HALAL-HARAM DALAM
MAKANAN
ü HUKUM PERTAMA
Apakah yang
diharamkan hanya sebatas memakanya ataukah memanfaatkanya?
Dalam
ayat ini, kata haram disandingkan pada zat bangkai dan darah. Para ulama fiqih
berbeda pendapat, apakah yang diharamkan hanya sebatas memakanya saja atau juga
termasuk memanfaatkanya. Sebab, ketika diharamkan memakanya maka hukum yang
sama juga berlaku ketika memanfaatkanya dengan segala bentuk cara, kecuali jika
ada dalil yang memperbolehkanya. Sebagian ulama berpendapat yang diharamkan
hanya sebatas memakanya. Hal ini berdasarkan firman Allah: “Makanlah dari
sebaik-baik rezeki yang kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 172). “Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakanya) sedang ia tidak
meginginkanya...”(QS. Al-Baqarah [2]: 173)
Al-Jashash
berpendapat, bentuk haram yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala bentuk
upaya memanfaatkanya. Dengan begitu tidak diperbolehkan memanfaatkan bangkai
untuk memberi makanan anjing dan binatang-binatang buas yang lain, karena hal
itu termasuk dalam kategori memanfaatkanya, padahal Allah mengharamkan bangkai
secara mutlak yang disandarkan pada dzat bangkai itu sendiri. Dengan demikian
tidak diperbolehkan memanfaatkan apa saja yang berasal dari bangkai itu kecuali
jika ada dalil yang menjelaskan hal itu dan wajib kita terima.
ü HUKUM KE-2
Apa hukum
bangkai belalang dan ikan?
Dalam
ayat ini disebutkan haramnya bangkai, darah, daging babi dan apa saja yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Yang dimaksud maitah adalah
binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuhnya atau
terbunuh tanpa disembelih, dengan cara yang sesuai dengan syariat. Sedangkan
pada masa jahiliyah penduduk Arab memperbolehkan memakan bangkai. Setelah
diharamkan oleh Allah mereka memperdebatkanya kepada orang-orang islam dan
berkata: “Kalian tidak boleh memakan apa yang dibunuh oleh Allah, dan kalian
hanya boleh memakan apa yang disembelih dengan tangan kalian sendiri.” Kemudian
turunlah ayat, “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawanya agar
mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kaumu tentu
menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]: 121)
Hukum bangkai adalah haram
berdasarkan ketetapan nash yang qathi’, tetapi ada beberapa hadis yang
mentakhsisnya, diantaranya:
Pertama dan
kedua sabda Rasulullah:
احلّت لنا ميتتان ودمان, السمك والجراد والكبد والطّحال
“Dihalalkan untuk
kita dua bangkai dan dua macam darah, yaitu bangkai ikan dan belalang, hati dan
limpa.”
هو الطّهور ما ؤه الحل متته
“Laut itu suci
airnya dan halal bangkainya.”
Ketiga,
diriwayatkan dalam dua kitab shahih dari Jabir bin Abdullah, bahwasanya ia
pernah keluar bersama Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengendarai seekor unta
milik orang Quraisy dan kami membawa bekal sekantong kurma. Lantas kami
berangkat kepantai, lalu kami melihat benda seperti bukit pasir yang besar,
kemudian kami mendekatinya. Dan ternyata benda tersebut adalah seekor ikan yang
biasa disebut Anbar yaitu ikan yang berbadan besar dan berkepala lebar. Abu
Ubaidah berkata: itu bangkai! Namun ia berkata lagi: kita adalah utusan
Rasulullah, sedang kalian dalam keadaan terpaksa, maka silahkan dimakan. Jabir
berkata: kemudian kami menginap ditempat itu selama sebulan sampai badan kami
gemuk. Lantas ia melanjutkan hadis ini, lalu berkata: setelah kami tiba di
Madinah kami menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang kami alami.
Kemudian Beliau bersabda: “Itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadamu,
apakah kamu masih menyimpan sedikit dagingnya untuk kami makan?” Jabir
berkata: kemudian kami memberikanya daging tersebut kepada Rasulullah, lalu
Beliau memakanya.
Keempat,
Hadis Abi Aufa: “kami pernah berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh
kali, dan saat itu kami makan belalang.”
Mayoritas
ulama mengkhususkan ayat tersebut dengan bangkai laut berdasarkan hadis-hadis
yang telah disebutkan diatas, sebagaimana mereka juga menghalalkan makan
bangkai belalang. Hanya golongan madzhab Hanafi yang mengharamkan bangkai ikan
yang mengapung dan menghalalkan ikan yang mati dilaut karena terdapat hadis
yang meredaksikan yaitu:
ما ألقى
البحر او جزر عنه فكلوه وما مات فيه وطفا فلا تأكلوه
“Apa yang dilemparkan
oleh laut atau mati didalamnya, maka makanlah, sedang apa yang mati didalam
laut dan mengapung, maka janganlah kalian memakanya.”
Adapun
madzhab imam Malik hanya menghalalkan bangkai ikan dan tidak menghalalkan
bangkai belalang (karena ia sama dengan bangkai yang lain), dalam pandangan
mereka halalnya bangkai belalang tidak memiliki dasar yang jelas.
Al-Qurtubi
memaparkan, sebagian dasar ulama fiqih menghalalkan semua binatang laut, baik
yang hidup maupun yang sudah menjadi bangkai. Pendapat ini menurut pandangan
madzhab Maliki, tetapi imam Malik tidak menjawab ketika ditanya tentang babi
laut, ia hanya berkata: “Kamu menyebut babi”, Ibn al-Qasim berkata: “Aku
berusaha untuk tidak memakanya, tetapi aku tidak berkata bahwa ia haram.”
ü HUKUM KE-3
Bagaimana
hukum janin yang terdapat dalam perut, sementara induknya sudah disembelih?
Para
ulama berbeda pendapat tentang janin yang sudah mati sedang induknya sudah
disembelih, apakah boleh dimakan atau tidak?. Abu Hanifah berpendapat tidak
boleh dimakan, kecuali jika janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian
disembelih juga, sebab janin yang mati dalam perut sudah menjadi bangkai,
sementara Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai...” (QS. Al-Baqarah [2]: 173)
Imam
Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa janin boleh dimakan, karena
ia dihukumi sama dengan induknya yang sudah disembelih, mereka berpijak pada
hadis Rasulullah yang berbunyi:
ذكاة
الجنين ذكاة أمّيه
“Sembelihan
janin itu (cukup dengan) penyembelihan induknya”
Imam
Malik berkata: “Kalau kondisi janin sudah sempurna kejadianya dan bulu-bulunya
sudah tumbuh, maka boleh dimakan, namun jika tidak demikian, maka tidak boleh.”
Al-Qurthubi berkata: “Apabila janin keluar dalam kondisi sudah mati setelah
induknya disembelih, maka boleh dimakan, karena posisinya sebagai salah satu
anggota badan induknya. Ulama yang sependapat dengan Abu Hanifah berkata: “Hadis ini juga memiliki tafsiran yang lain,
yaitu bahwa sembelihan janin itu adalah seperti sembelihan induknya.”
ü
HUKUM KE-4
Apakah diperbolehkan memanfaatkan bangkai selain
dimakan?
Atha’ berpendapat bahwa
memanfaatkan gajih dan kulitnya bangkai hukumnya boleh, seperti untuk meminyaki
perahu dan kulitnya disamak. Sebagai landasanya adalah, bahwa yang diharamkan
dalam ayat tersebut hanya sebatas memakanya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam
firman Allah “Sesuatu yang diharamkan bagi yang hendak memakanya.” (QS.
Al-An’am [6]: 145)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
memanfaatkan bangkai hukumnya haram. Sebagai landasanya adalah firman Allah
“Diharamkan bagimu bangkai” maksudnya yaitu memanfaatkanya baik untuk dimakan
ataupun yang lain, dan sabda Rasulullah yang berbunyi:
لعن الله
اليهود حرّمت عليهم الشّحوم فجملوها فباعوها وأكلوا أثمانها
“Semoga Allah
melaknat orang-orang yahudi, yang diharamkan bagi mereka gajih, tetapi mereka
memasaknya lalu menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualanya).”
Hadis
ini memiliki pengertian, manakala Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia
mengharamkan pula harganya, dengan begitu tidak diperbolehkan menjual dan
memanfaatkan (bagian apapun) dari bangkai kecuali ada nash yang
mengecualikanya.
ü HUKUM KE-5
Bagaimana hukum darah yang masih menempel pada urat dan
daging?
Para ulama sepakat bahwa hukum darah adalah
haram dan najis, tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan. Allah menyebut darah
dalam ayat tersebut secara mutlak yang juga dikuatkan dengan firman-Nya: “Atau
darah yang mengalir” (QS. Al-An’am [6]: 145) ulama berpatokan pada ayat yang
sifatnya mutlak pada yang muqayyad, sehingga mereka tidak menyatakan
haram melainkan darah yang mengalir. Dalam hadis yang bersumber dari Aisyah
bahwasanya ia berkata: “Seandainya Allah tidak berfirman, ‘atau darah yang
mengalir’ tentu manusia membawa-bawa darah yang ada pada urat-urat.”
Sehingga apa yang telah bercampur dengan
daging tidak dianggap haram menurut ijma’ para ulama. Demikian juga dengan hati
dan limpa, meskipun keduanya termasuk bagian dari jenis darah.
Al-Qurthubi berpendapat, darah adalah
haram selama tidak bercamupr dengan daging dan urat-urat. Aisyah pernah berkata
“Pada masa Rasulullah kami pernah memasak (daging) dalam kuali, dan ketika itu
mendidih (tampak warna) kekunig-kuningan dari warna darah, kemudian kami
memakanya dan kami juga tidak mengingkarinya.”
ü HUKUM KE-6
Bagian manakah yang diharamkan pada babi?
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
yang diharamkan adalah daging babi, sebagian golongan Zahiriyah berpendapat
bahwa yang diharamkan itu hanya pada dagingnya saja, tidak termasuk gajihnya,
karena Allah berfirman “Dan daging babi.” Sedang mayoritas ulama berpendapat
bahwa gajihnya juga haram karena daging itu meliputi gajih, Inilah pendapat
yang benar. Adapun Allah menyebut “daging” secara khusus untuk
menunjukkan bahwa yang diharamkan itu dzatiyah babi itu sendiri, baik
disembelih sesuai dengan syariat atau tidak.
Berkaitan dengan memanfaatkan bulu babi,
para ulama fiqih berbeda pendapat, imam Hanifah dan imam Malik berpendapat
boleh, sementara imam Syafi’i tidak memperkenakanya, sedang Abu Yusuf
mengatakan makruh.
Al-Quurthubi berkata tidak diperselisihkan
lagi bahwa seluruh anggota badan babi adalah haram kecuali bulunya yang boleh
dimanfaatkan oleh tukang jahit kulit, sebab cara seperti itu telah berlangsung
sejak zaman Rasulullah dan sesudahnya, sedang kami tidak mendapati Beliau
mengingkarinya, begitu juga dengan ulama sesudahnya.
Para ulama masih berselisih tentang
haramnya babi laut, imam Hanifah berpendapat tidak boleh dimakan karena melihat
keumuman ayat, sedang imam Malik, imam Syafi’i dan al-Auza’i tidak mengapa
memakan apapun yang ada dilaut. Untuk menelaah lebih jauh perincian dalil-dalil
mereka dapat dilihat dalam kitab-kitab fiqih.
ü HUKUM KE-7
Sejauh manakah orang yang dalam kondisi terpaksa
diperbolehkan memakan bangkai?
Para ulama masih berbeda pendapat
terkait dengan orang yang dalam keadaan terpaksa, apakah ia boleh makan bangkai
sampai kenyang atau hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar saja?
Imam Malik berpendapat boleh makan
sampai kenyag sebab keadaan terpaksa telah menghilangkan keharaman, sehingga
hukum bangkai menjadi halal (baginya). Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh
memakan hingga kenyang karena dibolehkanya dalam keadaan terpaksa, dengan
begitu harus diukur dengan kadar kebutuhanya saja.
Yang menjadi sebab timbulnya perbedaan
pendapat ini adalah firman Allah “Sedang ia tidak menginginkanya dan tidak
melampaui batas” (QS. Al-Baqarah [2]: 173). Dari sini mayoritas ulama
menafsirkan ghaira ‘adin “tidak menginginkan memakan bangkai tanpa didesak
dengan kondisi” dan wa la ‘adin “tidak melampaui batas dengan keadaan
terpaksa.” Imam Malik menafsirkan sebagai berikut: “Tidak durhaka dan
memusuhi Imam”. Itulah beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama
beserta alasan-alasanya, Wallahu a’lam.
ü KESIMPULAN
1.
Orang-orang yang beriman
diperbolehkan memakan makanan yang baik-baik selama didapat dari usaha yang
diperbolehkan syariat.
2.
Begitu banyak nikmat Allah
yang sudah dilimpahkan sehingga tidak mampu lagi untuk menghitungnya, untuk itu
wajib bagi orang-orang yang beriman untuk mensyukuri nikmat tersebut.
3.
Ikhlas dalam melaksanakan
ibadah kepada Allah menjadi karakteristik orang mukmin yang benar.
4.
Allah mengharamkan bagi
hamba-Nya segala hal yang buruk dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang
baik.
5.
Orang yang dalam kondisi
terpaksa diperbolehkan memakan sesuatu yang diharamkan Allah, seperti bangkai
dan yang lainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar