Oleh: Dyah Nawangsari, M. Ag
A. PENDAHULUAN
Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, Pertama dari sudut
pandangan masyarakat, dan kedua dari segi pandangan individu. Dari segi
pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan nilai-nilai budaya dari satu
generasi kepada generasi lain agar identitas masyarakat tersebut tetap
terpelihara. Adapun dari sudut pandang individu pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam sehingga mampu berkembang seoptimal mungkin.
Upaya mengembangan potensi individu itu sendiri menjadi hak setiap orang tanpa
mengenal perbedaan. Dalam banyak ayat dan Hadits Islam sangat menekankan hak
bahkak kewajiban bagi seluruh umatnya guna memperoleh pendidikan.
B. MASIH ADA DISKRIMINASI DALAM PELAKSANAAN
PENDIDIKAN ISLAM
Walaupun Islam menegaskan tentang hak—bahkan
kewajiban—bagi siapa pun untuk menempuh pendidikan tanpa ada diskriminasi, pada
kenyataannya masih ada pihak-pihak yang diposisikan lemah yang paling banyak
terhambat untuk memperoleh pendidikan. Perempuan misalnya, karena posisi
sosialnya dilemahkan memperoleh kesempatan yang relatif lebih terbatas
dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah perempuan sedikit lebih banyak
dari pada laki-laki. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) mulai tahun
1980-1990 menunjukkan bahwa angka rata-rata perempuan untuk masuk ke lembaga
pendidikan lebih kecil jika dibanding angka masuk laki-laki. Semakin tinggi
jenjang pendidikan semakin kecil angka rata-rata masuk perempuan. Tingkat SD
perbandingan perempuan dengan laki-laki adalah 49.18% : 50.83%, di tingkat SMP 46.34% : 53.56%, di tingkat SMA
41.45% : 58.57%, di perguruan tinggi 33.60% : 66,40%. Tentu saja untuk tingkat
yang lebih tinggi kesempatan perempuan akan jauh lebih sedikit (Jurnal
Perempuan, no. 23, 2002: 7-16).
Rendahnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi
perempuan merupakan akibat dari masih dominannya perspektif dalam masyarakat
yang memandang perempuan harus cepat bersuami sehingga menjadi penghambat
keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kesempatan yang lebih kecil ini merupakan salah satu ketimpangan pendidikan
bagi perempuan. Ketimpangan lainnya adalah segregasi (pemisahan)
pendidikan yang sering menistakan perempuan, stereotype yang menempatkan
perempuan hanya untuk jenis pendidikan tertentu dan yang lebih parah kurikulum
atau materi pendidikan yang masih melestarikan ketidakadilan bagi perempuan.
Dalam konteks masyarakat muslim Indonesia
dominasi laki-laki masih demikian kuat, sehingga kontekstualisasi semangat
nondiskriminasi dalam Islam menjadi tidak sesuai ketika dihadapkan dengan
realitas. Kaitannya dengan pendidikan, pesantren yang dipandang sebagai lembaga
pendidikan indigenous (asli Indonesia ) masih saja menerapkan
kebijakan yang diskriminatif termasuk
penyelenggaraan pendidikan yang
tersegregasi. Dilihat dari konteks sejarah tidak bisa dipungkiri bahwa
perempuan baru mendapat posisi yang setara dalam pendidikan pesantren di akhir
abad ke 19, padahal pesantren telah berkembang di Indonesia sejak berabad-abad
sebelumnya (Dhofier, 1982: 52). Adapun bentuk-bentuk segregasi itu sendiri
adalah sebagai berikut:
1. Segregasi dalam penyelenggaraan pendidikan
Menjadi kewajaran (baca: kewajiban) bagi pesantren untuk
menyelenggarakan pendidikan yang terpisah antara santri laki-laki dan
perempuan. Asrama tempat tinggal para santri perempuan biasanya dipisahkan
dengan asrama untuk satri putra, selain dipisahkan oleh rumah kyai dan
keluarganya juga oleh masjid dan ruang-ruang madrasah. Dalam kehidupan
sehari-hari interaksi sosial antara santri laki-laki dengan santri perempuan,
antara Nyai dengan santri laki-laki, antara kyai dengan santri perempuan diatur
oleh norma-norma agama yang sangat ketat (Faiqoh, 2003: 33).
Pembelajaran juga tidak diselenggarakan dalam bentuk co-education
(bergabung), bahkan beberapa pesantren mewajibkan pemasangan hijab bagi santri
putri ketika di ajar oleh guru
laki-laki. Bagi santri putri guru yang mengajar kebanyakan laki-laki
sementara kalau ada Nyai yang memiliki kedalaman ilmu agama sangat jarang
mengajar di santri putra. Barangkali
faktor literatur-literatur ulama salaf yang diajarkan di pesantren paling
mendukung atas pemisahan ini, sebab kalau dilihat dari perspektif gender
beberapa literature yang digunakan dalam pesantren memberikan gambaran atas
dominasi laki-laki.
Jika dalam penyelenggaraan pendidikan diadakan pemisahan yang
sedemikian ketat, pembagian peran di tingkat pengelola pesantren pun dipisahkan
antara wilayah public dan domestik. Nyai sebagai orang terpenting kedua setelah
kyai hampir tidak diberi kesempatan
untuk mengurusi berbagai hal yang
berhubungan dengan publik, bahkan pesantren yang khusus untuk perempuan pun
tidak dipimpin oleh perempuan melainkan oleh Kyai. Tabel dibawah ini merupakan
gambaran pesantren di Desa Kajen Kecamatan Garut, hasil penelitian Faiqoh tahun
2003.
No
|
Nama Pondok
|
Pengasuh
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
|
Pesantren Masyithoh
Pesantren
Al Bidaiyah
Pesantren Al Husna
Pesantren Manba'ul Ulum Putri
Pesantren Raudatul Ulum Putri
Majlis Ta'lim Al Hikmah Putri
Pesantren Manba'ul Huda Putri
Asrama Pelajar Kauman Putri
Pesantren Al I'anah
Pesantren Kauman Putri
Pesantren Pasarean Putri
Pesantren Salaffiyah Putri
|
KH. Mubtar Ali
Nyai Hajah Nafisah Sahal Mahfudz
KH. Nafi' Abdullah
K. Anis Fuad
KH. Fayumi Mujni
KH. Ma'mun Muzzayin
KH. Ma'mun Mukhtar
KH. Junaidi Muhammadun
Nyai Hajah Badriah Rifa'i
KH. Umar Hasyim
K. Nur Hadi
KH. Faqihuddin
|
Dari tabel di atas nampak bahwa kebanyakan pesantren
perempuan dipimpin oleh Kyai. Nyai Nafisah yang memimpin pesantren Al Bida'iyah
secara struktural berada di bawah pesantren Maslakul Huda, yang dikelola
suaminya KH. Sahal Mahfudz. Seakan ada anggapan di lingkungan pesantren bahwa
perempuan tidak pantas untuk memimpin pesantren yang dengan demikian harus
banyak berurusan dengan publik, sehingga dalam pengelolaan—bahkan untuk kaumnya
sendiri—pun perempuan masih ditempatkan sebagai nomor dua (Faiqoh 2003: 178).
Penelitian terhadap pesantren di Desa Kajen di atas bisa memberikan gambaran
pesantren secara keseluruhan yang masih memisahkan peran perempuan sebatas
urusan domestik, dan menjauhkan perempuan dari komunitas yang banyak melibatkan
publik.
2. Segregasi dalam materi
Penyelenggaraan pendidikan yang
terpisah antara laki-laki dan perempuan acapkali berakibat pada berkurangnya
kesempatan bagi santri putri untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sama dengan
laki-laki. Ketika kali pertama pesantren perempuan didirikan pun hanya
memberikan pengajaran kitab klasik pada tingkap dasar bagi santri perempuan.
Beberapa Kyai mengajar sendiri anak-anak perempuan mereka kitab-kitab
tingkat atas dan tinggi. Nyai Khoiriyah, putri KH. Hasyim Asy'ari umpamanya
sangat dalam pengetahuannya dalam cabag-cabang ilmu Islam, karena memperoleh
pembelajaran dari ayahnya (Dhofier, 1982: 54).
Sebagai akibat segegrasi dalam materi
yang diajarkan di pondok pesantren di atas menjadikan kecil sekali peluang bagi
santri perempuan untuk bercita-cita menjadi kyai, tidak sebagaimana santri
laki-laki. Kalau kemudian ada yang menjadi nyai (Kyai perempuan) semata-mata
karena kebetulan dia anak seorang kyai atau karena dia beruntung dinikahi oleh
kyai pengelola pesantren sehingga secara otomatis predikat nyai melekat dengan
namanya. Faiqoh (2003: 32) mengungkapkan bahwa dalam tradisi masyarakat Jawa
ada dua kategori nyai yaitu: (1) perempuan yang mempunyai kemampuan di bidang
agama dan melakukan dakwah agama, (2) istri kiai baik yang melakukan dakwah
maupun yang tidak melakukan dakwah. Nyai dalam ketegori pertama masih sulit
dijumpai.
Segregasi materi itu sendiri semakin
diperparah dengan adanya kitab rujukan (Kitab Kuning) yang memberikan gambaran
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kitab-kitab produk ulama klasik tersebut
sangat bias laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat
rendah. Beberapa Hadits dan pendapat ulama yang mendiskreditkan perempuan sudah
bertahun-tahun diajarkan di pesantren dan mengalami proses sosialisasi yang
cukup lama. Berbagai bentuk segregasi di
atas memang tidak dalam rangka mengabaikan perempuan, tetapi tidak bisa
dipungkiri telah menempatkan perempuan sebagai the second class, yang
tentu saja bertentangan dengan spirit ajaran Islam yang menghendaki kesejajaran
dan kesetaraan.
C. GENEOLOGI DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Diskriminasi dalam pelaksanaan pendidikan sebenarnya tidak
memiliki akar geneologi sejarah pada zaman Nabi (Rahima2000@cbn.net.id). Dalam kehidupan masyarakat pada kurun
awal perkembangan Islam Nabi memberikan
ilmu pengetahuan kepada siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.
Wanita-wanita dalam masyarakat muslim kala itu datang ke masjid, berperan dalam
ibadah-ibadah keagamaan pada hari-hari besar, dan mendengarkan ceramah-ceramah
Rasulullah. Mereka bukanlah pengikut yang pasif dan penurut, melainkan mitra
bicara yang aktif dalam berbagai masalah termasuk masalah keagamaan. Tidak ada
indikasi yang menyebutkan bahwa ada diskriminasi laki-laki dan perempuan dalam
pelaksanaan pengajaran Rasul. (Ahmed, 2000: 62).
Partisipasi leluasa dalam berbagai urusan kemasyarakat
seperti ini segera dibatasi dengan diperkenalkannya pemingitan secara formal.
Kehidupan istri-istri Rasul adalah yang pertama kali dibatasi, dan semasa hidup
Rasulullah ayat-ayat yang memerintahkan penghijaban atau pemingitan
diberlakukan atas mereka. Teks-teks awal merekam berbagai peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat yang melembagakan pemingitan istri-istri Nabi.
Pesta pernikahan Rasulullah dengan Zainab
binti Jahsy menurut sebuah riwayat, merupakan peristiwa yang menjadi penyebab
turunnya ayat tentang hijab (penutup) (Ibn Sa'd dalam Ahmed, 2000: 63).
Diceritakan bahwa dalam pesta perjamuan makan itu beberapa sahabat menunggu
hidangannya masak sambil berbincang-bincang dengan istri-istri Nabi yang lain,
hal ini mambuat Nabi merasa terganggu sehingga turunlah ayat 53 surat Al Ahzab
yang artinya:
”Hai orang-orang
yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diijinkan untuk makan
dengan tidak menunggu-nunggu waktu masaknya (makanan), tetapi jika kamu
diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan maka keluarlah tanpa asik
memperpanjang percakapan. Sesunggunya yang demikian itu akan menganggu Nabi,
lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu
lebih suci bagimu dan hati mereka." (DEPAG RI, 1989: 677).
Dalam peristiwa lain Aisyah menuturkan bahwa Umar bin Khatab
pernah mendesak Rasulullah memingit istrinya karena banyak orang datang ke
masjid, padahal kediaman Rasulullah dengan para istrinya menjadi satu bagian dengan masjid tersebut.
Masjid sekaligus menjadi tempat Nabi menjalankan segenap aktifitas keagamaan
dan kemasyarakatan. Di masjid juga Nabi menerima para pemimpin sebuah kabilah
yang belum memeluk Islam, dengan mendirikan tiga tenda untuk mereka di halaman
masjid selama perundingan berlangsung. Berbagai utusan dari kabilah lain juga
hadir ke tempat itu untuk menemui Rasulullah. Para
pemimpin Madinah menghabiskan malam hari di tempat itu sesudah mengikuti
pertempuran. Sampai pada suatu ketika Umar ibn al Khattab pernah mengenali
istri Nabi (Sawda dan Aisyah) yang keluar untuk suatu keperluan. Sehingga Umar
merasa perlu mengusulkan kepada Nabi agar istri-istrinya dipingit guna
melindungi mereka dari pelecehan dan penghinaan orang-orang munafik. Peristiwa
itulah yang kemudian menyebabkan turunnya ayat 59 surat Al Ahzab yang artinya:
"Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: 'hendaklah mereka mengulurkan ke suluruh tubuh mereka'. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak mudah diganggu.
Dan Allah adalah Maha pengasih lagi Maha Penyayang. (DEPAG RI, 1989: 678).
Banyaknya orang yang datang dan
mengharapkan kebaikan dari Nabi di tempat kediaman istri-istri Nabi, menjadi
alasan utama dilembagakannya hijab (pemingitan) bagi para istri Nabi, serta
berbagai aturan dalam berkomunikasi dengan
mereka. Dengan demikian Rasulullah menciptakan jarak yang sesuai bagi
istri-istri beliau dengan masyarakat yang bergerombol di depan rumah mereka.
Dapat dikatakan segregasi (pemisahan) itu lebih banyak didorong oleh alasan
kesopanan, yang kemudian mendapat legitimasi dari Al Qur'an. Ketika Al Qur'an
menegaskan bahwa istri-istri Nabi ketika berbicara dengan pria lain harus
berada dibalik pemisah (hijab), sekali lagi karena alasan kesopanan. Pertanyaan
kemudian adalah: Apakah pemisahan tersebut juga berlaku bagi seluruh wanita
muslimah?
Sejarah membuktikan bahwa semasa hidup Rasulullah hijab hanya
diberlakukan khusus untuk istri-istri Nabi, sehingga pada saat itu perempuan
masih dapat berpartisipasi secara aktif dalam segala hal. Akan tetapi dalam
komunitas muslim awal ayat-ayat tersebut dibesar-besarkan dan ide-ide dasarnya
dielaborasikan dan didifinisikan dengan cara yang secara cepat membawa kepada
pengasingan wanita yang terasa aneh dibandingkan dengan yang dimaksudkan Al
Qur'an dan diharapkan oleh Nabi (Smith dalam Sharma: 2006: 338). Hijab yang
semula dikhususkan bagi istri Nabi menjadi praktik yang secara umum dilakukan
dalam kehidupan perempuan ketika itu, bahkan masih berlanjut di berbagai negara
Islam hingga sekarang.
Praktik pemakaian hijab sendiri dimulai semenjak penaklukan
awal, ketika kaum muslim mengadakan kontak dengan Bizantium. Pada saat itu
pemakaian hijab dalam bentuk cadar telah dijalankan di beberapa tempat seperti
Syria, Irak dan Persia dan diadopsi ke dalam Islam khususnya bagi perempuan
kota dan kelas atas (Smith dalam Sharma, 2006: 339). Tidaklah diketahui
bagaimana adat istiadat itu menyebar ke masyarakat. Berbagai penaklukan oleh
kaum muslim atas wilayah-wilayah dimana hijab lazim berlaku di kalangan
masyarakat kelas atas, arus deras kekayaan, meningkatnya status orang-orang
Arab, dan istri-istri Nabi yang dijadikan sebagai model mungkin bergabung dan
menyebabkan mereka mengadopsinya secara umum (Ahmed: 2000: 66).
Kemudian sejak masa-masa awal pertumbuhan kerajaan muslim,
pemakaian cadar dan pengasingan merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan perempuan kelas atas, sebab bagi masyarakat pedesaan hijab tidak
berlaku secara umum. Ini dikarenakan mereka tidak berhadapan dengan orang-orang
asing dalam lingkungan tersebut, dan karena hijab justru akan menghalangi
mereka dari berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan mereka secara trdisional.
Bagaimana pun kondisi ini mengakibatkan perempuan menjadi terisolir, apalagi
dengan adanya hadits yang menerangkan bahwa perempuan lebih baik beribadah di
rumah daripada di masjid dan lebih baik beribadah di kamar pribadinya sendiri
(Smith dalam Sharma, 2006: 338-339).
Terdapat perbedaan yang mendasar dalam memandang perempuan
dan gender pada masyarakat Abbasiyah dengan masyarakat Islan kurun awal. Secara
garis besar perbedaan itu antara lain: Pertama: Nabi Muhammad dan
masyarakat Islam kurun awal menyuarakan agama dalam konteks sikap yang jauh
lebih positif pada wanita, ketimbang masyarakat Abbasiyah yang memiliki
kecenderungan androsentris dari berbagai praktik Islam. Kedua: Akibat
kecenderungan androsentris pada masa Abbasiyah maka suara agama yang secara
spiritual egaliter akan sulit didengar, ini jauh berbeda dengan praktik yang
dilakukan masyarakat Islam kurun awal
yang melibatkan perempuan dalam segala urusan bahkan dalam perang
sekalipun. Bagi kaum elit Abbasiyah wanita mereka miliki dalam hubungan antara
tuan dengan budak, sehingga pada tataran implisit dan seringkali explicit
kata-kata wanita, budak, dan obyek bagi pemuasan seksual
berdekatan dan melebur sehingga tidak bisa dipisahkan (Ahmed, 2000: 81).
Ironisnya dalam kondisi seperti itulah doktrin-doktrin fiqhiyah
(hukum Islam) mengenai laki-laki dan perempuan mulai terumuskan secara lebih
mapan oleh para fuqaha (ahli hukum) beberapa abad sepeninggal Nabi. Pada
saat itulah batas-batas tentang hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan terumuskan. Tidak bisa dipungkiri pandangan masyarakat tentang
perempuan dan gender pada waktu itu sangat berpengaruh pada perumusan hukum
yang berlaku kemudian. Ahmed (2000: 102) berbicara tentang situasi tersebut:
Dalam beberapa hal yang
tak tampak secara tekstual politik gender pada suatu masa, bagaimanapun,
terekam dalam berbagai produksi tekstualnya dalam bentuk sebuah ideology gender
implicit dan eksplisit. Semua penulis adalah sandera bagi masyarakat tempat
mereka hidup. Orang-orang yang menciptakan berbagai teks dalam jaman Abbasiyah
apa pun jenisnya, sastra atau hukum, tumbuh besar dengan mengalami dan menginternalisasi
asumsi-asumsi masyarakat tentang gender dan tentang wanita serta
struktur-struktur kekuasaan yang mengatur relasi antara wanita dengan pria,
asumsi-asumsi dan struktur-struktur yang disandikan dan dimanifestasikan dalam
berbagai transaksi kebiasaan hidup sehari-hari. Asumsi-asumsi semisal itu pada
gilirannya terekam dalam teks-teks yang ditulis kaum pria dalam bentuk ucapan
preskriptif tentang hakikat dan makna gender, atau diam-diam menginformasikan
teks-teks mereka sekedar sebagai asumsi-asumsi tentang signifikansi wanita dan
gender. (Dalam masa ini wanita bukanlah pencipta teks sebagaimana mereka alam
zaman Islam kurun awal).
Kondisi perempuan yang sudah termarjinalkan akibat penerapan hijab dan
pemingitan, mendapat legitimasi dengan
adanya produk-produk hukum yang semakin memposisikan perempuan sebagai the
second class. Hadits-hadits yang "memojokkan" perempuan misalnya penghuni neraka kebanyakan
perempuan, perempuan kurang akalnya, perempuan kurang agamanya, perempuan lebih
baik shalat dirumahnya dari pada di masjid,
menjadikan perempuan semakin dipojokkan dalam urusan domestik (rumah
tangga) semata dan secara langsung maupun tidak langsung ter-segregasi
dalam segala urusan yang nondomestik. Bahkan pendidikan yang semula menjadi hak
dan bahkan kewajiban setiap muslim dalam pelaksanaannya ikut mengalami
diskriminasi justru pada saat fiqh dirumuskan sehingga menjadi bagian dari
masyarakat muslim. Oleh karena itu lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah
sebagaimana Madrasah Nidzomiyah di Bagdad memang hanya disediakan khusus untuk
laki-laki (Azra, dalam Rahima2000@cbn.net.id).
Adapun pendidikan bagi perempuan diberikan di tempat khusus
yang mengajarkan ketrampilan menjahit dan menyulam pada usia sekitar sembilan
tahun. Di tempat itu juga para gadis diajar membaca Al Qur'an. Jika gadis
tersebut sudah berusia lebih dari sembilan tahun maka dipanggillah guru khusus
perempuan yang mengajarkan mereka di rumah.
Jika tidak sekolah di tempat khusus atau diajar oleh guru khusus,
gadis-gadis biasanya memperoleh pengajaran dari anggota keluarganya misalnya
ayah, kakek atau bahkan suami mengajari istri (Ahmed, 2000: 148).
Tempat lain yang juga dijadikan wahana untuk belajar kaum
perempuan disebut ribat yaitu
tempat yang khusus bagi perempuan baik janda, perempuan tua maupun perempuan
yang belum menikah. Ribat sendiri sering
didifinisikan sebagai sebuah kediaman yang dihuni oleh orang-orang yang
berjuang "di jalan Allah". Ribat merupakan pusat belajar pengetahuan
agama khusus untuk kaum wanita, dan kebanyakan juga diajar oleh ulama (sarjana wanita). Munculnya sarjana-sarjana
perempuan dalam hal ini dilakukan dengan belajar private kepada para ulama tertentu atau guru yang
dipercayai oleh orang tua, tetapi tidak melalui co-edukasi dengan laki-laki di
madrasah (Ahmed, 2000: 148). Sejarah pendidikan di dunia Islam tidak
menyebutkan tentang wanita yang menghadiri madrasah, juga tidak ada kesan bahwa
wanita mengajar di institusi tersebut. Patut disayangkan bahwa mencari ilmu
hanya menjadi hak prerogratif perempuan-perempuan kelas menengah dan elite.
Bagi perempuan kelas bawah pekerjaan sebagai tukang sayur, tukang roti, dallala
(pedagang pakaian, sulaman, dan perhiasan kepada para harem), lebih menjadi
pilihan hidup dari pada menghabiskan waktu untuk sekedar menuntut ilmu.
Pendidikan menjadi hal yang sangat mahal bahkan sangat langka bagi perempuan
kebanyakan.
D.
PRINSIP PERSAMAAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Islam dalam segenap ajarannya bersifat egaliter, sebab
manusia di pandang memiliki kesatuan asal sehingga tidak ada kompromi terhadap
berbagai bentuk diskriminasi baik dalam jenis kelamin, kedudukan sosial dan
bangsa, suku warna kulit dan ras. Paling tidak ada empat ayat Al Qur'an yang
menyatakan secara tegas akan kesatuan asal usul manusia, yakni dalam surat An-Nisa' ayat 1, Al
An'am ayat 98, Al A'raf ayat 189, dan Az Zumar ayat 6. Allah menegaskan bahwa
manusia apa pun jenisnya berasal dari asal yang sama, sebagaimana dalam Surat
An-Nisa' ayat 1 yang artinya sebagai berikut:
"Hai sekalian
manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama
lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
mengawasi dan menjaga kamu (DEPAG RI,
1989: 114).
Penegasan ayat tersebut beserta tiga ayat lainnya membawa
kepada konsep humanisme universal yang menentang segala bentuk diskriminasi
terhadap umat manusia. Menarik untuk dicermati bahwa pengungkapan kata ciptaan
pertama (nafs in wahidatin) tidak ada pernyataan apa pun yang dapat
ditafsirkan sebagai menegaskan atau mengemukan bahwa laki-laki diciptakan
sebelum perempuan yang berakibat bahwa yang satu lebih utama dari pada yang
lain. Analisis deskripsi-deskripsi Al Qur'an tentang penciptaan manusia
menunjukkan bahwa Al Qur'an dengan tidak berat sebelah menggunakan kata-kata
dan citra feminim dan maskulin untuk menciptakan manusia dari suatu sumber
tunggal. Al Qur'an dalam konteks penciptaan manusia selalu berbicara dengan
istilah-istilah yang sepenuhnya egaliter. Bukti egalitarianisme Islam lainnya
dinyatakan secara tegas dalam Surat Al Ahzab ayat 35, yang artinya sebagai
berikut:
"Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar (DEPAG
RI, 1989: 675).
Berdasarkan ayat di atas nampak sekali bahwa egalitarianisme
dalam Islam merupakan sebuah elemen yang konsisten dalam berbagai penuturan Al
Qur'an. Di antara berbagai ciri luar biasa Al Qur'an, khususnya bila
dibandingkan dengan teks-teks kitab suci dalam tradisi-tradisi monotheistik
lainnya, adalah bahwa perempuan diseru secara eksplisit, yang menegaskan
persamaan secara moral dan spiritual yang mutlak antara pria dan wanita (Ahmed,
2000: 78). Prinsip persamaan ini tentu saja juga berlaku dalam persoalan hak untuk memperoleh
pendidikan.
Satu hal yang patut
diberikan penekanan bahwa ayat 35 surat
Al Ahzab di atas diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan
kaum wanita kepada Rasulullah, tentang Al Qur'an yang selalu menyeru hanya kaum
pria dan pada saat yang sama kaum wanita harus memenuhi perintah Allah dan
Rasulnya. Oleh karena itu ayat 35 surat
Al Ahzab di atas secara eksplisit menyeru kapada pria dan wanita, suatu
tanggapan yang menunjukkan kesediaan Rasulullah (dan Allah) untuk mendengar
aspirasi wanita. Setelah ayat tersebut Al Qur'an secara eksplisit menyeru kaum
wanita beberapa kali (Ahmed, 2000: 88).
Berdasarkan
uraian ayat di atas terbukti bahwa Islam memberi peluang yang sama bagi penganutnya untuk mengakses
informasi dari Al Qur'an dan pada saat yang sama juga menjalankan
perintah-perintah yang terkandung dalam Al Qur'an. Dengan demikian setiap orang
tanpa memandang jenis kelamin maupun perbedaan-perbedaan lain berhak untuk
mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Ini dipertegas dengan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abdil Barr:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة(رواه
ابن عبد البر)
Artinya:
"Menuntut ilmu pengetahuan itu kewajiban
bagi setiap muslim pria dan wanita."
Hadits di atas menegaskan bahwa Islam mewajibkan
menuntut ilmu bagi segenap pengikutnya. Dengan demikian pendidikan bukan
sekedar hak melainkan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim tanpa
memandang status sosial, ras, warna kulit maupun jenis kelamin (Soebahar, 2002:
77). Gambaran masyarakat muslim kurun awal semakin menegaskan prinsip
egelitarian Islam dalam hal menuntut ilmu. Secara umum masyarakat muslim kurun
awal menunjukkan semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Rasulullah memberikan perhatian yang sama besar bagi pengikutnya dalam menuntut
ilmu baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagai agama yang Rahmatan li al `alamin Islam
memandang seluruh umatnya dengan cara pandang yang sama tanpa mengenal
diskriminasi dalam bentuk apa pun. Termasuk dalam meraih pengetahuan, sejak
awal Islam memberi peluang yang sama bagi umatnya, sebab pendidikan bukan saja
menjadi hak melainkan kewajiban bagi seluruh umat Islam tanpa memandang jenis
kelamin. Oleh karena itu praktik-praktik pendidikan yang masih diskriminatif
sangat tidak dibenarkan dan bertentangan dengan spirit ajaran Islam yang egaliter.
Di samping itu diskriminasi dalam pendidikan tidak memiliki geneologi pada masa
Rasulullah SAW. Dengan demikian sudah seharusnya pendidikan Islam bersifat
egaliter.
DAFTAR BACAAN
Ahmed,
Leila. (2000). Wanita dan Gender dalam Islam Akar-akar
Historis Perdebatan Moderen. Jakarta :
Lentera
As
Suyuthi, Jalaluddun 'Abdurrahman bin Abu Bakar. (tt). Al Jami' Al-Shaghir.
Beirut : Darul
Fikr.
Departeman
Agama RI. (1989). Al Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta : DEPAG RI.
Dhofier, Zamaksyari.
(1984). Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta : LP3ES.
Faiqoh.
(2003). Nyai Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta : Kucica.
Jurnal
Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. 2002. Jakarta .
Rahima2000@cbn.net.id.
Dalam Sejarah Pendidikan Islam; Tidak Ada Segregasi Laki-laki dan Perempuan
Wawancara dengan Azyumardi Azra.
Sharma,
Arvind. (2006. Perempuan dalam Agama-agama Dunia. Terj: Ade
Allimah. Yogyakarta : SUKA PRESS
Soebahar,
Abdul Halim. (2002). Wawasan Baru Pendidika\n Islam. Jakarta :
Kalam Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar