Contoh Desain Banner (Backdrop) Berbagai Acara

Berikut ini adalah beberapa desain backdrop acara yang mungkin dapat dijadikan referensi dalam pembuatan backdrop.








KONSEP DAN FUNGSI KURIKULUM

KONSEP DAN FUNGSI KURIKULUM
Oleh : ST. Rodliyah

A.KONSEP KURIKULUM
Secara umum kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang.
Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul berbagai definisi lain, yaitu definisi yang menentukan berbagai hal yang termasuk dalam ruang lingkupnya.
David Pratt dalam bukunya Curiculum, Design and Development, mendefinisikan kurikulum secara sederhana, yaitu sebagai seperangkat organisasi pendidikan formal atau pusat-pusat pelatihan. Selanjutnya, ia membuat implikasi secara lebih eksplisit tentang definisi yang dikemukakannya menjadi 5 hal, yaitu:
1.                 Kurikulum adalah suatu rencana atau intentions, yang tidak hanya berupa perencanaan (mental) saja, tetapi pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tulisan.
2.                 Kurikulum bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan.
3.                 Kurikulum berisi berbagai macam hal seperti masalah yang harus dikembangkan dalam diri siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan dan peralatan yang dipergunakan , kualitas guru yang dituntut, dan sebagainya.
4.                 Kurikulum melibatkan maksud atau tujuan pendidikan formal, maka ia sengaja mempromosikan belajar dan menolak sifat rambang, tanpa rencana, atau kegiatan tanpa belajar.
5.                 Kurilkulum sebagai perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan berbagai komponen seperti tujuan, isi, system penilaian dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan kata lain, kurikulum adalah sebuah system. (Burhan Nurgianto, 1988 :.6.)
6.                  
Di bawah ini kami kemukakan pengertian kurikulum dari para pakar pendidikan sebagai berikut:
1.                 John Dewey (1902): Sejak lama telah menggunakan istilah kurikulum dan hubungannya dengan anak didik. Dewey menegaskan bahwa kurikulum dan anak didik merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya adalah proses tunggal dalam bidang pendidikan. Kurikulum merupakan suatu rekonstruksi berkelanjutan yang memaparkan pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan pengetahuan yang terorganisasikan dengan baik yang biasanya disebut kurikulum.
2.                 Franklin Bobbt (1918): Kurikulum adalah susunan pengalaman belajar terarah yang digunakan oleh sekolah untuk membentangkan kemampuan individual anak didik.
3.                 Harold Rugg (1827): Kurikulum sebagai suatu rangkaian pengalaman yang memiliki kemanfaatan maksimum bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuannya untuk menyesuaikan dan menghadapi berbagai situasi kehidupan.
4.                 Hollins Caswell (1935): Kurikulum adalah susunan pengalaman yang digunakan guru sebagai proses dan prosedur untuk membimbing anak didik menuju kedewasaan.
5.                 Ralph Tyler (1957): Kurikulum adalah seluruh pengalaman belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikannya.
6.                 Hilda Taba (1962) : Kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum dan khusus dan materinya dipilih dan diorganisasikan berdasarkan suatu pola tertentu untuk kepentingan belajar dan mengajar. Biasanya dalam suatu kurikulum sudah termasuk program penilai hasilnya.
7.                 Robert Gagne (1967): Kurikulum adalah suatu rangkaian unit materi belajar yang disusun sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mempelajarinya berdasarkan kemampuan awal yang dimiliki/dikuasai sebelumnya.
8.                 James Popham dan Eva Baker (1970): Kurikulum adalah seluruh hasil belajar yang direncanakan dan merupakan tanggungjawab sekolah. Materi kurikulum mengacu pada tujuan pengajaran yang diinginkan.
9.                 Michael Schiro (1978): Kurikulum sebagai proses pengembangan anak didik yang diharapkan terjadi dan digunakan dalam perencanaan.
10.             Saylor, Alexander, dan Lewis (1981): Kurikulum sebagai suatu rencana yang berisi sekumpulan pengalaman belajar bagi anak didik. Sedangkan pengertian kurikulum sebagaimana tercantum dalam UUSPN (Depdikbud, 1989) adalah “ seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”. Adapun menurut UU RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dari berbagai definisi tersebut di atas apabila kita telaah, akan terlihat bahwa pengertian-pengertian tersebut pada dasarnya memiliki arti yang hamper sama walaupun berbeda dalam ruang lingkup penekanannya. Sebagian kurikulum ditafsirkan secara luas  yang penekanannya mencakup mencakup seluruh pengalaman belajar yang diorganisasikan dan dikembangkan dengan baik serta dipersiapkan bagi anak didik untuk mengatasi situasi kehidupan sebenarnya. Selain itu kurikulum ditafsirkan secara sempit, yaitu hanya menekankan pada kemanfaatannya bagi guru dalam merencanakan kegiatan belajar mengajar.
11.Glatthorn (1987):  Kurikulum paling tidak harus memenuhi dua criteria yaitu:
    1. Kurikulum harus mencerminkan pengertian umum tentang peristilahan pendidikan sebagaimana sering digunakan oleh pendidik.
    2. Kurikulum harus bermanfaat bagi guru dalam membuat perencanaan pengajaran yang baik.
Glatthorn mengartikan kurikulum sebagai rencana yang dibuat untuk membimbing anak belajar di sekolah, disajikan dalam bentuk dokumen yang sudah ditentukan, disusun berdasarkan tingkat-tingkat generalisasi, dapat diaktualisasikan dalam kelas, dapat diamati oleh pihak yang tidak berkepentingan, dan dapat membawa perubahan tingkah laku. (Hermana Somantrie : 4).
Sedangkan pengertian Pengembangan Kurikulum menurut Caswell adalah alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas mengajarkan bahan, menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sementara Beane, Toefer dan Allesia menyatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses di mana partisipasi pada berbagai tingkat dalam membuat keputusan tentang tujuan,  tentang bagaimana tujuan direalisasikan melalui proses belajar mengajar dan apakah tujuan dan alat itu serasi dan efektif.
Dari kedua definisi  tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil peilaian  terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu (Ahmad Dkk, 199863-64).
Berdasarkan pada pengertian tersebut diatas bisa dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pengembngan kurikulum PAI adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan kurikulum baru PAI, melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode tertentu..

B. FUNGSI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 
Setiap lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal dalam penyelenggaraan kegiatan sehari-harinya berlandaskan kurikulum. Kurikulum itu sendiri dalam hal ini dapat berupa :
  1. Rancangan kurikulum, yaitu buku kurikulum suatu lembaga pendidikan.
  2. Pelaksanaan kurikulum, yaitu suatu proses pendidikan untuk mencapai tujuab pendidikan.
  3. Evaluasi kurikulum, yaitu penilaian atau penelitian hasil-hasil pendidikan.
Dalam lingkup pendidikan formal, kegiatan merancang, melaksanakan, dan menilai kurikulum tersebut, yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan, dilaksanakan sebagai program pengajaran.
Berbicara masalah fungsi kurikulum PAI, kita dapat meninjau dari tiga segi, yaitu fungsi bagi sekolah yang bersangkutan, fungsi bagi sekolah pada tingkat di atasnya, dan fungsi bagi masyarakat (Winarno Surahmad: 6).
1.      Fungsi bagi Sekolah yang Bersangkutan.
Fungsi kurikulum PAI bagi sekolah yang bersangkutan ini terdiri atas dua macam.
Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan. Manifestasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah berupa program pengajaran. Program pengajaran itu sendiri merupakan suatu system yang terdiri atas berbagai komponen yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kedua, kurikulum dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Dalam pelaksanaan pengajaran misalnya, telah ditentukan macam-macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan atau materi pelajaran untuk tiap semester, sumber bahan, metode atau bahan pengajaran, alat dan media pengajaran yang diperlukan.
2.      Fungsi bagi Sekolah Tingkat Di atasnya
Kurikulum dapat berfungsi sebagai pengontrol atau pemelihara keseimbangan proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum PAI di sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat di atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya, Jika suatu bidang studi telah diberikan pada kurikulum sekolah di tingkat bawahnya, harus dipertimbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum sekolah tingkat di atasnya terutama dalam hal pemilihan bahan pengajaran, jangan sampai terulang kembali karena hal itu untuk menjaga kesinambungan bahan pelajaran.
3.      Fungsi bagi Masyarakat.
Pada umumnya sekolah dipersiapkan untuk terjun di masyarakat atau tegasnya untuk bekerja sesuai dengan keterampilan profesi yang dimilikinya. Oleh karena itu, kurikulum sekolah haruslah mengetahui atau mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat atau para pemakai tamatan sekolah. Untuk keperluan itu perlu kerjasama antara pihak sekolah dengan pihak luar dalam hal pembenahan kurikulum yang diharapkan. Dengan demikian, masyarakat atau para pemakai lulusan sekolah dapat memberikan bantuan, kritik atau saran-saran yang berguna bagi penyempurnaan program pendidikan di sekolah.  Agar tidak terjadi lulusan sekolah belum siap pakai atau tidak sesuai dengan tenaga yang dibutuhkan dalam lapangan pekerjaan. Sehingga akhirnya terjadi penumpukan pengangguran.
Selain itu secara umum kurikulum memiliki fungsi sebagaimana yang diungkapkan oleh Alexander Inglis, sebagai berikut:
  1. The adjustive of adaptive function (fungsi penyesuaian)
Masyarakat dalam arti luas, yaitu sekelompok manusia yang mempunyai dasar, tujuan dan kebudayaan tertentu. Walaupun masyarakat itu statis atau dinamis ia selalu membangun, minimal untuk mempertahankan hidupnya supaya tidak punah. Karena itu individu yang hidup dalam masyarakat harus mampu menyesuaian diri terhadap lingkungannya secara menyeluruh sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Di sini fungsi kurikulum harus mampu menata keadaan  masyarakat agar dapat dibawa ke lingkungan sekolah untuk dijadikan obyek pelajaran para siswa.
  1. The intregrating function (Fungsi pengintegrasian)
Kelompok social sangat mempengaruhi tingkah laku anak, baik yang bersifat positif (membangun) maupun negative (merusak). Pengaruh yang baik diperoleh anak melalui kerjasama yang baik, harmonis serta adanya upaya pemecahan masalah bersama. Sedangkan pengaruh negative timbul karena pengaruh kelompok yang menilai negative timbulnya persaiangan dan tujuan yang tidak baik, sehingga tingkah laku anak tidak berkembang dan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum harus mampu menyiapkan pengalaman-pengalaman belajar yang dapat mendidik pribadi yang terintegrasi, karena individu-individu yang berada di sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang harus mampu melakukan pengintegrasian sesuai dengan norma-norma masyarakat.
3.The differentiating function (Fungsi pembedaan).
Perbedaan-perbedaan individu di sekolah harus menjadi dasar pertimbangan dalam memberikan pelayanan. Siswa yang beraneka ragam latar belakang social budaya dan ekonominya merupakan generasi yang harus mendapat perhatian pengayoman dan pendidikan yang sesuai dengan potensi masing-masing. Karena itu pelayanan sekolah yang berkaiatan dengan kegiatan bakat dan minat siswa harus diarahkan untuk memotifasi siswa agar mereka mampu berpikir kritis dan kreatif dalam mendorong kemajuan social dalam masyarakat. Jelas bahwa fungsi kurikulum dalam hal ini harus mampu melayani pengembangan potensi individu yang akan hidup terjun di lingkungan masyarakat.
4.The prepaedetic function (Fungsi Persiapan)
Keinginan untuk berhubungan satu sama lain inilah yang membuktikan bahwa manusia itu pada hakikatnya mempunyai naluri untuk selalu hidup berkelompok. Bahkan, tidak jarang pada manusia selalu timbul rasa tidak puas terhadap sesuatu yang sudah dicapai. Hal ini menimbulkan dorongan dan cita-cita ingin melanjutkan keinginannya ke yang lebih tinggi lagi. Untuk itu, fungsi kurikulum dalam kaitan ini harus mampu mempersiapkan anak didik untuk melanjutkan studi atau meraih ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih mendalam dengan jangkauan yang luas.
5. The selective function (Fungsi Pemilihan)
 Dalam usaha memuaskan kebutuhan akan perkembangan bakat dan minat anak didik, maka sekolah berupaya menyiapkan program yang mampu mendukung, mengembangkan bakat masing-masing siswa. Program-program yang matang di dapat bila sekolah melakukan penyeleksian secara selektif terhadap pengalaman belajar yang memungkinkan dapat diorganisasikan dalam suatu bentuk organisasi kurikulum, sehingga lebih memudahkan tercapainya tujuan pendidikan.
6. The diagnotic function (Fungsi diagnosa)
Upaya untuk melakukan pelayanan terhadap anak didik harus samapai pada tingkat mengarahkan siswa agar mereka mampu memahami dirinya, mengarahkan dirinya, mengembangkan dirinya, menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selain itu, mampu memecahkan masalah dalam lingkungan keluarga, masyarakat serta menyadari akan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya, sehingga siswa dapat memperbaiki dirinya dengan bimbingan dan pengarahan guru (Alexander Inglis, 1918).
Dengan demikian fungsi kurikulum secara umum adalah untuk memberi bekal kepada siswa untuk bisa hidup secara mandiri  dengan cara mengembangkan bakat dan minat yang mereka miliki. Sedangkan fungsi kurikulum PAI adalah untuk memberikan bekal bagi siswa dalam menjalankan kehidupan agar mereka tidak keluar dari nilai-nilai ajaran agama.





REFERENSI

Alexander Inglis. The Principles Of Secendary Education, 1918.

Burhan Nurgianto, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, BPFE, Yokyakarta, 1988, hlm.6

Suerachmad, Winarno, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Depdikbud, Jakarta: 1977.

Nurgiantoro,Burhan. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, BPEF, Yogyakarta: 1988, hlm. 9.

UU. RI. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kloang Klede Putra Timur. 2003



Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Masa Reformasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi. Era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia demokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan.
Upaya untuk membangun suatu masyarakat, bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru.
Era Reformasi dalam pemerintahan negara Indonesia memberikan angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, setelah sebelumnya pada masa orde baru program-program pendidikan yang ditargetkan telah gagal. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi Nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi partai.
Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia,
Mencermati realitas sosial pendidikan Islam pada kisaran terakhir ini, tampaknya banyak perubahan pengembangan pada institusi pendidikan Islam. Untuk melakukan pengembangan itu antara lain dengan melakukan sebuah refleksi pemikiran yang eksploratif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti berupa penelitian, seminar, ceramah ilmiah, simposium, lokakarya dan lain sebagainya dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan.
Salah satu hasil yang mengembirakan bagi tranformasi pendidikan Islam di zaman orde reformasi adalah hasil amandemen ke-4 pasal 31 UUD 1945 dan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas serta diberlakukannya PP. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dengan demikian eksistensi pendidikan Islam semakin diakui dalam tatanan pendidikan nasional.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kurikulum pendidikan Islam pada masa reformasi?
2.      Bagaimana institusi pendidikan Islam pada masa reformasi?
3.      Bagaimana kultur pendidikan Islam pada masa reformasi?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Sebagai contoh setelah Indonesia merdeka pra Orde Baru terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.
Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim Orde Baru dan terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan eksistensi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dipandang perlu menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun 2003 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU SISDIKNAS.
Sesuai dengan tuntututan UU SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebabkan kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang sesuai dengan standar nasional pendidikan. Agar kurikulum yang digunakan di sekolah sesuai dengan standar Nasional pendidikan maka Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bhasa Arab di Madrasah.
Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi, karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah (1993:3), bahwa : Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sipat anticipatori,  bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.
Berkenaan dengan kurikulum pendidikan agama Islam, Shaleh (2006:90) mengemukakan ada beberapa ketentuan yang menjadi landasan pembentukan kurikulum pendidikan agama secara luas, yaitu:
1)      Asas
Muhammd al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa Asas-asas umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum pendidikan agama itu adalah sebagai berikut:
a.       Asas agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi akidah, ibadah, muamalah dan hubungan-hubungan yang berlaku di dalam masyarakat.

b.      Asas falsafah
Dasar filosofis memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pendangan hidup.
c.       Asas psikologi
Kurikulum pendidikan Islam disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui peserta didik.
d.      Asas sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakatnya.
e.       Asas tujuan
Pada tujuan pendidikan agama Islam baik SD, SMP, maupun SMA, secara redaksional sama. Yaitu subtansinya adalah bertujuan untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia dengan melalui pemberian pengetahuan dan pengalaman, sehingga setelah proses pendidikan berakhir, peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara (Shaleh, 2006).
Lahirnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 boleh dikatakan sebagai awal lahirnya arah baru pendidikan Indonesia dimana kurikulum yang dibuat mengarah kepada pencapaian kompetensi siswa baik kompetensi Kognitif, Afektif, maupun Psikomotor.
Penyusunan kurikulum sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 ayat 3 bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.       Peningkatan Iman Dan Takwa;
b.      Peningkatan Akhlak Mulia;
c.       Peningkatan Potensi, Kecerdasan, Dan Minat Peserta Didik;
d.      Keragaman Potensi Daerah Dan Lingkungan;
e.       Tuntutan Pembangunan Daerah Dan Nasional;
f.       Tuntutan Dunia Kerja;
g.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni;
h.      Agama;
i.        Dinamika Perkembangan Global; Dan
j.        Persatuan Nasional Dan Nilai-Nilai Kebangsaan.
Selanjutnya, pada pasal 37 secara berturut-turut dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, dan untuk pendidikan dasar dan menengah masih diwajibkan materi lainnya (Soebahar, 2009).
Pada masa reformasi ini telah dikembangkan dua model kurikulum, yaitu kurikulum KBK pada tahun 2004 dan KTSP pada tahun 2006, Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran PAI (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi pendidikan Islam yang menyeluruh sebagaimana berikut:
1.      Mengamalkan ajaran AL Qur’an /Hadits dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela dalam kehidupan sehari.
4.      Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari).
5.      Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam kehidupan sehari-hari.
 Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi  menjadi beberapa kompetensi dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.  Sebagai contoh untuk standar kompetensi dasar yang pertama di kelas VII diurai ke dalam lima kompetensi Dasar yaitu:
1.        Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adduha
2.        Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat Al Adiyat
3.        Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah
4.        Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan mim mati
5.        Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin hadits tentang Rukun Islam.
Sementar dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang disajikan untuk mata pelajaran pendidikan Agama Islam adalah: sangat banyak tapi bobotnya amat dangkal, untuk kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13 SK. Sebagai perbandingan berikut kami kemukakan kompetensi PAI kelas VII semester I.
1.      Menerapkan tata cara membaca Al-qur’an menurut tajwid, mulai dari cara membaca “Al”- Syamsiyah dan “Al”- Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf.
2.      Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna.
3.      Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah.
4.      Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat.
5.      Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di nusantara.

2.      Instituai Pendidikan Islam pada masa reformasi
Kegiatan pendidikan selalu berlangsung di dalam suatu lingkungan. Dalam konteks pendidikan, lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri anak. Lingkungan dapat berupa hal-hal yang nyata, seperti tumbuhan, orang, keadaan, politik, kepercayaan dan upaya lain yang dilakukan manusia, termasuk di dalamnya adalah pendidikan.
Di dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya, keluarga, sekolah dan masyarakat akan menjadi pusat-pusat kegiatan pendidikan yang akan menumbuhkan dan mengembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius. Dengan memperhatikan bahwa anak adalah individu yang berkembang, ia membutuhkan pertolongan dari orang yang telah dewasa, anak harus dapat berkembang secara bebas, tetapi terarah. Pendidikan harus dapat memberikan motivasi dalam mengaktifkan anak.
Menurut Daulay dalam bukunya “Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Penddikan Islam Di Indonesia”, perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke idonesia sampai masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam awal abad ke dua puluh. Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesanren, dayah, surau atau masjid dengan titik fokus adalah ilmu-ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Periode kedua, periode ini telah dimasuki oleh ide-ide pembaharuan pemikiran Islam pada awal abad ke dua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah. Sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah memasukkan mata pelajaran umum kedalam program kurikulum pendidikan mereka, dan juga telah mengadopsi sistem pendidikan modern seperti metode, manajerial, klasikal dan lainsebagainya. Ketiga, pendidikan Islam telah terintegrasi kedalam sistem pendidikan Nasional sejak lahirnya undang-undang nomor 2 tahun 1989 dilanjutkan pula dengan undang-undang No. 20 tahun 2003.
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan pendidikan Islam di Indonesia semakin memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Pesantren, berkembang dari bentuk tradisional (salafi) berkembang kepada pesantren modern (khalafy). Pesantren bentuk kedua ini sekarang berkembang hampir diseluruh Indonesia. Kemodernan dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, mata pelajaran telah seimbang antara materi ilmu-ilmu agama dengan materi ilmu-ilmu umum. Kedua, metode pengajaran telah bervariasi, tidak lagi semata-mata hanya memakai metode sorogan, wetonan dan hafalan. Ketiga, pendidikan agama Islam dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan.
Di dalam lembaga sekolah, Pada tahun 2003 pendidikan agama Islam dipertegas melalui undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 12, yang mana pada periode sebelumnya pendidikan agama Islam kurang diperdulikan.
Pendidikan Islam sebagai lembaga adalah diakuinya keberadaan pendidikan Islam sebagai lembaga formal, nonformal,  dan informal. Sebagai lembaga pendidikan formal diakui keberadaan madrasah yang setara dan sama dengan sekolah. Pendidikan Islam dalam pengertian institusi adalah institusi-institusi pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah, sekolah umum berciri KeIslaman, dan sebagainya (Soebahar, 2009:16).
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 dijelaskan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan institusi pendidikan Islam. Sebagaimana termaktub pada pasal 15 dan pasal 30 ayat (3-4), dinyatakan bahwa:
1.      Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal (pasal 3).
2.      Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis (pasal 4).
Lembaga pendidikan formal dijelaskan secara berurut dalam pasal 17, 18, 19 dan 20 mencakup pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagaimana berikut:
Pasal 17
1)      Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
2)      Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 18
1)      Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
2)      Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
3)      Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 19
1)      Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
2)      Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
1)      Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, Institut, atau universitas.
2)      Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
3)      Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Lembaga pendidikan Nonformal dijelaskan dalam pasal 26 ayat 4: satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Lembaga pendidikan informal dalam pasal 28 ayat 3: kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Pendidikan anak usia dini diterangkan dalam pasal 28 ayat 3: pendidikan anak usia dini pada jalur pendidika formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Ketentuan-ketentuan mengenai lembaga pendidikan Islam yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut selanjutnya dijelaskan dalam peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

3.      Kultur Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) berpendapat tentang peradaban manusia, yaitu: (1) peradaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi informasi dan komunikasi. Perubahan terbesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat. Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigman yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Umiarso,  2010:177).
Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada masa krisis dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi dibidang pendidikan. Secara konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama. Artinya, bahwa negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama dari seluruh warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global akan memasuki abad yang penuh dengan persaingan bebas. Oleh kerana itulah kecenderungan masa kini akan ditandai oleh ledakan pengetahuan dan ledakan informasi. Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan mencari jalannya sendiri, khususnya memasuki masa millennium ketiga yang mengglobal dan sangat ketat dengan persaingan. Dengan adanya sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bangsa Indonesia akan dapat mengerakkan sektor- sektor industri secara efisien dan produktif serta mampu bersaing di pasar dunia..
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sebagai salah satu desakan arus reformasi, perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi memberikan tantangan tersendiri bagi aspek kehidupan, tak terkecuali dunia kependidikan. Pada era globalisasi seperti ini, pendidikan harus melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar secara terus menerus.
Oleh karena itu, dalam era globalisasi saat ini sektor pendidikan perlu difungsikan sebagai ujung tombak untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa agar memiliki unggulan kompetetif dalam berbangsa dan dan bernegara ditengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global. Maka keterkaitan antara proses pendidikan dan kehidupan politik dalam arti bahwa pendidikan tidak terlepas dari politik dan politik itu sendiri adalah pendidikan. Pendidikan adalah metode yang paling fundamental di dalam kemajuan sosial dan reformasi.
 Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Arah perubahan paradigma pendidikan dari paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didisain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua, paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum. Meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha, lembaga-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat nadani Indonesia.

BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan-pemaparan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      Lahirnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 merupakan awal lahirnya arah baru pendidikan Indonesia dimana kurikulum yang dibuat mengarah kepada pencapaian kompetensi siswa baik kompetensi Kognitif, Afektif, maupun Psikomotorik. Dengan dasar UU ini telah dikembangkan dua model kurikulum PAI, yaitu kurikulum PAI dalam KBK pada tahun 2004 dan kurikulum PAI dalam KTSP pada tahun 2006.
2.      Institusi pendidikan Islam pada masa ini sebagaimana diakui dalam UU No.20 tahun 2003 adalah meliputi lembaga formal, informal, dan non formal. Diantara institusi-institusi pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah, diniyah, sekolah umum berciri KeIslaman, dan sebagainya.
3.      Pada era globalisasi seperti ini, pendidikan harus melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar secara terus menerus. Kultur pendidikan Islam pada masa ini lebih berorientasi pada sistem  disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum.


Daftar Pustaka

Shaleh, Abdul Rachman, 2006, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah Dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.
Soebahar, Abd. Halim, 2002, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Soebahar, Abd. Halim, 2009, Matriks Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Umiarso, Haris Fathoni Makmur, 2010, Pendidikan Islam Dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, Jogjakarta: Ircisod.
Subandijah, 1993, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: Raja Gravindo Persada.