1.
Definisi
Multikulturalisme adalah pengakuan, toleransi dan
penghormatan terhadap adanya perbedaan dalam masyarakat; sikap akomodatif
terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, didasari prasangka baik untuk mencari
persamaan di antara perbedaan-perbedaan tersebut untuk memudahkan hubungan
sosial, gotong royong demi mencapai kebaikan bersama.
2.
Nilai Multikulturalisme
Dalam
Islam, nilai multikulturalisme antara lain:
a. Kalimatun Sawa
Kalimatun sawa mengandung arti perintah untuk
berdialog antara individu atau kelompok-kelompok masyarkat yang berbeda bukan
semata-mata untuk percakapan tetapi bertujuan untuk saling belajar dari satu
sama lain sehingga masing-masing dapat berubah dan berkembang ke arah yang
lebih baik. Pesan kesederajatan kemanusiaan merupakan terjemahan dari konsep
kalimatun sawa, sebagaimana ditegaskan dalam QS Ali Imran (3):114: Katakanlah
wahai semua penganut agama (dan kebudayaan, bersegeralah menuju dialog dan perjumpaan
multikulturral (kalimatun sawa) antara kami dan kamu.
b. Al-Amanah
Secara harfiah amanah berarti terpercaya atau dapat
dipercaya. Kata amanah ini seakar dengan kata amana atau al-iman yang berarti
percaya pada Tuhan. Dalam pengertian hukum, amanah adalah sesuatu yang dijaga
dan dipelihara, dan diberikan kepada yang berhak menerima. Amanah lebih lanjut
berarti sebuah kepercayaan atau amanah yang diberikan kepada seseorang untuk
disampaikan kepada orang lain yang berhak menerimanya. Sikap amanah ini erat
hubungannya dengan kepercayaan kepada Tuhan.
Sikap amanah ini merupakan pilar yang sangat penting dalam melakukan
relasi dan interaksi sosial dalam konteks kehidupan yang pluralistik dalam
kerangka multikultural. Tanpa ada sikap
amanah, maka berbagai janji dan komitmen yang dibangun bersama kelompok lain
tidak akan kokoh dan terancam bubar. Sikap amanah atau menepati janji (mutual
trust) ini adalah suatu kebutuhan bagi terwujudnya kehidupan yang harmonis.
c. Husn al-Dzann (Prasangka Baik)
Secara harfiah, husn al-dzann berarti berprasangka baik. Sedangkan dalam
arti yang umum husn al-dzann berarti sikap percaya pada orang lain sebagai
orang yang baik dan terpercaya, tanpa ada kecurigaan. Dengan demikian husn
all-dzann ini erat hubungannya dengan sikap saling percaya atau amanah
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Secara normatif sikap husn al-dzann ini
dapat dipahami dari QS. al-Hujurat (49):12: “Hai orang-orang beriman, jauhilah
banyak prasanga, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian menggunjing sebagian
lainnya.”
d. Al-Takaful dan al-Ta’awun
Takaful secara harfiah berarti tanggungan, dan dapat
pula berarti ketergantungan sosial. Dalam arti yang umum takaful adalah sikap saling memikul beban, saling
menopang, saling memberi dan menerima.
Sikap ini didasarkan pada prinsip ajaran Islam sebagai agama yang
didasarkan pada prinsip persamaan, persaudaraan, keterbukaan dan
solidaritas.Hal ini digarsikan dalam Q.S.al-Maidah (5):2: “Dan tolong
menolonglah kamu dengan rela saling berkorban dan memelihara solidaritas dan
ikatan sosial, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat kriminal dan
konflik komunal. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat
sangsi sosialnya.” Secara historis sikap
saling memikul beban ini dapat diperlihatkan oleh penduduk Madinah terhadap
kaum pendatang (muhajirin) dari Mekkah pada saat melakukan hijrah. Dengan hati
yang tulus, tanpa ingin dipuji, dan dalam keadaan hidup pas-pasan, para penduduk
Madinah memberikan bantuan apa saja, mulai dari makanan, minuman, tempat
tingga, pekerjaan dan lain sebagainya, sehingga mereka (muhajirin) dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
e. Al-Salam
Secara harfiah, al-Salam seakar dengan kata Islam
berarti selamat, sentosa, aman, damai, dan harmoni. Inti al-Salam dengan inti
ajaran Islam yaitu nirkekerasan atau anti kekerasan, dan cinta perdamaian.
Dengan demikian, Islam adalah agama damai dan harmoni dan setiap yang meyakini
Islam disebut Muslim. Muslim yang sejati
tidak akan menjadi fanatik, bahkan sebaliknya ia cinta damai, mengedepankan
harmoni dan rasa aman bagi semua manusia.
Pengertian Islam tersebut sejalan dengan missi kerasulan Nabi Muhammad
sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Ahzaab, (21):107: yang pada intinya untuk
memberi rahmat bagi seluruh alam; membina akhlak mulia, mengajarkan tentang
iman, Islam dan ihsan. Iman terkait dengan kelurusan hati untuk selalu jujur,
amanah, terpercaya, menyebarkan rasa aman, serta amal shalih.
f.
Al-Afwu
Makna Al-Afwu secara umum adalah keikhlasan untuk
memaafkan sebagaimana digariskan dalam Q.S. Ali Imran (3):133-134: “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa. (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada waktu lapang dan pada waktu
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang
lain.” Uraian tentang prinsip-prinsip multikulturalisme dalam Islam di atas,
membuktikan bahwa ajaran Islam mengakui dan mendukung prinsip
multikulturalisme, baik secara normatif maupun historis sebagaimana telah
diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
B.
Toleransi
(Tasamuh)
Toleransi berarti kesabaran, kelapangan dada,
memperlihatkan sifat sabar. Dalam bahasa Arab, toleransi disebut dengan istilah
ikhtimal atau tasamuh yang mengandung arti sikap membiarkan berbeda dan tidak
memaksa, berlaku baik, lemah lembut, saling memaafkan. Dengan demikian,
toleransi memiliki arti yang sangat erat dengan sifat humanisme sebagaimana
tersebut di atas, yakni dimensi kelembutan, kesantunan, keramahan, dan
kesabaran dari manusia yang dihasilkan oleh kemampuan mengendalikan hawa nafsu,
akal sehat dan hati nurani yang jernih. Sedangkan dalam arti yang umum
digunakan, toleransi adalah sikap yang tidak saja mengakui, menghormati dan
membiarkan terhadap keberadaan agama, budaya, hak asasi, bahasa, dan lainnya
yang dimiliki orang lain, tetapi juga berupaya saling mendekati dan mengambil
manfaat dari adanya berbagai keragaman yang terjadi antara satu dan lainnya,
sehingga timbul kedekatan dan kesatuan sosial. Toleransi sebagai sebuah konsep
ajaran Islam, hadir sebagai bukti adanya pengakuan Islam terhadap hak-hak asasi
masing-masing individu manusia, seperti hak persamaan dan kebebasan, hak hidup,
hak memperoleh pelindungan, hak memperoleh pendidikan, hak kesempatan untuk
mengakses berbagai peluang, hak mendapatkan keadilan, rasa aman dan sebagainya.
Selanjutnya dalam konteks kerukunan hidup antara manusia, toleransi adalah
sikap tolong menolong, saling menghargai, saling menyayangi, saling
mempercayai, tidak saling mencurigai, saling menghargai hak-hak sebagai
manusia, anggota masyarakat dalam suatu negara. Dalam konteks kehidupan
beragama, toleransi berarti menerjemahkan ajaran Islam di tengah kehidupan
dengan sikap penghargaan, kemaslahatan, keselamatan, dan kedamaian masyarakat,
mencegah kemudlaratan, kerusakan dan bahkan kebencian.Toleransi kehidupan antar
ummat beragama juga pernah diperlihatkan oleh para khalifah Islam di Spanyol
(abad ke-7 sd 13 M.) yang membiarkan mayoritas penduduk Spanyol untuk memeluk
agama Kristen Katholik; dan Khalifah Dinasti Moghul di India (abad ke 13 sd 18
M.) yang membiarkan mayoritas penduduk untuk memeluk agama Hindu.
1.
Definisi
Humanisme adalah memandang kesatuan manusia sebagai
mahluk ciptaan Allah dan memiliki asal-usul yang sama. Oleh karena itu
humanisme mengharuskan manusia memiliki simpati dan empati satu sama lain,
saling menyayangi, saling menghormati. Humanisme juga erat kaitannya dengan
peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk
membentuk hubungan-hubungan sosial dengan manusia lain untuk mencapai kebaikan
bersama.
2.
Nilai-Nilai
Humanisme
Dalam
Islam, nilai-nilai humanisme mencakup:
a. Al-Luthf wa al-Rahmah (Simpati dan Empati)
Simpati diartikan sebagai rasa kasih, rasa kesudian,
sedangkan kata empati merupakan upaya meletakkan cara pandang dari sudut orang
yang sedang mengalami kesusahan, yang diekspresikan dengan kata-kata, gerak
tubuh bahkan lebih jauh lagi dengan tindakan dan perbuatan untuk mengatasi
penderitaan atau musibah yang menimpa orang lain itu. Contoh sikap empati pada masa Nabi Muhammad
saw. adalah sikap kaum Anshar di Madinah terhadap orang-orang Muhajirin yang
pindah dari Mekkah ke Madinah yang berada dalam keadaan yang serba kekurangan.
Mereka berpindah dari Mekkah ke Madinah dengan meninggalkan kampung halaman,
harta benda, dan lainnya; berbekal pakaian, makanan, dan perlengkapan
seadannya, tercekam oleh rasa takut, serta nasib dan masa depan yang belum
jelas di masa depan. Namun berkat simpati dan empati yang diberikan pendudukan
Madinah, akhirnya berbagai penderitaan dan kekurangan yang dialami kaum
Muhajirin itu dapat di atasi. Sikap simpati dan empati pendudukan Madinah atas
kaum Muhajirin dan Mekkah ini diabadikan di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr
(59):9: “Dan orang-orang yang menyiapkan rumah dan beriman sebelum mereka
(kedatangan Muhajirin), mereka menyayangi orang-orang yang hijrah kepada
mereka, dan di dalam dada mereka tidak ada sesuatu keinginan pun dari apa-aoa
yang telah diberikan (harta rampasan) kepada mereka (orang Muhajirin), dan
mereka mengutamakan (orang Muhajirin) di atas (kepentingan) mereka, walaupun
mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang terpelihara dari diri yang kikir,
maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan”.
b. Al-Ukhuwah (Persaudaraan)
Pilar yang kedua untuk menumbuhkan sikap humanisme ini
adalah perasaan bersaudara, atau persaudaraan, yaitu perasaan bersahabat dan
bersaudara walaupun berbeda agama, kebangsaan, budaya, bahasa, warna kulit dan
sebagainya. Perasaan persaudaraan ini didasarkan pada persamaan keturunan,
yaitu dari nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa; mengambil bahan makanan dan
minuman dari bumi yang sama; menghirup udara dari langit yang sama; bahan dasar
dan proses kejadian yang sama; dan berakhir dengan cara yang sama, berupa
kematian. Persaudaraan ini juga erat hubungannya dengan perasaan bermasyarakat
yang didasarkan pada realita, bahwa dalam rangka mempertahankan kelangsungan
dan daya tahan hidupnya manusia saling membutuhkan satu sama lainnya. Nilai-nilai persaudaraan sebagaimana tersebut
di atas mendapat perhatian sangat besar dalam pendidikan Islam. Di dalam
al-Qur’an, Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah
bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (Q.S. Al-Hujurat,
49:10). Dalam rangka menjaga persaudaraan itu, Islam juga memberikan cara atau
etika dalam pergaulan, yaitu jangan mengolok-olok (saling merendahkan) antara
satu dan lainnya, jangan memanggil orang dengan nama, panggilan, julukan dan
gelar yang buruk, menjauhi sikap buruk sangka, mencari-cari kesalahan orang
lain, menggunjing, serta membangun tali persaudaraan walaupun berbeda jenis
kelamin, kebangsaan, kesukuan dan sebagainya. Dalam Haditsnya yang diriwayatkan
Abu Daud, Turmudzi, dan Ibn Hibban dari Abi Jary al-Hujaimy, Rasulullah SAW
melarang meremehkan kebaikan yang diberikan orang lain, walaupun hanya sedikit;
dan hendaknya menebar senyum, jangan menampilkan pakaian yang menggambarkan kesombongan,
dan tidak membalas celaan orang lain dengan celaan lainnya, tapi maa’fkanlah
dia.
c. Laisa al-Taklif maa laa
Yutaq (Tidak Memberi Beban di Luar Kesanggupan Manusia)
Yang terkandung dalam nilai ini adalah larangan
bagi manusia untuk memberikan beban
kepada manusia di luar batas kesanggupannya. Sebagaimana telah dikemukakan di
atas, bahwa di samping memiliki keistimewaan, manusia juga memiliki kekurangan,
baik pada panca indera, fisik, akal,
maupun hati nurani. Keadaan ini mesti menjadi bahan pertimbangan ketika akan
memberikan tugas atau beban kepada manusia. Kalau seseorang hanya sanggup
mengangkat beban 30 kilo gram, maka janganlah diminta mengangkat beban 40 kg;
kalau ia hanya memiliki kesanggupan berpikir setingkat sekolah dasar, maka
janganlah ia diminta mengerjakan tugas berfikir setingkat perguruan tinggi.
Nilai ini merupakan penerapan pemikiran bahwa Allahpun tidak akan memberikan
beban kepada manusia yang lebih dari kesanggupan manusia untuk
menanggungnya. Nilai ini disimpulkan dari beberapa surat Al Qur’an:
“Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya.” (Q.S. Al-An’am (6):152 serta Q.S. Al-A’raf(7):42: “dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak
memikulkan kewajiban kpada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.”
Salah satu contoh penerapan nilai ini oleh Rasulullah adalah ketika Nabi
Muhammad saw. mencegah Umar bin Khattab
yang akan membunuh orang Badui yang berkata bahwa Tuhan berada di sebuah
tempat. Nabi berkata: “Hai Umar
janganlah kau lakukan itu, karena orang Badui itu baru sampai sebatas itu
pemikirannya, dan bukan karena menghina Tuhan atau menyesatkan keyakinan.”
d.
Al-Tawasuth (Moderat)
Kata Moderat berasal dari bahasa Inggris, yang berarti
lunak, sedang, tidak berlebih-lebihan. Dalam bahasa Arab, moderat disamakan
dengan kata tawasuth yang berarti mediasi (menyelesaikan sengketa dengan
menengahi), intervensi (campur tangan) dengan mengambil posisi di tengah.
Secara istilah al-tawasuth berarti sikap pertengahan tidak terlalu berkurang
atau berlebihan, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak, tidak hanya
memperhatikan diri sendiri, atau orang lain, melainkan bersikap pertengahan
antara keduanya. Di antara para ulama ada yang menggunakan surat al-Baqarah (2)
ayat 143 sebagai rujukan utama dalam membangun sikap moderat. Ayat tersebut
selengkapnya berbunyi: “Dan demikian (pula) telah menjadi kamu (umat Islam)
umat yang adil dan pilihan.”
e.
Al-Tawazun (Seimbang dan Emansipatoris)
Al-tawazun berasal dari bahasa Arab yang artinya
seimbang, yakni keseimbangan dalam memperlakukan diri sendiri serta orang lain.
Seimbang dalam melakukan berbagai kebijakan dan keputusan terhadap seluruh
masyarakat yang memiliki latar belakang perbedaan agama, status sosial, budaya
da lain sebagainya. Sikap ini erat hubungannya dengan sikap emansipatoris, dan
sikap emansipatoris erat kaitannya dengan paham humanisme, karena dalam
emansipatoris itu terkandung perlakuan yang memanusiakan manusia, serta tidak
adanya dominasi antara yang satu atas yang lain. Dengan demikian, di dalam
humanisme terdapat perlakuan yang adil, sikap yang santun, dan hubungan yang
harmonis antara satu dan lainnya. Ayat al-Qur’an yang sering digunakan untuk
mendukung gagasan ini, antara lain ayat yang artinya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah merarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.”
(Q.S. al-Baqarah, 2:30).
f.
Persamaan
Humanisme mengharuskan digunakannya kaidah persamaan yang
memandang semua manusia sejajar kedudukannya di muka Allah. Dalam hubungan
sosial, nilai persamaan termasuk persamaan di hadapan hukum, dalam status
sosial. Contoh penerapan nilai ini pada masa Rasulullah adalah sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Nabi yang menolak permohanan Abbas dan Abu Dzar yang memohon
suatu jabatan, dan Nabi memberikan jabatan tersebut kepada orang lain yang
bukan dari kalangan bangsawan. Selain itu juga, dalam Islam aturan untuk zakat,
diat serta denda bagi semua orang yang kena wajib bayar, tanpa membedakan
status sosial dan warna kulitnya.
g.
Al Hurriyah (Kemerdekaan)
Humanisme akan terlaksana dengan baik apabila
didasarkan pada asas kemerdekaan, yaitu kemerdekaan dalam beragama, berumah
tangga, melindungi diri, berfikir dan berbicara, hak memperoleh pekerjaan dan
kebebasan memilki hasil kerjanya, dan kemerdekaan berpolitik.
D.
Demokrasi
1. Definisi
Secara
sederhana demokrasi artinya kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi
kekuasaan tersebut tetap harus mengacu dan berada di bawah kedaulatan ajaran
Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian setiap kebijakan yang berkaitan dengan
kekuasaan harus bersandarkan pada nilai-nilai ajaran agama Islam.
2.
Nilai-Nilai Demokrasi
Nilai-nilai
demokrasi dalam Islam mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Ta’aruf (saling mengenal)
Nilai ini
terdapat pada QS. Al-Hujurat (49) ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
Ayat ini menjelaskan adanya individu dan kelompok manusia yang memiliki perbedaan
jenis kelamin, kelompok dan suku-suku, dan sekaligus menganjurkan, agar satu
dan lainnya saling mendekat, mengenal, dan tolong menolong. Dengan demikian,
Islam mengakui adanya perbedaan di antara manusia, namun tetap menganjurkan
kelompok-kelompok yang berbeda tersebut untuk saling berhubungan, berinteraksi,
saling tolong menolong dan menyelesaikan masalah atau perbedaan di antara
mereka melalui musyawarah untuk tercapainya perubahan yang lebih baik bagi
masyarakat umum.Inilah prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam Islam.
b. Syura (musyawarah)
Nilai ini
terdapat dalam Surat Asy-Syura (42):38 dan Ali-Imran (3): 159. Surat Asy-Syura (42):38 menggariskan ajaran
utama tentang demokrasi dalam Islam, yaitu bermusyawarah yang didasarkan pada
ajaran Allah: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.” Kata syura berarti membuat
atau menyatakan pendapat yang terbaik dengan membandingkannya dengan pendapat
lain. Seruan untuk menyelesaikan persoalan dalam interaksi antar manusia
melalui musyawarah juga diperkuat dengan QS Ali Imran (3):159 yang menceritakan
perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk bermusyawarah dengan kaum yang
menolak ajarannya, dengan kesungguhan, kesopanan, penghormatan, menerima
perbedaan pendapat, dan berusaha menerapkan hasil musyawarah: “Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
c.
Ta’awun (kerja sama)
Islam
menganjurkan kerjasama dalam interaksi sosial antar individu dan kelompok manusia, sebagaimana digariskan
dalam QS Al Maidah (5):2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” Kata ‘al-taawun’ dalam Surat Al Maidah ayat 2 bisa diartikan
sebagai kerjasama antar agama, budaya, etnik, bangsa, ras, dll, bukan hanya
antar Muslim saja. Dalam hubungannya dengan al taaruf dan al syura di atas,
Islam mengajak umatnya untuk bermusyawarah dengan senang hati dan tulus bersama
kelompok lain berasaskan saling menghormati dan memahami.
d.
Mashlahat (menguntungkan masyarakat)
Al-Mashlahah
secara harfiah berarti baik, dan berarti pula sesuatu yang membawa keuntungan
baik secara sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, budaya dan
sebagainya. Kata al-Mashlahah juga dekat dengan kata al-shalih yang dihubungkan dengan amal, yakni amal
shalih. Yakni amal yang sesuai dengan nilai-nilai agama sebagaimana terdapat di
dalam al-Qur’an dan Hadits. Prinsip ini digariskan dalam QS Al-Ashr (103):1-3:
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal saleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling
berwasiat dengan sesabaran.” Surat ini
menyiratkan pentingnya interaksi dan kerjasama antar individu dan kelompok
manusia yang membawa keuntungan bagi masyarakat umum.Bisa diartikan secara
bebas bahwa demokrasi bertujuan memberikan manfaat bagi semua orang.
e.
‘Adl (adil)
Islam
mengajarkan agar dalam berinteraksi sosial, manusia berlaku adil terhadap
sesama manusia meski dari kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang. Hal
ini ditujukan agar interaksi sosial tersebut membawa manfaat bagi semua pihak
dan bagi masyarakat umum, serta mencegah adanya pertikaian atau konflik. Hal
ini digariskan dalam QS An-Nisa, (4):58 “Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan
apabila kamu menghukum di antara manusia hendaknya kamu menghukum dengan adil.”
Dan QS Al-An’am, (6):152: “Dan apabila kamu berkata, hendaklah adil walaupun
dia adalah kerabat(mu).” Dalam sebuah demokrasi, keadilan memberikan kesempatan
yang sama kepada semua tanpa kecuali dalam musyawarah untuk menyatakan
pendapat. Keputusan musyawarah harus mempunyai rasa keadilan, menaungi
kepentingan umum.
f. Al-taghyir
(Perubahan)
Islam juga
mengakui bahwa proses musyawarah akan membawa potensi perubahan, seperti yang
digambarkan dalam QS Al-Ra’d (13): 11 dinyatakan: “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan pada diri
mereka sendiri.” Ayat ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap peserta
musyawarah harus siap menerima perubahan karena perubahan adalah ketetapan dari
Allah. Islam mengakui adanya kebutuhan untuk berubah guna menyesuaikan kepada
konteks sosial dan periode sejarah yang berbeda. Islam mengakui adanya perbedaan di antara
manusia, namun tetap menganjurkan kelompok-kelompok yang berbeda tersebut untuk
saling berhubungan, berinteraksi, saling tolong menolong dan menyelesaikan
masalah atau perbedaan di antara mereka melalui musyawarah untuk tercapainya
perubahan yang lebih baik bagi masyarakat umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar