Didalam islam tidak diperkenankan
untuk berbutus asa. Kita harus selalu berusaha untuk meraih kesuksesan, baik di
dunia maupun akhirat. Oleh sebab itu, tidak ada istilah pengangguran, istilah
itu hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajarkan kita
untuk maju kedepan, bukan meminta-minta dijalan.
SI PEMALAS DAN ABU
HANIFAH
Suatu hari ketika imam Abu
Hanifah sedang berjalan-jalan melewati sebuah rumah yang jendelanya masih
terbuka. Dalam rumah ia mendengar suara orang yang sedang mengeluh dan menangis
tersedu-sedu. Dalam keluhan orang tersebut dia berkata “Aduhai, alangkah
malangnya nasibku ini. Agaknya tidak ada seorang pun yang lebih malang daripada
nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi belum datang sesuap nasi atau makanan
pun dikerongkonganku sehingga seluruh badanku menjadi lemah. Oh, manakah hati
yang berbelas kasih dan sudi untuk memberi curahan air walau setetes.”
Mendengan keluhan itu, Abu
Hanifah merasa kasihan. Lalu, beliau pulang ke rumahnya dan mengambil sebuah
bungkusan untuk diberikan kepada orang itu. Imam abu Hanifah kemudian
melemparkan bungkusan yang berisi uang tersebut kepada si malang itu dan segera
meneruskan perjalanannya. Sementara itu, si malang merasa terkejut setelah
menemukan sebuah bungkusan yang tidak diketahui darimana datangnya. Si malang
pun tergesa-gesa membukanya dan mendapati di dalamnya ada uang dan secarik
kertas yang bertuliskan “ Hai Manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh
seperti itu. Kamu tidak perlu mengeluh dengan nasibmu. Ingatlah kepada
kemurahan Allah dan cobalah memohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan
suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus. “
Pada keesokan harinya, imam Abu
Hanifah melewati kembari rumah tersebut, dan terdengan keluhan simalang lagi, “Ya
Allah Tuhan yang Maha belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan
bungkusan lain seperti kemarin. Sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat
ini. Sungguh jika tuhan tidak memberi, akan lebih sengsaralah hidupku, semakin
tidak untung nasibku”. Mendengan keluhan itu, Iman Abu Hanifah melemparkan lagi
bungkusan berisikan uang kedalam rumah tersebut dan secarik kertas
dididalamnya. Simalang semakin gembira mendapat bungkusan itu dan membukanya
dan membaca tulisan yang ada dalam kertas tersebut “Hai kawan, bukan begitu cara
bermohon, bukan demikian cara berikhtiyar dan berusaha. Perbuatan demikian ‘malas’
namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridho
tuhan melihat orang pemalasa dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan
dirinya. Janganlah berbuat demikian. Hendaklah kamu bekerja dan berusaha, karena
kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari ataui diusahakan. Orang
hidup tidak bisa hanya duduk diam, tetapi haruslah bekerja dan berusaha. Allah
tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas untuk bekerja. Allah
tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu carilah pekerjaan
yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhityarlah sedapat mungkin dengan
pertolongan Allah. Insyaallah pekerjaan itu akan kamu peroleh selama kamu tidak
berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga sukses.”
Selesai membaca surat itu, ia
termenung, ia insaf dan sadar akan kemalasannya. Selama ini ia tidak mau
ikhtiyar dan berusaha. Pada keesokan harinya, ia keluar dari rumahnya untuk
mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti
peraturan-peraturan hidup (sunnatullah) dan tidak lagi melupakan nasihat orang
yang memberikan nasihat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar