Oleh: Fahrur rozi
Dikotomi
(diarkhi) Pendidikan Islam, berangkat dari pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu non-agama atau keduniawian (profan). Pemisahan ini
selanjutnya membawa kepada pelaksanaan
dua sistem pendidikan, yaitu tradisional
dan moderen yang dalam banyak hal saling
bertentangan atau setidak-tidaknya kurang bersesuaian. Sistem pendidikan
tradisional merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat atau
pondok pesantren dan madrasah yang telah ada di kalangan masyarakat. Pendidikan
ini pada umumnya tetap mengembangkan kurikulum tradisional yang hanya
memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Sedangkan Sistem moderen pada
umumnya dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka
memenuhi tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah, dengan menggunakan kurikulum
dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan moderen. Sistem ini mengambil pola
sistem pendidikan Barat dengan penyesuaian-penyesuaian dengan Islam dan
kepentingan nasional
Perbedaan kedua sistem itu
bagaimanapun bukan hanya dalam struktur luarnya, melainkan juga perbedaan pendekatan dalam tujuan pendidikan. Sistem
tradisional didasarkan atas seperangkat nilai yang ada dalam al-Qur’an.
Dinyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia
yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh kepada
perintah-perintahnya sebagaimana yang ditulis dalam kitab suci. Kesalehan
merupakan tujuan yang ingin dicapai di sini. Oleh karena itu hanya
subyek-subyek theologis murni yang diajarkan di sini. Agama pembanding, studi
komperatif Islam dan sistem-sistem hukum Barat diabaikan sama sekali.
Tantangan-tantangan peradaban moderen tidak dijawab atau bahkan tidak disadari
keberadaannya. Pendidikan ini menghasilkan
seorang manusia yang dikarunia rasa ketaatan yang sangat besar, tetapi
tidak memiliki kepekaan terhadap perkembangan IPTEK.
Dualisme ini barangkali
tidak menjadi persoalan bila sebatas pada spesialisasi keilmuan tanpa
mengabaikan yang lain. Terlebih lagi menurut Qomaruddin Hidayat (2000: viii) kesatuan
agama dan pengetahuan hanyalah fenomena pra-moderen sebelum ilmu-ilmu
berkembang seperti sekarang. Ketika itu institusi pendidikan—dengan demikian
juga ilmu pengetahuan—belum berdiri secara otonom, dan masih manjadi bagian
dari wilayah lain, khususnya agama dan politik.
Dikotomi pendidikan ini
tidak lepas dari masalah kebijakan politik pendidikan pemerintah Indonesia yang
juga menyebabkan terjadinya dikotomi ini. Kebijakan politik pemerintah
Indonesia secara umum dapat dibagi ke dalam empat periode. Pertama , kebijakan
politik pemerintahan pada masa pra-kemerdekaan, pada masa pra-kemerdekaan ini
kebijakan politik pemerintah berada di tangan penjajah Belanda. Pada masa itu
Belanda menerapkan politik diskriminatif terhadap rakyat jajahannya terutama pada
rakyat yang beragama Islam. Selain itu, Belanda juga sangat mencurigai dan
tidak suka terhadap keberadaan pendidikan islam yang diselenggarakan di
pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan sebagainya. Hal ini disebabkan
karena lembaga pendidikan islam tersebut dianggap sarang pembrontak,
pembangkang, dan sebagainya.
Politik pendidikan Islam
sebagaimana disebutkan di atas berbeda dengan politik pendidikan islam yang
diterapkan pada masa Orde Baru. Pada masa ini politik pendidikan lebih
diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembag pendidikan islam yang
lebih s sepenuhnya, mengingat Indonesia pada masa itu masih dalam pancsroba.
Dan pemerintah Orde Lama berada dalam tarikan tiga kekuatan, yaitu nasionalis,
sekuralis-komunis, dan islamis. Tiga kekuatan ideologis ini sering berbenturan
dan saling mengalahkan.
Selanjutnya, keadaan
tersebut berbeda dengan politik pendidikan islam pada masa Orde Baru. Ada
beberapa karakteristik pemerintah Orde Baru yang kurang kondusif bagi
pengembangan pendidikan islam. Dalam hubungan ini paling kurang ada lima
karakteristik pemerintah Orde Baru. Pertama, pemerintah Orde Baru adalah
pemerintah yang kuat dan dominan, kedua, pemerintah Orde Baru adalah pemerintah yang dipimpin oleh kekuatan
meliter, ketiga, pemerintah Orde Baru melengkapi dirinya dengan aparat keamanan
represif serta aparat politik ideologis, keempat, pemerintah orde baru sejak
awal kebangkitannya mendapatkan dukungan dari kapitalisme internasional,
kelima, jika pemerintah Orde Baru mengalami instabilitas maka itu bukan
menguatkan posisis politik masyarakat melainkan sebabkan oleh factor dari dalam
tubuh Negara sendiri dan factor dunia internasional.
Adapun politik pendidikan
pemerintah Indonesia yang terakhir adalah politik pemerintah masa Reformasi
yang ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Berbagai aturan yang
sebelumnya ada dikalangan mahasiswa yang cenderung mengebiri kebebasannya kini
sudah berubah. Mahasiswa sedah memiliki kebebasan yang luar biasa. Mereka dapat merancang berbagai program
sesuai dengan aspirasi yang berkembang.
Apabila kita berbicara
pendidikan agama islam yang kurang mendapat dukungan dari pemerintah, maka
tidak akan lepas dari pesantren dan madrasah yang merupakan tempat tumbuhnya
pendidikan agama islam. Berbicara tentang perkembangan madrasah tidak bisa
lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari keinginan para pemeluk
Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang ajaran agamanya, muncul
pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di rumah-rumah, langgar,
masjid, lalu berkembang menjadi lembaga yang disebut pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga
pendidika Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an,
dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa itilah pondok
berasal dari Bahasa Arab funduuq
(فندوق) yang berarti penginapan kusus di Aceh,
pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin
oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren,
kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka
biasanya disebut lurah pondok.[ Tujuan para santri dipisahkan
dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan
sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan. Islam
tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai
ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat
pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun
1619).
Baru pada akhir abad ke-19,
Belanda atas saran Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sistem pendidikan
klasikal untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonialnya dan menandingi
pengaruh pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada terhadap politik
etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya
perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20,
pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini
dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai
jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Problematika sa ini perlu
disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk memetakan
prospeknya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif,
utamanya di bidang pendidikan yang mempengaruhi proses perkembangan madrasah
itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota
masyarakat dengan berbagai latar belakang stratifikasi sosialnya mempunyai
persepsi dan antisipasi pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari
sisi kegunaan praktis sebagai suatu bidang usaha yang bersifat ekonomis. Di
pihak lain pendidikan dipandang sebagai sarana pembinaan kehidupan nilai-nilai
budaya.
Sudah banyak diketahui bahwa
peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama
Islam, mencetak kader-kader ulama, dan mempertahankan tardisi. Dalam
perkembangan modern, pesantren, madrasah dan sekolah Islam menghadapi tantangan
baru, di mana ketiga lembaga Islam tersebut tidak bisa mengelak dari proses
modernisasi itu. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren,
madrasah dan sekolah Islam tersebut dari berbagai aspeknya . Di antaranya
adalah sistem kelembagaan , orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan
peran pesantren , madrasah dan sekolah Islam.
Orientasi peran pesantren, madrasah dan sekolah
Islam sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama pandangan
kiyainya, dan faktor luar, perkembangan dan tuntutan aman (sebut saja pengaruh
globalisasi). Mencermati perkembangan globalisasi yang kian marak ini, bisa
dipastikan banyak orang yang meyakini bahwa peran pesantren, madrasah dan
sekolah Islam dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini. Hanya saja, tidak
banyak dari mereka yang mengetahui kapan pesantren pertama kali lahir. Para
sejarawan pun tidak sepakat mengenai awal berdirinya pesantren. Baik keberadaan
pesantren, madrasah dan sekolah Islam tidak bisa dilepaskan dari penyebaran
Islam di Indonesia.
Sehubungan dengan masalah
dikotomi pendidikan yang pada dewasa ini sudah sering dibicarakan oleh banyak
kalangan baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan pesantren yang
berakar dari aktifitas pendidikan dan keilmuan di perguruan tinggi umum dan
perguruan tinggi agama di tanah air mirip dengan pola kerja keilmuan awal abad
renaissance higga era revolusi informasi yang sekarang ini mulai diterapi oleh
banyak kalangan. Hari nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai
perilaku cerdik pandai. Praktek korupsi, kolusi dan nipotisme merajalela.
Dari sini tergambar bahwa
ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di perguruan tinggi umum dan ilmu-imlu
agama yang dikembangkan di perguruan tinggi amaga krisis relevansi, mengalami
kemandekan dan kebuntuan dan penuh bias-bias kepentingan ( keagamaan, ras,
etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender dan peradaban).
Sedangkan porsi pendidikan umum di madrasah/pesantren juga tidak
kalah sedikitnya dengan porsi pendidikan agama di sekolah umum, ini juga
sebagai indikasi bahwa semangat untuk mengembangkan pendidikan umum di sekolah
berbasis agama (dalam hal ini Islam) tidak berkembang dengan baik. Akhirnya
lulusan madrasah/pesantren cenderung pengisi satu sektor bidang dalam kehidupan
bermasyarakat. Hasil yang didapatkanpun tidak maksimal.
Untuk itu dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama
tidak boleh lagi terjadi dalam praktik pengelolaan pendidikan di Indonesia jika
kita ingin merealisasikan tujuan daripada pendidikan nasional. Siswa bukan
hanya dituntut secara kognitif tetapi juga moral, responsibility terhadap
masyarakat serta kedisiplinan dalam hidupnya.
Bangunan ilmu pengetahuan
yang dikotomik antara ilmu pengetahuan umum dan illmu pengetahuan agama harus
diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistic-integralistik. Tujuan
perguruan tinggi agama perlu diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki
tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan mengalisis secara akademik, kemampuan
melakukan inovasi, dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan
kemasyaraktatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, H. Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/028.htm
http://gurutrenggalek.blogspot.com/2010/03/strategi-pesantren-madrasah-dan-sekolah.html
edukasi.kompasiana.com/2010/02/23/dikotomi-pendidikan-menjauhkan-kita-dari-tujuan-pendidikan-nasional/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar