BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hubungan Timur (khususnya Islam) dan Barat merupakan suatu hal yang
tak pernah lepas dari kajian orientalisme. Dan pada dasarnya dapat dikatakan
bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami Timur (mayoritas
adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang tidak berimbang,
cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Politik penjajahan yang dilakukan Barat
sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang dunia Timur,
khususnya Islam, dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat ketimuran
atau oriental society, maka dapat dikatakan dengan jelas sekali bahwa
orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan
sosial masyarakat Timur khususnya Bangsa Arab.
Membincangkan masalah orientalisme Islam sudah tentu yang menjadi
bidikan utama para kaum orientalis adalah kajian terhadap al-Qur’an. Sebagai
Kitab Suci yang diyakini otentisitasnya di kalangan umat Muslim, Babak awal
lahirnya orientalisme bersamaan dengan terjadinya ekspansi kaum Muslimin ke beberapa
wilayah Eropa melalui penaklukan Islam ke Andalusia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah Pengertian Orientalisme?
2.
Bagaimana Sejarah Orientalisme?
3.
Apa Tujuan Orientalisme?
4.
Bagaimana Kritik Orientalisme Terhadap al-Quran?
5.
Siapasaja Tokoh-Tokoh Orientalisme?
C. Tujuan
pembahsan
1.
Mengetahui
Dan Memahami Pengertian Orientalisme.
2.
Mengetahui
Dan Memahami Sejarah Orientalisme.
3.
Mengetahui
Dan Memehami Tujuan Orientalisme.
4.
Mengetahui
Dan Memahami Kritik Oriantalisme Terhadap Al-Quran.
5.
Mengetahui
Tokoh-Tokoh Orientalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalisme
Kata orientalisme berasal dari kata orient yang berarti
timur, sedangkan kata Orientalis dan Orientalisme dalam Kamus Bahasa Indonesia
adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran.
Menurut Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum
diberikan kepada orang-orang non-Arab khususnya ilmuwan Barat yang mempelajari
ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah,
kebiasaan, peradaban dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu
disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab,
China, Persia dan India. Dalam perkemabngan selanjutnya, kata ini identik
ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan
studi terhadap Islam dan bahasa Arab.
Para
peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian
akademi yang dilakukan non muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia)
ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban islam dengan
tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia
darinya. Dengan demikian orientalis adalah suatu istilah umum mencakup
kelompok-kelompok non Arab yang bekerja di medan penelitian ilmu ketimuran
secara umum dan Islam secara khusus. Tujuan mereka bukan untuk ilmu pengetahuan
dan pendidikan, akan tetapi tujuannya adalah membuat keraguan pada kaum
muslimin terhadap agamanya.[1]
B. Sejarah
Orientalisme
Sebagian peneliti berpendapat sulit untuk menentukan siapa dan
kapan awal mula orientalisme, sebagian lain menyebutnya bahwa orientalisme muncul
pada awal abad ke-11 masehi. Akan tetapi pendapat yang lebih akurat, orientalis
muncul di Andalusia (Spanyol) pada abad ke- 7 Hijriyah, ketika kaum slaibis
Spanyol menyerang kaum muslim. Kala itu Alfons, raja konstantinopel,
memerintahkan kepada seseorang yang bernama Michael Scott untuk melakukan
penelitian terhadap disiplin ilmu yang ada pada kaum muslimin Andalusia.
Kemudian ia mengumpulkan beberpapa pendeta dari kota Thalita guna memulai
proyek penerjemahan buku-buku Arab ke bahasa Prancis. Setelah semuanya selesai
ia menyerahkannya kepada raja sicilia untuk kemudian raja menghadiahkannya
kepada universitas Paris.
Para
peneliti berbeda pendapat tentang sejarah permulaan orientalisme ini, namun
secara resmi dimulai dengan terbitnya ketetapan majma’ (konfrensi) gereja Viena
pada tahun 1312 H dengan membentuk sejumlah lembaga penelitian bahasa Arab di
sejumlah universitas Eropa. Dengan demikian memungkinkan adanya orientalisme
ini secara tidak resmi sebelumnya. Oleh karena itu ahli sejarah hampir sepakat
bahwa abad ke-13 Masehi adalah permulaan orientalis bersifat resmi Sejak itu
mereka tidak berhenti mempelajari Islam dan bahasa Arab dan menterjemahkan
makna kandungan al-Quran dan sebagaian kitab-kitab berbahasa Arab dan sastranya
hingga masuk abad ke-18 Masehi. Pembahasan tentang asal mula Orientalisme,
sebenarnya masih diperselisihkan oleh para peneliti sejarah Orientalisme. Dan
tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa. pertama yang mempelajari
tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencatat kapan terjadinya.
Fase
pertama : Missionaris & Anti Islam (dimulai abad ke- 16 M). Pada fase ini,
adalah simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Gerakan
ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali
telah membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa
Kristen dalam perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini
sejalan dengan misionaris. Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa,
Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim. Strategi
yang digunakan adalah menyebarkan kesan pada orang Timur dan Eropa.
Fase
kedua : Kajian dan Cacian (abad ke- 17 dan 18 M). Fase kedua ini terjadi
bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana
Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah
raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala
macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624), menerbitkan
pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis (1596-1667), dan
Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Bedwell W (1561-1632)
mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup
Nabi Muhammad. G Sale (1677-1736) penterjemah Al-Quran tahun 1734 menulis
Muhammad adalah ”pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward Gibbon
(1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah pembohoang dan pada hari-hari
terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualitas”.
C. Tujuan
Orientalisme
Di awal abad
ke-13 Hijriyah atau akhir abad ke-18 Masehi, para Orientalis mengubah taktik
mereka dalam mencapai misi-misinya. Yaitu menjadikan Orientalisme sebagai
tujuan murni penelitian dan kebutuhan akademis. Sebelumnya Orientalisme dan
Misionarisme adalah dua pekerjaan yang memiliki satu tujuan. Untuk merubah
tujuannya itu mereka mendirikan pusat-pusat studi ketimuran di berbagai ibu
kota negara Eropa, Dari pusat-pusat itu lahir jurusan khusus yang mempelajari
bahasa Arab dan beberapa bahasa-bahasa negeri Islam semisal bahasa Persia,
Turki dan Urdu.
Adapun Tujuan yang ingin mereka wujudkan diantaranya adalah:
(1).Membuat keraguan terhadap keabsahan al-Quran sebagai firman Allah, Para
Orientalis mengatakan tentang humanismenya al-Quran sehingga mereka
berkesimpulan bahwa ia bukan besumber dari Allah. (2).Membuat keraguan terhadap
kebenaran ajaran nabi Muhammad, Upaya peraguan yang mereka lakukan mencakup
masalah keabsahan hadist-hadist Nabi Muhammad. (3).Membuat keraguan terhadap
urgensi bahasa Arab sebagai bahasa yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
(4).Membuat keraguan terhadap nilai fikih Islami yang asasi.
(5).Membuat keraguan terhadap nilai peninggalan kebudayaan Islam dan ilmu
pengetahuan yang ditemukan oleh cendikiawan muslim. (6) Melemahkan jiwa ukhuwah
Islamiyah antara sesama umat Islam diberbagai Negara.[2]
D. Kritik
Orientalis Terhadap Proses Pengumpulan dan Penyusunan al-Quran
Pengumpulan
al-Quran pada zaman Rasulullah para orientalis sering menekankan bahawa pengumpulan
al-Quran tidak pernah berlaku di zaman Rasulullah. Penekanan ini seakan
bertujuan menimbulkan idea bahawa pengumpulan dan susunan al-Quran sebenarnya
adalah inovasi para sahabat yang berkemungkinan melakukan kesalahan. Dalam
perkara ini John Gilchrist, memulakan penulisan beliau dengan menyatakan bahawa
pengumpulan al-Quran tidak berlaku di zaman Rasulullah. Gilchrist bagaimanapun
mengakui bahawa Nabi terlibat dalam penyusunan sesuatu ayat dengan mengarahkan
sahabat supaya meletakkan sesuatu ayat ditempat yang ditentukan Nabi.[3]
Gilchrist menegaskan bahawa daripada riwayat
al-Bukhari ini jelas menunjukkan bahawa Zayd hanya bergantung pada simpanan
Khuzaimah (atau Abu Khuzaymah) sahaja. Ini menafikan sifat mutawatir al-Quran
itu sendiri.
Pada
hakikatnya isu ‘kehilangan’ ayat al-Quran ini telah dibahaskan oleh para ilmuan
Muslim. Penelitian terhadap dua riwayat ini seharusnya tidak menimbulkan
keraguan. Secara umumnya, al-Quran telah pun dihafal oleh banyak sahabat.
Ayat-ayat tersebut telah tersemat di dada mereka. Apa yang tidak dijumpai oleh
Zayd di dalam riwayat ini adalah ayat-ayat tersebut dalam bentuk penulisan.
Para
orientalis juga memberikan perhatian terhadap nas-nas yang menunjukkan seolah
ada ayat yang telah hilang atau tidak dimasukkan oleh pengumpul wahyu ketika
proses pengumpulan berlangsung di zaman Saidina Uthman.
E. Tokoh-tokoh
Orientalis
Terdapat beberapa tokoh orientalis
yakni:
1.
Christian
Snouck Hurgronje (1857- 1936) Christian berasal dari Belanda, di sekolah
menengah selama 5 tahun di Breda, ia masuk di fakultas Theology Universitas
Leiden. Setelah itu ia masuk ke jurusan sastra dengan gelar doktor dengan
promosi ‘cum laude’ pada 24 November 1880. Karyanya yang berjudul ‘De
Atjehers’ (Penduduk Aceh) dalam 2 jilid pada tahun 1893-1894. Dalam buku
disertasinya ‘Het Mekka Anche Feest’ dia menerangkan arti haji dalam
Islam, asal-usulnya, dan tradisi yang ada di dalamnya. Kemudian mengakhiri
tulisannya dengan kesimpulan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi
Arab jahiliyah.
2.
Harry St. John Philby (1885-1960) Ia adalah
seorang orientalis berkebangsaan Inggris yang mempunyai jiwa imperialisme
sangat menonjol dan membenci Islam, sehingga dipandang banyak berjasa kepada
pemerintah kolonial Inggris. Dia dilahirkan di Srilangka, dan ia lulus dari
Universitas Oxford pada jurusan bahasa-bahasa Timur pada tahun 1908. Philby
kemudian mendapatkan tugas untuk menerbitkan harian ‘Jaridatu Arab’
(Arab News)di Bagdad tahun (1917). Karyanya yaitu Arabian Days terbitan
tahun 1948.
3.
Evariste
Leri Provencal (1894-1956) Ia adalah seorang orientalis Prancis berdarah
Yahudi, yang berjiwa imperialis, dan berprofesi seorang guru besar. Dia lahir
dari sebuah keluarga Yahudi di Aljier ibu kota Aljazair, Afrika Utara, ia
tumbuh dalam lingkungan Yahudi dan belajar di Universitas Aljier. Karya-karya
yang ditulis yaitu ‘Sejarah Spanyol Islam’ pada tahun 1953.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian
Orientalisme sangat kompleks (ketimuran, khususnya Islam) yang dilatarbelakangi
oleh motif-motif keagamaan, keilmuan, ekonomi dan politik. Para peneliti Islam
mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang
dilakukan non muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun
barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban islam dengan tujuan
membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya.
Pembahasan tentang asal mula Orientalisme, sebenarnya masih diperselisihkan oleh para peneliti sejarah Orientalisme. Dan tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa pertama yang mempelajari tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencatat kapan terjadinya. Mayoritas berpendapat, menurut Dr. Hasan Abdur Rauf bahwa Orientalisme dimulai dari Andalusia (Spanyol) di abad ke-7 H, ketika tekanan Kristen Spanyol kepada masyarakat Islam di sana memuncak.
B. Saran
Kami
sebagai penulis menyadari akan banyaknya kesalahan dalam karya penulisan ini.
Tentunya, kami akan terus mencoba menperbaiki karya penulisan ini dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, oleh karna itu kami
mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan peenulisan karya ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahar, Muhammad. “Orientalis dan
Orientalisme dalam Prespektif Sejarah” Universitas Hasanuddin, Jurnal Ilmu
Budaya, 2016.
Sanusi
Azmi, Ahmad. “Kritikan Orientalis Terhadap al-Quran dan Sunnah” 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar