Wacana 7
TIDAK CURANG DALAM PEKERJAAN
Menipu atau berlaku curang dalam pekerjaan adalah perbuatan yang sangat dicela oleh agama. Diriwayatkan, suatu ketika Rasul pergi ke pasar dan dijumpainya disana setumpuk makanan. Rasul memasukkan tangannya dalam makanan tersebut, dan ternyata didalamnya basah. "Mengapa ini?", tanya Rasul kepada si penjual. "Wahai Rasul, makanan itu tadi terkena hujan", jawab si pemilik makanan. "Mengapa makanan yang basah tidak kamu taruh diatas sehingga orang-orang bisa tahu". Rasulullah selanjutnya bersabda, "Siapa yang menipu (berlaku curang), bukan termasuk golonganku".
Setiap manusia, pada dasarnya, sadar akan apa yang ia lakukan; apakah dia telah berlaku jujur atau curang. Allah menjadikan manusia terpercaya atas dirinya sendiri. Bila menipu, berarti menghianati agamanya, dirinya sendiri dan masyarakatnya. Para ulama menyatakan, siapa yang berlaku baik dalam pekerjaannya, Allah berikan berkah dalam usahanya. Sedemikian, sehingga tanpa disadari, ia menjadi orang yang berkecukupan. Sebaliknya, siapa yang menipu, niscaya terbuka kejelekannya. Ia segera menjadi buah bibir masyarakat. Sesungguhnya, Allah menjadikan kemiskinan dalam penipuan dan menjadikan berkah dalam ketelitian dan kejujuran.
Sejak awal, para guru pembimbing thoriqot senantiasa menekankan agar para murid berlaku jujur dalam pekerjaannya. Bahkan, para guru dari kalangan Syadziliyah sangat menekankan soal pekerjaan ini. Abu Hasan As-Syadzili, tokoh dan pemimpin thoriqot Syadzili mengatakan, "Siapa yang bekerja keras dan tetap teguh dalam menjalankan perintah Allah, ia berarti telah sempurna mujahadahnya". Sedang Abu Al-Abbas Al-Mursi berkata; "Bekerjalah. Jadikan alat tenunmu sebagai tasbih. Jadikan kapakmu sebagai tasbih. Jadikan jahitmu sebagai tasbih dan jadikan pula perjalananmu sebagai tasbih". Bekerja adalah sesuatu yang wajib) sebagaimana sholat, puasa, haji dan lain sebagainya. Ia termasuk bagian dan pendukung kekuatan iman.
Laki-laki yang tidak bekerja adalah sama seperti perempuan. Rasul sendiri membawa risalah bukan dengan memerintahkan para shahabat meninggalkan pekerjaannya. Sebaliknya, Rasul tetap memerintahkan mereka aktif pada apa yang telah dilakukan. Rasul hanya memerintahkan mereka berbuat baik dan jujur dalam pekerjaannya. Karena itu, untuk menempuh jalan menuju Tuhan, guru pembimbing yang sempurna adalah guru yang tetap menganjurkan para muridnya bekerja. Bukan guru yang melarang muridnya bekerja untuk kemudian membimbing mereka menuju Tuhan. Sesungguhnya, pekerjaan yang diperbolehkan agama tidak akan menghalangi seseorang untuk masuk dalam Hadlirat Ilahy. Berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang. Bekerja sangat penting untuk menjaga keimanan, kehormatan dan kemandirian. Sedemikian, sehingga orang mukmin yang bekerja adalah lebih baik daripada guru thoriqot yang tidak mempunyai pekerjaan, yang makanannya hanya mengharap dari pemberian sedekah dan penyaluran zakat masyarakat. Orang yang bekerja mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding mereka yang tidak bekerja. Pertama, ia makan dari hasil usahanya sendiri secara halal dan suci, bukan dari sedekah atau zakat yang semua itu pada hakekatnya adalah harta kotor. Kedua, ia terhindar dari anggapan bahwa dirinya adalah orang yang berilmu, sehingga tidak akan muncul sikap sombong dan menganggap remeh orang lain. Ketiga, orang yang bekerja akan terselamatkan dari ketidakjelasan tentang sifat Allah, Rasul dan hukum-hukum-Nya. Keempat, bila terjerumus dalam maksiat, ia akan mudah sadar dan mengerti, dan tidak meremehkan kesalahan dengan jalan bahwa hal itu bisa dihapuskan dengan istighfar. Demikianlah diantara kelebihan-kelebihan orang yang bekerja). Bahkan, Ali Al-Khowash pernah menyatakan, orang yang makan dari hasil usahanya sendiri, walau dari pekerjaan yang makruh, adalah masih lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang makan dengan mengharap pemberian dari orang lain. Akan tetapi, perlu diingat, sebuah pekerjaan yang dilakukan untuk menumpuk-numpuk harta dan demi kesombongan juga sangat dicela.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, "Siapa yang mencari harta secara halal, dengan maksud menumpuk-numpuknya dan untuk kesombongan, Tuhan akan menemuinya di akherat kelak dengan kemurkaan-Nya" (Hadits). Imam Syafii menyatakan, mencari kelebihan dari perkara halal adalah siksaan sebagaimana yang pernah diberikan Tuhan kepada para ahli tauhid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar