MENINGGALKAN PERKARA MUBAH (seri terjemah kitab minahus saniyah)

Wacana 2
MENINGGALKAN PERKARA MUBAH


          Ali al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid tidak akan bisa mencapai maqam tinggi, hingga ia mampu meninggalkan perkara mubah untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah.
       Perbuatan mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya adalah diciptakan hanya sebagai "selingan" atau tempat istirahat bagi manusia, setelah melakukan beban berat yang diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan, pada diri manusia memang ada rasa bosan. Bila tidak, Allah tidak akan memberikan hokum mubah pada manusia; sebagaimana malaikat yang tidak kenal bosan. Mereka selalu bertasbih kepada Allah, tanpa rasa bosan). Karena itu, para ulama menyatakan, orang yang menggunakan rukhshoh (keringanan hukum yang diperbolehkan; perkara mubah), tidak akan mendapatkan apa-apa dalam jalan thoriqot. Dalam thoriqot, para guru pembimbing biasanya menuntut para muridnya untuk sedapat mungkin meninggalkan perkara mubah. Minimal mengurangi, untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kedudukannya disisi Allah. Bila seseorang tidak menemukan bentuk ketaatan sebagai pengganti mubah, maka dalam perbuatan mubah tersebut; seperti makan dan minum, harus diniatkan untuk sesuatu yang baik. Misalnya, makan agar kuat ibadah dan bercakap-cakap untuk menghilangkan kemasaman muka terhadap teman.
        Para guru juga menuntut para murid, untuk tidak tidur kecuali setelah sangat kantuk, tidak makan kecuali setelah sangat lapar, tidak berbicara kecuali ada kebutuhan, dan lain-lain. Ini dimaksudkan, agar murid mendapat pahala dari semua perbuatannya.
        Selain itu, para guru juga menuntut para murid agar tidak sampai mimpi basah karena pikiran-pikiran yang muncul sebelumnya, tidak menselonjorkan kaki, tidak istirahat kecuali pada saat sangat lelah dan tidak makan makanan yang disenangi walau itu diperbolehkan. Sebab, semua itu bisa menghalangi seseorang untuk naik pada kedudukan yang lebih tinggi. Dalam kitab Zabur difirmankan; "Hai Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi. Sesungguhnya, hati yang dikendalikan kesenangan (syahwat) menghalangi hubungannya dengan Aku". Bila makan makanan yang disenangi bisa menolak seseorang dari Hadlirat Ilahy, maka begitu pula dengan menselonjorkan kedua kaki tanpa ada kebutuhan yang sangat. Keduanya termasuk suul-adab (tidak baik).
        Ali Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai maqom siddiq kecuali dengan menambah pengagungannya dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib, meninggalkan makruh sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram sebagaimana kekufuran. Setelah itu, meniatkan semua perbuatan mubahnya untuk kebaikan, sehingga mendapat pahala. Misalnya, tidur siang dengan niat agar kuat sholat malam, makan makanan yang enak untuuk mengobati keinginan nafsu ketika sulit diajak ibadah, menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan nikmat Allah dan lain-lain. Jadi bukan untuk bersombong- sombong. Sejalan dengan itu, Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada para muridnya; "Makan dan minumlah kalian dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas kasur yang empuk. Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai, kalian mengucapkan "Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruh anggota badan”. Ini berbeda bila kalian makan dari makanan roti kasar, minum air asin, tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian dengan pakaian murahan. Saat mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih ada rasa 'protes' dan mengerutu. Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu adalah lebih besar dosanya daripada bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Sebab, bersenang-senang berarti masih dalam batas melakukan sesuatu yang diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti melakukan sesuatu yang dilarang".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar