Oleh
Sayyid Abdul Wahhab As Sya'rani
Wacana 1 : Taubat Secara Benar
Wacana 2 : Meninggalkan Perkara Mubah
Wacana 4 : Tidak menyakiti Orang Lain
Wacana 5 : Menjaga Dari Makanan Tidak Halal
Wacana 7 : Tidak Curang Dalam Pekerjaan
Wacana 10 : Tidak Banyak Bicara
Wacana 11 : Tidak Meninggalkan Shalat Malam
Wacana 12 : Mengistiqomahkan Shalat Jamaah
Wacana 13 : Tidak Berlaku Zalim
Wacana 14 : Memperbanyak Istighfar
Wacana 15 : Mempunyai Rasa Malu dan Tata Krama
Wacana 16 : Tidak Melupakan Dzikir
Wacana 17 : Tata Aturan berdzikir
BERTAUBAT SECARA BENAR
Taubat, secara etimologis, adalah meninggalkan, yakni meninggalkan perbuatan- perbuatan yang terlarang untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan yang terpuji, menurut syariat. Taubat mempunyai tahapan-tahapan. Tahap pertama, seseorang harus bertaubat dari --melakukan-- dosa-dosa besar, kemudian bertaubat dari dosa kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang kurang baik. Selanjutnya, secara berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya adalah orang baik, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat, dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai Allah. Puncaknya, seseorang bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat) kepada Allah, walau sekejap. Cara taubat, pada dasarnya, cukup dengan menyesali dan mengakui dosa dosa yang dilakukan. Ini seperti yang terjadi dengan taubat nabi Adam ketika ia terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang.
Adapun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak mengulangi lagi, penyataan itu adalah hasil ijtihad.ii Sebab, orang yang benarbenar menyesal tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan Tuhan akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesame manusia. Untuk yang disebut terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama orang yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena taubat adalah sesuatu yang sangat penting. Taubat adalah pondasi dari segala perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti orang yang membangun rumah megah diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah hancur. Sebaliknya, siapa yang benar taubatnya berarti kuat pondasinya. Karena itu, sebagian ulama menyatakan, “Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari segala yang merusak kesucian amalnya”.
Demikianlah, taubat mempunyai kedudukan dan pengaruh yang sangat besar bagi amal- amal manusia selanjutnya. Ia sebanding dengan zuhud yang akan menjaga manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya kepada Allah. karena itu, bila seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru akan menjatuhkan dan menghancurkan maqam (kedudukannya disisi Allah) yang lain.
Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti bangunan rumah dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen. Muhammad ibn Inan menyatakan, siapa yang benar cara taubatnya maka itu akan bisa meningkatkan kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang tidak benar cara taubatnya, maka semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan mampu menjaga keinginan-keinginan nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu menjaga pikiran-pikiran kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan lurus. Firman-Nya.
“Tetaplah kamu pada jalan yang benar --dalam bertaubat-- sebagaimana yang diperintahkan, dan orang-orang yang bertaubat bersamamu” (QS. Hud, 112). Ali al- Khawash juga menyatakan, siapa yang benar dan sungguh-sungguh melakukan taubat dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan perbuatannya menjadi baik. Karena itu, seseorang yang ingin menggapai kedudukan tinggi disisi Tuhan, hendaknya selalu meneliti dirinya; apakah ia telah melakukan hukum-hukum Tuhan? Apakah anggota badannya; mata, kaki, tangan dan lisannya telah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan Allah? Bila mendapati dirinya telah melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila mendapati dirinya masih berlumuran dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan menyesalinya kemudian bersyukur kepada Allah bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan Allah belum memberikan adzab atau penyakit. Sebab, badan yang melakukan maksiat berhak menerima siksaaan.
Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus meninggalkan pengaruh dunia. Allah swt sendiri tidak pernah memperhatikan dunia sejak penciptaannya, karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan, “Cinta harta dan kedudukan mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana air mudah menumbuhkan sayur-sayuran”.
Imam al-Tsaury menyatakan, seandainya seseorang beribadah dengan menjalankan semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta pada dunia, maka di akherat kelak akan di umumkan, “Inilah fulan yang sewaktu di dunia mencintai sesuatu yang tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman itu, wajahnya seakan terkelupas saking malunya.
Yang dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan sarana harta dunia secara berlebihan; melebihi ketentuan syareat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin pernah menyatakan, seandainya kalian “mensucikan” seseorang sehingga menjadikannya sebagai al-shiddiq, tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik cinta dunia, maka Allah tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan disisi Tuhan. Bagaimana jika harta yang ada tersebut dipersiapkan untuk member nafkah pada keluarga dan familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan ahli tarikat rusak adalah karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah terhadap keluarga dan famili, sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi, hati yang telah kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia dengan Tuhan.
Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili menyatakan, seorang murid (orang yang menempuh jalan Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala belum benar-benar mencintai Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya selama ia belum bisa meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung seberapa besar seseorang mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus meninggalkan dan mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk tarikat, yaitu ketika berbaiat kepada guru pembimbing (mursyid), seseorang harus benar-benar telah mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu jika dalam hatinya masih bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar. Karena itu, dalam tarikat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada murid haruslah sikap zuhud. Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa membangun sesuatu di akherat. Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa yang menghendaki akherat, ia harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah, ia harus zuhud akherat. Siapa yang dalam hatinya masih ada cinta dunia; kedudukan, perkawinan, pakaian, makanan dan sebagainya, ia bukanlah pecinta akherat. Ia masih mengikuti nafsunya”. Sejalan dengan itu, Abu Abdullah al-Maghribi menyatakan, orang fakir yang tidak banyak melakukan amal masih lebih baik daripada ahli ibadah tetapi bergelimang harta. Amal yang sedikit dari orang fakir yang tidak tersibukkan dunia— bahkan lebih baik daripada amal yang menggunung dari seseorang yang hatinya sibuk memikirkan dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan, ibadah yang disertai cinta dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan banyak padahal sedikit. Ia hanya tampak banyak menurut orang yang melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagai raga tanpa nyawa, kosong tanpa isi.
Karena itu, banyak kita saksikan orang yang berpuasa, shalat malam dan haji, tetapi tidak pernah merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud dalam hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud adalah mengosongkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia. Namun, hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan tangannya dari menguasai harta. Sebab, Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah melarang umatnya melakukan transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun dilarang untuk melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, sebagian sahabat dan tabiin memang banyak yang meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan dan kemewahan dunia. Hal itu dimaksudkan agar orang kebanyakan (awam) mau dan bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir, dengan kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, orang awam yang tidak mengerti akan terjebak dalam masalah dunia ini; menjadi lupa terhadap Tuhan, ketika mengikuti laku para shahabat.
Sesungguhnya, orang yang sempurna (insân al-kâmil) tidak akan tersibukkan oleh apapun kecuali Allah, walau bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam.
Karena itu, hati-hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan dianut masyarakat tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus diperingatkan.
Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari harta halal. Bila dari harta haram, maka ia harus “disingkirkan”. Dengan demikian, zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya, ia tidak bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan duniawi sehingga lupa pada Tuhan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar