme: plagiarisme kata demi kata dan plagiarisme mosaik.

C.      Cara Mencegah Plagiarisme dan Sanksi Bagi Plagiarisme

MASALAH QISAS

 

MASALAH QISAS 

HUKUM PERTAMA

Apakah seorang yang merdeka juga dibunuh ketika ia membunuh hamba sahaya dan apakah orang yang membunuh kafir dzimmi juga dibunuh?

Ulama fiqih berbeda pendapat tentang masalah ini, mayoritas ulama ( Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah) berpendapat, orang merdeka yang membunuh hamba atau seorang muslim yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak boleh dihukum bunuh, dan sebagian madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa keduanya harus dihukum bunuh.

Ø  Dalil-dalil Jumhur

Pertama, dalam firman Allah ta’ala “Diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh” (QS. Al-Baqarah [2]: 178). Disini benar-benar Allah mewajibkan (hukuman) secara sama, kemudian menjelaskan kesamaan ini dengan firman-Nya “Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.”

Orang merdeka kesamaanya adalah orang merdeka, hamba sahaya kesamaanya hamba sahaya dan wanita kesamaanya dengan wanita. Meka seolah-olah Allah berfirman “Bunuhlah si pembunuh itu apabila berkedudukan sama dengan yang terbunuh.” Mereka juga mengatakan bahwa tidak ada kasamaan antara orang yang merdeka dengan hamba sahaya, dengan begitu orang merdeka tidak dapat hukuman mati karena membunuh hamba sahaya. Demikian juga tidak ada kesamaan antara orang Muslin dengan kafir dzimmi, maka ia pun tidak boleh dihukum mati karena membunuh orang kafir dzimmi tersebut.

Kedua, sunnah. Diriwayatkan Imam Bukahari dari Ali sesungguhnya Rasulullah bersabda:

لا يقتل مسلم بكافر                                                                                                         

“tidak boleh dibunuh orang Muslim karena (membunuh) orang kafir”

Ketiga, menurut pertimbangan logis hamba sahaya posisinya tidak ubahnya barang, sebab kehambaanya yang juga merupakan akibat dari kekafiran, sedang orang kafir itu ibarat binatang karena kekufurannya yang melampaui batas. Dalam hal ini Allal berfirman “Sesungguhya binatang (makhluk) yang paling buruk dalam pandangan Allah adalah orang-orang kafir karena mereka tidak beriman” (QS. Al-Anfal [8]: 55). Maka bagaimanakah gerangan kaum Mukminin akan disamakan dengan orang kafir dan harus dibunuh kalau membunuhnya?

Ø  Dalil-dalil golangan Hanafiyah

Pertama, Al-Kitab. Allah berfirman:

يا أيّها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى                                                                                      

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 178)

Menurut mereka, sesungguhnya Allah mewajibkan bunuh bagi pembunuh pada permulaan ayat dan ketentuan itu umum meliputi setiap pembunuh, baik orang yang merdeka ataupun hamba, Muslim atau dzimmi. Adapun firman Allah “Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba...” (QS. Al-Baqarah [2]: 178) yang dimaksudkan untuk menghilangkan tindak kedzaliman yang lazim berlaku dalam masyarakat Jahiliyah, dimana mereka membalas pembunuhan hamba dengan orang merdeka, wanita dengan laki-laki secara melampaui batasdan zalim, maka Allah membatalkan tindakan tersebut dan mengkukuhkan bentuk hukuman qisas bagi si pembunuh, lain tidak, sebagaimana pengertian itu dapat ditemukan dibagian terdahulu pada sebab turunya ayat ini.

Kedua, dalam firman Allah:

وكتبنا عليهم فيها أنّ النّفس بالنّفسِ                                                                                                       

“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 45)

Menurut mereka ayat ini bersifat umum mengenai sanksi qisas untuk segala bentuk pembunuhan, sedang syariat orang-orang terdahulu berlaku juga bagi kita selama tidak dinaskh, sementara itu kami tidak menemukan ketentuan lain yang menasakhnya.

Ketiga, firman Allah:

ومن قتل مظلوماً فقد جعلنا لوليّه سلطا ناً                                                                                         

“Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 33)

Ayat ini mengandung ketentuan umum untuk semua orang yang terbunuh secara zalim, baik ia seorang hamba atau orang merdeka, muslim atau dzimmi, walinya diberi kekuasaan yaitu, kekuasaan untuk menuntut hukuman qisas atau qiwad (hukuman balasan).

Keempat, sabda Rasulullah:

المسلمون تتكافأُ دماؤهم وسعى بذمّتهم أدناهم وهم يدٌ على من سواهم                                                      

“Orang-orang Islam itu sederajat darahnya dan orang-orang yang lebih rendah daripada mereka berada dalam tanggungan mereka sedang mereka berkuasa atas orang-orang lainnya.”

Jadi hamba sahaya (yang Muslim) memiliki sedeajat yang sama dengan orang merdeka (yang Muslim pula).

Kelima, sabda Rasulullah:

من قتل عبده قتلناه ومن جدعه جدعناه ومن خصاه خصيناه                                                                                 

Barang siapa membunuh hambanya, kami bunuh dia; barang siapa memotang hidung hambanya, kami potong (pula) hidungnya; dan barang siapa mengebirinya, kami kebiri.”

Menurut mereka, hadis ini menunjukkan bahwa orang merdeka yang membunuh hamba harus dibunuh, sebab Islam tidak membedakan antara orang merdeka dengan hamba.

Keenam, mereka berdalil dengan sebuah riwayat Baihaqi dari Aburrahman bin Bilmani, bahwa Rasulullah. pernah membunuh seorang Muslim karena membunuh kafir dzimmi, Beliau lalu bersabda:

أنا أكرم من وفى بذمّته                                                                                                      

“Aku menghormati orang yang memenuhi tanggungannya.”

Ketujuh, diantara yang menunjukkan harus dibunuhnya seorang Muslim karena membunuh orang kafir dzimmi ialah kesepakatan semua ulama atas wajibnya potong tangan si Muslim apabila mencuri (barang milik) orang kefir dzimmi. Maka demikian pula ia wajib diqisas karena membunuhnya, sebab kehormatan darahnya lebih besar daripada hartanya.

Itulah dalil-dalil yang dikemukakan kedua belah pihak yang kami tulis secara ringkas. Adapun sebab perbedaan pendapat antara mereka dalam masalah ini

HALAL-HARAM DALAM MAKANAN

 

HALAL-HARAM DALAM MAKANAN

ü  HUKUM PERTAMA

Apakah yang diharamkan hanya sebatas memakanya ataukah memanfaatkanya?

Dalam ayat ini, kata haram disandingkan pada zat bangkai dan darah. Para ulama fiqih berbeda pendapat, apakah yang diharamkan hanya sebatas memakanya saja atau juga termasuk memanfaatkanya. Sebab, ketika diharamkan memakanya maka hukum yang sama juga berlaku ketika memanfaatkanya dengan segala bentuk cara, kecuali jika ada dalil yang memperbolehkanya. Sebagian ulama berpendapat yang diharamkan hanya sebatas memakanya. Hal ini berdasarkan firman Allah: “Makanlah dari sebaik-baik rezeki yang kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 172). “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakanya) sedang ia tidak meginginkanya...”(QS. Al-Baqarah [2]: 173)

Al-Jashash berpendapat, bentuk haram yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala bentuk upaya memanfaatkanya. Dengan begitu tidak diperbolehkan memanfaatkan bangkai untuk memberi makanan anjing dan binatang-binatang buas yang lain, karena hal itu termasuk dalam kategori memanfaatkanya, padahal Allah mengharamkan bangkai secara mutlak yang disandarkan pada dzat bangkai itu sendiri. Dengan demikian tidak diperbolehkan memanfaatkan apa saja yang berasal dari bangkai itu kecuali jika ada dalil yang menjelaskan hal itu dan wajib kita terima.

ü  HUKUM KE-2

Apa hukum bangkai belalang dan ikan?

Dalam ayat ini disebutkan haramnya bangkai, darah, daging babi dan apa saja yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Yang dimaksud maitah adalah binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuhnya atau terbunuh tanpa disembelih, dengan cara yang sesuai dengan syariat. Sedangkan pada masa jahiliyah penduduk Arab memperbolehkan memakan bangkai. Setelah diharamkan oleh Allah mereka memperdebatkanya kepada orang-orang islam dan berkata: “Kalian tidak boleh memakan apa yang dibunuh oleh Allah, dan kalian hanya boleh memakan apa yang disembelih dengan tangan kalian sendiri.” Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawanya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kaumu tentu menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]: 121)

                Hukum bangkai adalah haram berdasarkan ketetapan nash yang qathi’, tetapi ada beberapa hadis yang mentakhsisnya, diantaranya:

Pertama dan kedua sabda Rasulullah:

احلّت لنا ميتتان ودمان, السمك والجراد والكبد والطّحال                                                                        

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua macam darah, yaitu bangkai ikan dan belalang, hati dan limpa.”

هو الطّهور ما ؤه الحل متته                                                                                                       

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”

Ketiga, diriwayatkan dalam dua kitab shahih dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya ia pernah keluar bersama Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengendarai seekor unta milik orang Quraisy dan kami membawa bekal sekantong kurma. Lantas kami berangkat kepantai, lalu kami melihat benda seperti bukit pasir yang besar, kemudian kami mendekatinya. Dan ternyata benda tersebut adalah seekor ikan yang biasa disebut Anbar yaitu ikan yang berbadan besar dan berkepala lebar. Abu Ubaidah berkata: itu bangkai! Namun ia berkata lagi: kita adalah utusan Rasulullah, sedang kalian dalam keadaan terpaksa, maka silahkan dimakan. Jabir berkata: kemudian kami menginap ditempat itu selama sebulan sampai badan kami gemuk. Lantas ia melanjutkan hadis ini, lalu berkata: setelah kami tiba di Madinah kami menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang kami alami. Kemudian Beliau bersabda: “Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadamu, apakah kamu masih menyimpan sedikit dagingnya untuk kami makan?” Jabir berkata: kemudian kami memberikanya daging tersebut kepada Rasulullah, lalu Beliau memakanya.

Keempat, Hadis Abi Aufa: “kami pernah berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan saat itu kami makan belalang.”

Mayoritas ulama mengkhususkan ayat tersebut dengan bangkai laut berdasarkan hadis-hadis yang telah disebutkan diatas, sebagaimana mereka juga menghalalkan makan bangkai belalang. Hanya golongan madzhab Hanafi yang mengharamkan bangkai ikan yang mengapung dan menghalalkan ikan yang mati dilaut karena terdapat hadis yang meredaksikan yaitu:

ما ألقى البحر او جزر عنه فكلوه وما مات فيه وطفا فلا تأكلوه                                                                             

“Apa yang dilemparkan oleh laut atau mati didalamnya, maka makanlah, sedang apa yang mati didalam laut dan mengapung, maka janganlah kalian memakanya.”

Adapun madzhab imam Malik hanya menghalalkan bangkai ikan dan tidak menghalalkan bangkai belalang (karena ia sama dengan bangkai yang lain), dalam pandangan mereka halalnya bangkai belalang tidak memiliki dasar yang jelas.

Al-Qurtubi memaparkan, sebagian dasar ulama fiqih menghalalkan semua binatang laut, baik yang hidup maupun yang sudah menjadi bangkai. Pendapat ini menurut pandangan madzhab Maliki, tetapi imam Malik tidak menjawab ketika ditanya tentang babi laut, ia hanya berkata: “Kamu menyebut babi”, Ibn al-Qasim berkata: “Aku berusaha untuk tidak memakanya, tetapi aku tidak berkata bahwa ia haram.”

ü HUKUM KE-3

Bagaimana hukum janin yang terdapat dalam perut, sementara induknya sudah disembelih?

Para ulama berbeda pendapat tentang janin yang sudah mati sedang induknya sudah disembelih, apakah boleh dimakan atau tidak?. Abu Hanifah berpendapat tidak boleh dimakan, kecuali jika janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian disembelih juga, sebab janin yang mati dalam perut sudah menjadi bangkai, sementara Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai...” (QS. Al-Baqarah [2]: 173)

Imam Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa janin boleh dimakan, karena ia dihukumi sama dengan induknya yang sudah disembelih, mereka berpijak pada hadis Rasulullah yang berbunyi:

ذكاة الجنين ذكاة أمّيه                                                                                                                

“Sembelihan janin itu (cukup dengan) penyembelihan induknya”

Imam Malik berkata: “Kalau kondisi janin sudah sempurna kejadianya dan bulu-bulunya sudah tumbuh, maka boleh dimakan, namun jika tidak demikian, maka tidak boleh.” Al-Qurthubi berkata: “Apabila janin keluar dalam kondisi sudah mati setelah induknya disembelih, maka boleh dimakan, karena posisinya sebagai salah satu anggota badan induknya. Ulama yang sependapat dengan Abu Hanifah berkata:  “Hadis ini juga memiliki tafsiran yang lain, yaitu bahwa sembelihan janin itu adalah seperti sembelihan induknya.”

ü  HUKUM KE-4

Apakah diperbolehkan memanfaatkan bangkai selain dimakan?

Atha’ berpendapat bahwa memanfaatkan gajih dan kulitnya bangkai hukumnya boleh, seperti untuk meminyaki perahu dan kulitnya disamak. Sebagai landasanya adalah, bahwa yang diharamkan dalam ayat tersebut hanya sebatas memakanya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah “Sesuatu yang diharamkan bagi yang hendak memakanya.” (QS. Al-An’am [6]: 145)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa memanfaatkan bangkai hukumnya haram. Sebagai landasanya adalah firman Allah “Diharamkan bagimu bangkai” maksudnya yaitu memanfaatkanya baik untuk dimakan ataupun yang lain, dan sabda Rasulullah yang berbunyi:

لعن الله اليهود حرّمت عليهم الشّحوم فجملوها فباعوها وأكلوا أثمانها                                               

“Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi, yang diharamkan bagi mereka gajih, tetapi mereka memasaknya lalu menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualanya).”

                Hadis ini memiliki pengertian, manakala Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula harganya, dengan begitu tidak diperbolehkan menjual dan memanfaatkan (bagian apapun) dari bangkai kecuali ada nash yang mengecualikanya.

ü  HUKUM KE-5

Bagaimana hukum darah yang masih menempel pada urat dan daging?

Para ulama sepakat bahwa hukum darah adalah haram dan najis, tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan. Allah menyebut darah dalam ayat tersebut secara mutlak yang juga dikuatkan dengan firman-Nya: “Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’am [6]: 145) ulama berpatokan pada ayat yang sifatnya mutlak pada yang muqayyad, sehingga mereka tidak menyatakan haram melainkan darah yang mengalir. Dalam hadis yang bersumber dari Aisyah bahwasanya ia berkata: “Seandainya Allah tidak berfirman, ‘atau darah yang mengalir’ tentu manusia membawa-bawa darah yang ada pada urat-urat.”

Sehingga apa yang telah bercampur dengan daging tidak dianggap haram menurut ijma’ para ulama. Demikian juga dengan hati dan limpa, meskipun keduanya termasuk bagian dari jenis darah.

Al-Qurthubi berpendapat, darah adalah haram selama tidak bercamupr dengan daging dan urat-urat. Aisyah pernah berkata “Pada masa Rasulullah kami pernah memasak (daging) dalam kuali, dan ketika itu mendidih (tampak warna) kekunig-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakanya dan kami juga tidak mengingkarinya.”

ü  HUKUM KE-6

Bagian manakah yang diharamkan pada babi?

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa yang diharamkan adalah daging babi, sebagian golongan Zahiriyah berpendapat bahwa yang diharamkan itu hanya pada dagingnya saja, tidak termasuk gajihnya, karena Allah berfirman “Dan daging babi.” Sedang mayoritas ulama berpendapat bahwa gajihnya juga haram karena daging itu meliputi gajih, Inilah pendapat yang benar. Adapun Allah menyebut “daging” secara khusus untuk menunjukkan bahwa yang diharamkan itu dzatiyah babi itu sendiri, baik disembelih sesuai dengan syariat atau tidak.

Berkaitan dengan memanfaatkan bulu babi, para ulama fiqih berbeda pendapat, imam Hanifah dan imam Malik berpendapat boleh, sementara imam Syafi’i tidak memperkenakanya, sedang Abu Yusuf mengatakan makruh.

Al-Quurthubi berkata tidak diperselisihkan lagi bahwa seluruh anggota badan babi adalah haram kecuali bulunya yang boleh dimanfaatkan oleh tukang jahit kulit, sebab cara seperti itu telah berlangsung sejak zaman Rasulullah dan sesudahnya, sedang kami tidak mendapati Beliau mengingkarinya, begitu juga dengan ulama sesudahnya.

Para ulama masih berselisih tentang haramnya babi laut, imam Hanifah berpendapat tidak boleh dimakan karena melihat keumuman ayat, sedang imam Malik, imam Syafi’i dan al-Auza’i tidak mengapa memakan apapun yang ada dilaut. Untuk menelaah lebih jauh perincian dalil-dalil mereka dapat dilihat dalam kitab-kitab fiqih.

ü  HUKUM KE-7

Sejauh manakah orang yang dalam kondisi terpaksa diperbolehkan memakan bangkai?

Para ulama masih berbeda pendapat terkait dengan orang yang dalam keadaan terpaksa, apakah ia boleh makan bangkai sampai kenyang atau hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar saja?

Imam Malik berpendapat boleh makan sampai kenyag sebab keadaan terpaksa telah menghilangkan keharaman, sehingga hukum bangkai menjadi halal (baginya). Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh memakan hingga kenyang karena dibolehkanya dalam keadaan terpaksa, dengan begitu harus diukur dengan kadar kebutuhanya saja.

Yang menjadi sebab timbulnya perbedaan pendapat ini adalah firman Allah “Sedang ia tidak menginginkanya dan tidak melampaui batas” (QS. Al-Baqarah [2]: 173). Dari sini mayoritas ulama menafsirkan ghaira ‘adin “tidak menginginkan memakan bangkai tanpa didesak dengan kondisi” dan wa la ‘adin “tidak melampaui batas dengan keadaan terpaksa.” Imam Malik menafsirkan sebagai berikut: “Tidak durhaka dan memusuhi Imam”. Itulah beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama beserta alasan-alasanya, Wallahu a’lam.

ü  KESIMPULAN

1.       Orang-orang yang beriman diperbolehkan memakan makanan yang baik-baik selama didapat dari usaha yang diperbolehkan syariat.

2.       Begitu banyak nikmat Allah yang sudah dilimpahkan sehingga tidak mampu lagi untuk menghitungnya, untuk itu wajib bagi orang-orang yang beriman untuk mensyukuri nikmat tersebut.

3.       Ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada Allah menjadi karakteristik orang mukmin yang benar.

4.       Allah mengharamkan bagi hamba-Nya segala hal yang buruk dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik.

5.       Orang yang dalam kondisi terpaksa diperbolehkan memakan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti bangkai dan yang lainya.

Kritik Orientalisme dan Sangahannya Terhadap al-Quran

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Hubungan Timur (khususnya Islam) dan Barat merupakan suatu hal yang tak pernah lepas dari kajian orientalisme. Dan pada dasarnya dapat dikatakan bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang dunia Timur, khususnya Islam, dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat ketimuran atau oriental society, maka dapat dikatakan dengan jelas sekali bahwa orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial masyarakat Timur khususnya Bangsa Arab.

 

Membincangkan masalah orientalisme Islam sudah tentu yang menjadi bidikan utama para kaum orientalis adalah kajian terhadap al-Qur’an. Sebagai Kitab Suci yang diyakini otentisitasnya di kalangan umat Muslim, Babak awal lahirnya orientalisme bersamaan dengan terjadinya ekspansi kaum Muslimin ke beberapa wilayah Eropa melalui penaklukan Islam ke Andalusia.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Pengertian Orientalisme?

2.      Bagaimana Sejarah Orientalisme?

3.      Apa Tujuan Orientalisme?

4.      Bagaimana Kritik Orientalisme Terhadap  al-Quran?

5.      Siapasaja Tokoh-Tokoh Orientalisme?

 

C.     Tujuan pembahsan

1.      Mengetahui Dan Memahami Pengertian Orientalisme.

2.      Mengetahui Dan Memahami Sejarah Orientalisme.

3.      Mengetahui Dan Memehami Tujuan Orientalisme.

4.      Mengetahui Dan Memahami Kritik Oriantalisme Terhadap Al-Quran.

5.      Mengetahui Tokoh-Tokoh Orientalisme.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian  Orientalisme

Kata orientalisme berasal dari kata orient yang berarti timur, sedangkan kata Orientalis dan Orientalisme dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Menurut Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab khususnya ilmuwan Barat yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, peradaban dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China, Persia dan India. Dalam perkemabngan selanjutnya, kata ini identik ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab.

Para peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban islam dengan tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya. Dengan demikian orientalis adalah suatu istilah umum mencakup kelompok-kelompok non Arab yang bekerja di medan penelitian ilmu ketimuran secara umum dan Islam secara khusus. Tujuan mereka bukan untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan, akan tetapi tujuannya adalah membuat keraguan pada kaum muslimin terhadap agamanya.[1]

 

B.     Sejarah Orientalisme

Sebagian peneliti berpendapat sulit untuk menentukan siapa dan kapan awal mula orientalisme, sebagian lain menyebutnya bahwa orientalisme muncul pada awal abad ke-11 masehi. Akan tetapi pendapat yang lebih akurat, orientalis muncul di Andalusia (Spanyol) pada abad ke- 7 Hijriyah, ketika kaum slaibis Spanyol menyerang kaum muslim. Kala itu Alfons, raja konstantinopel, memerintahkan kepada seseorang yang bernama Michael Scott untuk melakukan penelitian terhadap disiplin ilmu yang ada pada kaum muslimin Andalusia. Kemudian ia mengumpulkan beberpapa pendeta dari kota Thalita guna memulai proyek penerjemahan buku-buku Arab ke bahasa Prancis. Setelah semuanya selesai ia menyerahkannya kepada raja sicilia untuk kemudian raja menghadiahkannya kepada universitas Paris.

 

Para peneliti berbeda pendapat tentang sejarah permulaan orientalisme ini, namun secara resmi dimulai dengan terbitnya ketetapan majma’ (konfrensi) gereja Viena pada tahun 1312 H dengan membentuk sejumlah lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah universitas Eropa. Dengan demikian memungkinkan adanya orientalisme ini secara tidak resmi sebelumnya. Oleh karena itu ahli sejarah hampir sepakat bahwa abad ke-13 Masehi adalah permulaan orientalis bersifat resmi Sejak itu mereka tidak berhenti mempelajari Islam dan bahasa Arab dan menterjemahkan makna kandungan al-Quran dan sebagaian kitab-kitab berbahasa Arab dan sastranya hingga masuk abad ke-18 Masehi. Pembahasan tentang asal mula Orientalisme, sebenarnya masih diperselisihkan oleh para peneliti sejarah Orientalisme. Dan tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa. pertama yang mempelajari tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencatat kapan terjadinya.

 

Fase pertama : Missionaris & Anti Islam (dimulai abad ke- 16 M). Pada fase ini, adalah simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini sejalan dengan misionaris. Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim. Strategi yang digunakan adalah menyebarkan kesan pada orang Timur dan Eropa.

 

Fase kedua : Kajian dan Cacian (abad ke- 17 dan 18 M). Fase kedua ini terjadi bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis (1596-1667), dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. G Sale (1677-1736) penterjemah Al-Quran tahun 1734 menulis Muhammad adalah ”pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward Gibbon (1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah pembohoang dan pada hari-hari terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualitas”.

 

C.     Tujuan Orientalisme

Di awal abad ke-13 Hijriyah atau akhir abad ke-18 Masehi, para Orientalis mengubah taktik mereka dalam mencapai misi-misinya. Yaitu menjadikan Orientalisme sebagai tujuan murni penelitian dan kebutuhan akademis. Sebelumnya Orientalisme dan Misionarisme adalah dua pekerjaan yang memiliki satu tujuan. Untuk merubah tujuannya itu mereka mendirikan pusat-pusat studi ketimuran di berbagai ibu kota negara Eropa, Dari pusat-pusat itu lahir jurusan khusus yang mempelajari bahasa Arab dan beberapa bahasa-bahasa negeri Islam semisal bahasa Persia, Turki dan Urdu.

Adapun Tujuan yang ingin mereka wujudkan diantaranya adalah: (1).Membuat keraguan terhadap keabsahan al-Quran sebagai firman Allah, Para Orientalis mengatakan tentang humanismenya al-Quran sehingga mereka berkesimpulan bahwa ia bukan besumber dari Allah. (2).Membuat keraguan terhadap kebenaran ajaran nabi Muhammad, Upaya peraguan yang mereka lakukan mencakup masalah keabsahan hadist-hadist Nabi Muhammad. (3).Membuat keraguan terhadap urgensi bahasa Arab sebagai bahasa yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

(4).Membuat keraguan terhadap nilai fikih Islami yang asasi. (5).Membuat keraguan terhadap nilai peninggalan kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh cendikiawan muslim. (6) Melemahkan jiwa ukhuwah Islamiyah antara sesama umat Islam diberbagai Negara.[2]

D.     Kritik Orientalis Terhadap Proses Pengumpulan dan Penyusunan al-Quran

Pengumpulan al-Quran pada zaman Rasulullah para orientalis sering menekankan bahawa pengumpulan al-Quran tidak pernah berlaku di zaman Rasulullah. Penekanan ini seakan bertujuan menimbulkan idea bahawa pengumpulan dan susunan al-Quran sebenarnya adalah inovasi para sahabat yang berkemungkinan melakukan kesalahan. Dalam perkara ini John Gilchrist, memulakan penulisan beliau dengan menyatakan bahawa pengumpulan al-Quran tidak berlaku di zaman Rasulullah. Gilchrist bagaimanapun mengakui bahawa Nabi terlibat dalam penyusunan sesuatu ayat dengan mengarahkan sahabat supaya meletakkan sesuatu ayat ditempat yang ditentukan Nabi.[3]

 Penulisan dan pengumpulan al-Quran pada zaman Abu Bakar, Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari bahawa idea untuk melaksanakan proses pengumpulan al-Quran tercetus ketika banyaknya para penghafal al-Quran yang gugur dalam perang Yamamah. Kemudian Umar menbicarakan hal ini kepada Abu Bakar supaya mengumpulkan dan menulis al-Quran, Pada mulanya Abu Bakar keberatan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun akhirnya Abu Bakar setuju dan beliau mengutus Zayd ibn Thabit untuk memimpin proses pengumpulan tersebut. Dalam menjelaskan proses pengumpulan ini, terdapat banyak riwayat yang dinukilkan. Disinilah bermulanya kritikan terhadap al-Quran apabila kumpulan Orientalis curiga terhadap beberapa perkara yang telah dikatakan oleh para ilmuan Muslim, diantaranya yakni hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari ini:

 …lalu saya berusaha mencari ayat-ayat Quran itu dan saya kumpulkan dari (tulisan-tulisan) pada pelepah kurma, kertas dan batu, dan dari hafalan beberapa sahabat. Sehinggalah saya dapati dua ayat dari Surat al-Taubah yang saya tidak temui melainkan bersama Khuzaymah al-Ansari (sebahagian riwayat menyebut Abu Khuzaymah). Ayat tersebut yang berbunyi: "Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari bangsa kamu juga sampai akhir ayat, saya dapat dari Khuzaimah. (HR. al-Bukhari).

 Daripada Kharijah ibn Zayd, sesungguhnya Zayd ibn Thabit berkata: Aku menulis lembaran-lembaran di dalam Mushaf, aku kehilangan satu ayat daripada surah al-Ahzab yang aku pernah dengar Rasulullah membacanya. Aku tidak menjumpainya melainkan dengan Khuzaymah ibn Thabit al-Ansari, yang mana Rasulullah telah menjadikan penyaksian (Khuzaymah) seperti penyaksian dua orang lelaki. Ayat tersebut adalah من المؤمنين رجال (HR. Bukhari).

 Menurut kedua hadis ini, dua ayat terakhir dari surah al-Tawbah dan satu ayat dari surah al-Ahzab telah hilang dan tidak dijumpa bersama sahabat lain. Sekiranya Zayd tidak menjumpainya, ada kemungkinan ayat ini akan hilang, dalam hadis kedua jelas menunjukkan bahawa Zayd kehilangan ayat tersebut kerana lafaz yang digunakan adalah (faqadtu: aku kehilangan).

 

 Gilchrist menegaskan bahawa daripada riwayat al-Bukhari ini jelas menunjukkan bahawa Zayd hanya bergantung pada simpanan Khuzaimah (atau Abu Khuzaymah) sahaja. Ini menafikan sifat mutawatir al-Quran itu sendiri.

 

Pada hakikatnya isu ‘kehilangan’ ayat al-Quran ini telah dibahaskan oleh para ilmuan Muslim. Penelitian terhadap dua riwayat ini seharusnya tidak menimbulkan keraguan. Secara umumnya, al-Quran telah pun dihafal oleh banyak sahabat. Ayat-ayat tersebut telah tersemat di dada mereka. Apa yang tidak dijumpai oleh Zayd di dalam riwayat ini adalah ayat-ayat tersebut dalam bentuk penulisan.

 

Para orientalis juga memberikan perhatian terhadap nas-nas yang menunjukkan seolah ada ayat yang telah hilang atau tidak dimasukkan oleh pengumpul wahyu ketika proses pengumpulan berlangsung di zaman Saidina Uthman.

E.     Tokoh-tokoh Orientalis

Terdapat beberapa tokoh orientalis yakni:

1.        Christian Snouck Hurgronje (1857- 1936) Christian berasal dari Belanda, di sekolah menengah selama 5 tahun di Breda, ia masuk di fakultas Theology Universitas Leiden. Setelah itu ia masuk ke jurusan sastra dengan gelar doktor dengan promosi ‘cum laude’ pada 24 November 1880. Karyanya yang berjudul ‘De Atjehers’ (Penduduk Aceh) dalam 2 jilid pada tahun 1893-1894. Dalam buku disertasinya ‘Het Mekka Anche Feest’ dia menerangkan arti haji dalam Islam, asal-usulnya, dan tradisi yang ada di dalamnya. Kemudian mengakhiri tulisannya dengan kesimpulan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab jahiliyah.


2.         Harry St. John Philby (1885-1960) Ia adalah seorang orientalis berkebangsaan Inggris yang mempunyai jiwa imperialisme sangat menonjol dan membenci Islam, sehingga dipandang banyak berjasa kepada pemerintah kolonial Inggris. Dia dilahirkan di Srilangka, dan ia lulus dari Universitas Oxford pada jurusan bahasa-bahasa Timur pada tahun 1908. Philby kemudian mendapatkan tugas untuk menerbitkan harian ‘Jaridatu Arab’ (Arab News)di Bagdad tahun (1917). Karyanya yaitu Arabian Days terbitan tahun 1948.

 

3.        Evariste Leri Provencal (1894-1956) Ia adalah seorang orientalis Prancis berdarah Yahudi, yang berjiwa imperialis, dan berprofesi seorang guru besar. Dia lahir dari sebuah keluarga Yahudi di Aljier ibu kota Aljazair, Afrika Utara, ia tumbuh dalam lingkungan Yahudi dan belajar di Universitas Aljier. Karya-karya yang ditulis yaitu ‘Sejarah Spanyol Islam’ pada tahun 1953.

 


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pengkajian Orientalisme sangat kompleks (ketimuran, khususnya Islam) yang dilatarbelakangi oleh motif-motif keagamaan, keilmuan, ekonomi dan politik. Para peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban islam dengan tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya.

Pembahasan tentang asal mula Orientalisme, sebenarnya masih diperselisihkan oleh para peneliti sejarah Orientalisme. Dan tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa pertama yang mempelajari tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencatat kapan terjadinya. Mayoritas berpendapat, menurut Dr. Hasan Abdur Rauf bahwa Orientalisme dimulai dari Andalusia (Spanyol) di abad ke-7 H, ketika tekanan Kristen Spanyol kepada masyarakat Islam di sana memuncak.

B.     Saran

Kami sebagai penulis menyadari akan banyaknya kesalahan dalam karya penulisan ini. Tentunya, kami akan terus mencoba menperbaiki karya penulisan ini dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, oleh karna itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan peenulisan karya ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bahar, Muhammad. “Orientalis dan Orientalisme dalam Prespektif Sejarah” Universitas Hasanuddin, Jurnal Ilmu Budaya, 2016.

Sanusi Azmi, Ahmad. “Kritikan Orientalis Terhadap al-Quran dan Sunnah” 2017.

 



[1] Muhammad Bahar “Orientalis dan Orientalisme dalam Prespektif sejarah” Universitas Hasanuddin, hlm.51.

[2] Muhammad Bahar “Orientalis dan Orientalisme dalam Prespektif Sejarah” Universitas Hasanuddin, hlm.59.

[3] Ahmad Sanusi Azmi “Kritikan Orientalis Terhadap al-Quran dan Sunnah” 2017.